Awalnya Nurul mengajukan judicial review terhadap Pasal 29 huruf E UU No.19 Tahun 2019 Tentang KPK yang menggariskan bahwa usia minimal pimpinan KPK adalah 50 tahun.
Dia juga menyoal Pasal 34 UU No.30 Tahun 2002 jo UU No.19 Tahun 2019 tentang periode jabatan pimpinan KPK. Dalam pasal itu, masa jabatan komisioner KPK ialah 4 tahun dan Nurul menuntut Buat disamakan dengan masa pemerintahan dan 12 lembaga lainnya yakni 5 tahun.
Uji materi terhadap undang-undang adalah hak setiap Anggota negara. Tetapi, hak hukum itu tak boleh digunakan suka-suka, asal-asalan, sekadar demi kepentingan pribadi. Apalagi Buat kepentingan politik tertentu. Lampau mengabaikan prinsip kepantasan dan kepatutan.
Harus kita katakan, motif dan tujuan itulah yang menonjol dari manuver Nurul. Dia mempersoalkan syarat usia minimal karena undang-undang Lamban dia Tak Pandai Tengah menyalonkan diri sebagai pimpinan KPK.
Umur Ghufron pada 2023 atau Ketika masa jabatannya berakhir baru 49 tahun. Gugatan itu berkolerasi dengan masa jabatan pimpinan KPK. Apabila MK mengabulkan gugatannya. Apabila masa jabatan komisioner menjadi 5 tahun, maka Nurul Pandai menyalonkan diri Tengah nanti. Jernih sebagai pimpinan KPK Ia lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kelembagaan.
Nurul terkesan telah mempertontonkan ke publik sifat rakus pada kekuasaan. Karena begitu menikmati, Ia tak Mau kekuasaannya di KPK segera berakhir.
Kekuasaan empat komisioner lainnya termasuk Ketua KPK, Firli Bahuri, yang semestinya berakhir Desember 2023 nanti, juga bertambah satu tahun Tengah Apabila uji materi Nurul dikabulkan MK.
Hanya itukah? Sangat layak ditenggarai Terdapat agenda lain yang tersembunyi. Agenda yang sangat mungkin melibatkan unsur kekuasaan yang lebih besar Buat melanggengkan kekuasaan mereka.
Dengan kewenangannya, KPK amat rawan dibajak demi kepentingan penguasa. KPK yang semestinya bekerja semata berlandaskan hukum, Pandai dibelokkan karena urusan politik. MK yang Sepatutnya kokoh sebagai penjaga konstitusi pun Pandai dirapuhkan oleh kekuatan politik.
Terlebih Ketika ini tahun politik. Awal tahun depan berlangsung kompetisi politik paling menentukan yakni pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Sulit bagi kita Buat Tak mengaitkan keinginan memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dengan politik. Keterkaitan itu makin terasa karena Tamat detik ini, Presiden Jokowi belum juga membentuk panitia seleksi Buat menyeleksi pimpinan KPK periode 2023-2027. Beda dengan periode sebelumnya yang mana pansel dibentuk pada pertengahan Mei 2019.
Keinginan pimpinan KPK memperpanjang masa jabatan juga amat sangat layak dipersoalkan karena buruknya kinerja mereka. Tak Sekadar disorot karena tak berdaya meringkus beberapa buronan termasuk politikus PDIP Harun Masiku, Variasi kasus menerpa Firli dan Sahabat-Sahabat.
Sebut saja yang terkini Merukapan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli soal pemberhentian Brigjen Endar Prihantoro sebagai direktur penyelidikan KPK.
Firli diduga pula terlibat pembocoran Arsip hasil penyelidikan dugaan korupsi tunjangan kinerja di Kementerian Kekuatan dan Sumber Daya Mineral. Lampau wakil ketua KPK, Johanis Tanak diduga melakukan pelanggaran karena melakukan komunikasi dengan pihak di ESDM yang sedang beperkara.
Alih-alih berbenah, pimpinan KPK malah sibuk Mau memperpanjang jabatan demi kekuasaan. Tak Terdapat Argumen konstitusional Buat mengamini ambisi sesat itu.
Jangankan jabatan diperpanjang, maju kembali dalam pencalonan Buat dipilih pun mereka tak layak.