SEJAK awal pembangunannya, Pelabuhan Patimban mendapat perhatian yang berlimpah dari negara. Maklumlah, ia dibangun langsung oleh negara dengan meminjam uang dari pemerintah Jepang melalui banknya, Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Kepada membangun pelabuhan yang berlokasi di Subang, Jawa Barat itu diperlukan biaya Rp17,2 triliun yang Rp14,2 triliun di antaranya merupakan pinjaman dari ‘Negeri Sakura’.
Kini, pelabuhan itu sudah beroperasi penuh, terutama terminal kendaraannya. Fasilitas ini dioperasikan oleh sebuah entitas usaha bentukan perusahaan logistik Jepang, Toyota Tsusho.
Toyota Tsusho sendiri merupakan anak usaha pabrik mobil Toyota. Entitas bentukannya diberi nama Patimban International Car Terminal (PICT).
Ini perusahaan sepenuhnya berisi kepentingan Jepang. Perusahaan ini mendapat hak mengelola terminal kendaraan dari Pelabuhan Patimban Global atau PPI, pemegang konsesi atas pelabuhan tersebut.
Tak jelas berapa setoran yang harus dibayarkan oleh PICT kepada PPI untuk memperoleh hak mengelola terminal kendaraan itu. Dengan melakukan pendelegasian pengelolaan terminal yang mereka kuasai, PPI sudah menjadi landlord.
Diperkirakan model bisnis seperti ini akan diulang kembali penerapannya untuk pengelolaan terminal peti kemas dan terminal/dermaga lain yang ada dalam area pelabuhan Patimban.
Dalam pemberian konsesi ini ada hal menarik yang patut dicermati. Lazimnya konsesi di Indonesia, penerimanya menanggung semua biaya yang telah dikeluarkan oleh negara ketika membangun sebuah pelabuhan. Atau, biaya atas pemanfaatan aset negara untuk kepentingan usaha.
Tetapi hal ini tidak berlaku buat PPI. Perusahaan ini tidak membayar konsesi sama sekali. Menariknya lagi, konsesi ini selanjutnya dilimpahkan kembali oleh perusahaan ini kepada pihak ketiga.
Ketika ini, Kementerian Perhubungan tengah mencarikan calon operator buat terminal peti kemas Pelabuhan Patimban. Konon, kabarnya, pelayaran peti kemas kelas dunia berminat atas tawaran itu. Sebaiknya menjadi tugas manajemen perusahaan. Hingga kini, Menhub masih bertugas sebagai marketing PPI. Terkesan, manajemen PPI tidak jantan, hanya mau enaknya saja.
Intervensi atau cawe-cawe Kemenhub dalam bisnis PPI tidak hanya sampai di situ. Instansi ini juga mengeluarkan sejumlah kebijakan/regulasi yang mendukung perusahaan dimaksud berikut mitranya, dalam hal ini PICT.
Karenanya, bisnis terminal kendaraan di Indonesia berjalan tidak sesuai dengan mekanisme pasar. Maksudnya begini. Di samping PICT, ada pengelola terminal kendaraan lain, yaitu PT Indonesia Kendaraan Terminal atau IKT.
Ambil contoh, tidak lama setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2020, Ditjen Hubla mulai meminta dengan halus kepada perusahaan otomotif yang selama ini mengirimkan produknya – ekspor maupun antarpulau – melalui terminal kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok agar mengalihkan pengapalannya dari dan ke Pelabuhan Patimban.
Yang terkena oleh kebijakan itu adalah operator pelayaran kendaraan (car carrier) yang melayani pabrikan otomotif yang sebagian besar merupakan perusahaan pelayaran Jepang maupun afiliasinya.
Perusahaan pelayaran domestik seperti ASDP dan Pelni juga diimbau agar mengalihkan rutenya. Tanpa berpanjang lebar, kedua perusahaan sudah mengalihkan kapal-kapal mereka ke Pelabuhan Patimban dan melayari beberapa rute tertentu seperti Panjang dan Pontianak.
Sementara car carrier Jepang masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan mengikuti himbauan Ditjen Hubla agar memindahkan operasi kapalnya ke Pelabuhan Patimban. Itu dulu.
Sekarang sudah berubah. Dengan hadirnya PICT di terminal kendaraan mereka sepertinya siap hengkang dari terminal IKT di Tanjung Priok. Plus, Kemenhub terus memberlakukan regulasi yang “menggergaji angin” cucu usaha Pelindo tersebut. Hal ini membuat persaingan IKT dengan Patimban menjadi tidak fair.
Padahal, biaya logistik yang ditawarkan IKT sangat kompetitif. Kalau sentra mobil yang ada di Sunter dan Karawang hendak mengirim barang ke Pelabuhan Patimban, ongkosnya Rp450 ribu/unit. Sementara bila dikirim dari Karawang ke Tanjung Priok biayanya Rp250 ribu/unit.
Kepada alat berat yang saat ini terkonsentrasi di area Cakung-Cilincing dan Kalideres, biaya angkut ke Pelabuhan Patimban sekitar Rp5 juta hingga Rp8 juta/unit.
Selayaknya, pengguna jasa diberikan kesempatan untuk memilih mana layanan yang terbaik dan biaya yang lebih efisien. Hal ini sangat penting dalam rangka mendorong ekspor mobil yang dicanangkan Pemerintah dengan ambisi 1 juta unit pertahun supaya bisa terwujud, mengejar ketertinggalan dengan Thailand yang ekspornya mencapai sekitar 1,2juta unit/tahun. Ketika ini ekspor mobil Indonesia masih di sekitaran angka 500 ribu unit/tahun.
Sebagian besar kegiatan bongkar-muat dilakukan oleh perusahaan bongkar-muat (PBM) yang bekerja sama dengan perusahaan pelayaran/car carrier.
PBM mengenakan biaya berdasarkan tarif resmi dari IKT ditambahkan margin tertentu, hal ini juga menambah logistics cost. IKT menerima revenue dari pelayanan jasa cargo handling, penumpukan, dermaga dan kebersihan.
Biaya cargo handling dan penumpukan sekitar Rp805 ribu/kendaraan/7 hari. Tak ada kewajiban bagi operator kapal pengangkut kendaraan untuk memakai jasa bongkar-muat IKT.
Gergaji angin itu perlu dibenahi. Agar terjadi keadilan di mana pihak yang mengeluarkan lebih banyak investasi mendapat bagian yang lebih signifikan dibanding mereka yang investasinya kecil. Jadi, ditunggu kejantanan mu, PPI.