Menolak Pembungkaman Mimbar Akademik

UNTUK kesekian kalinya, calon presiden (capres) yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mendapatkan penghadangan. Kali ini hambatan justru dari kampus, tempat narasi-narasi ilmah bergumul, wahana terbuka untuk menularkan ilmu, dan mencari solusi permasalahan peradaban.

Anies diundang sebagai salah satu pembicara dalam kapasitas selaku mantan kepala daerah untuk berbagi pengalaman menjadikan Jakarta kota kolaborasi. Acara kuliah umum yang diselenggarakan Berbarengan Indonesia di Auditorium Magister Manajemen (MM) UGM, Jumat (17/11), itu mengundang para pembicara yang berkompeten dalam penataan kota.

Selain Anies, ada Duta Besar Denmark Lars Bo Larsen, Duta Besar Belanda Lambert Grijns, Profesor Sulfikar Amir dari NTU Singapore, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, dan pakar perencanaan perkotaan UGM Tri Mulyani Sunarharum.

Pihak yang diduga mewakili otoritas Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengeluarkan ancaman, bila Anies hadir, acara akan dibatalkan. Penolakan terhadap Anies tersebut terkuak dalam pesan Whatsapp antara panitia acara dan pihak yang disebut rektorat yang dalam pembicaraan itu disapa Pak Wija.

Cek Artikel:  Vonis Basi Kasus Korupsi

Anies batal hadir dan isi percakapan tersebut viral tersebar hingga menuai banyak kecaman terhadap UGM. Rektorat UGM lantas sibuk menangkis dan berkelit. Mereka balik mempertanyakan siapa Pak Wija.

Menurut pimpinan UGM, kampus tidak melarang kehadiran tokoh mana pun sebagai pembicara di mimbar akademik. Terlebih, Anies alumnus UGM.

Kampus yang merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia itu diakui pimpinan UGM memiliki prosedur mengundang capres ataupun cawapres untuk kepentingan politik atau kampanye. Segala capres harus diundang. Meski nantinya ada capres yang tidak hadir, acara tidak akan menjadi terlarang.

Lantas timbul pertanyaan ketika sehari sebelumnya capres Ganjar Pranowo hadir di acara pengukuhan guru besar yang digelar Rektorat UGM. Sebagai apakah Ganjar diundang?

Foto Ganjar sempat menghiasi unggahan akun X UGM dengan tanpa menyebut nama capres yang diusung PDI Perjuangan dan PPP tersebut. Mungkin administratornya juga bingung memberi atribut kepada Ganjar selaku capres, mantan Gubernur Jawa Tengah, atau sebagai alumnus UGM.

Cek Artikel:  Labirin Penghapusan Miskin Ekstrem

Kedua peristiwa itu lantas mengingatkan pada pencabutan izin kegiatan diskusi di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung, Jawa Barat, 8 Oktober lalu, yang rencananya dihadiri Anies. Pemkot Bandung yang disokong pihak istana berdalih fasilitas atau gedung milik pemerintah tidak boleh untuk kegiatan politik.

Konkretnya, pada 18 Oktober, deklarasi dukungan terhadap Ganjar-Mahfud MD yang dihadiri keduanya bisa digelar di Gedung Arsip Nasional, Jakarta. Apakah gedung itu sudah dilego ke swasta tanpa diketahui publik? Serius nanya.

Penghadangan terhadap Anies hanya salah satu contoh kejadian yang menunjukkan kebebasan berpendapat di Tanah Air telah berada dalam titik kritis. Orang-orang yang sepertinya dianggap sebagai ancaman bagi penguasa mendapatkan berbagai upaya pembungkaman. Penguasa dalam konteks saat ini ada dua cabang, hanya beda wilayah cengkeram.

Kampus harus menjamin kebebasan mimbar akademik. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Pendidikan Tinggi menyatakan ‘Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan’.

Cek Artikel:  Menimbang sebelum Menambang

Praktik-praktik pembungkaman semakin kentara kemiripannya dengan pada masa rezim Orde Baru. Begitu itu pun, hak mengeluarkan pendapat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 sekadar pajangan, bukan untuk ditegakkan.

Gejala neo-Orde Baru jelang pergantian pemerintahan kian terasa kebangkitannya. Tentu ini tidak boleh dibiarkan. Publik perlu terus dan bahkan lebih keras menyuarakan penolakan atas pelanggaran hak-hak yang dilindungi konstitusi. Belum terlambat bagi penguasa untuk menyadari kesalahan dan kembali ke konstitusi.

Sebagai Kampus Kerakyatan yang berdiri pada 19 Desember 1949, UGM harus berdiri paling depan menolak pembungkaman pikiran-pikiran waras, gagasan-gagasan besar untuk negeri.

Sikap itu senapas dengan menolak kebangkitan Orde Baru jilid dua di penghujung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang rencananya akan diteruskan ke putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres. Maju terus UGM dan kampus-kampus lain di Tanah Air. Tolak neo-Orba!

Mungkin Anda Menyukai