Menolak Bangkrut karena Laut

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Lembaga Negara-Negara Kepulauan dan Negara Nusa (Archipelagic and Island States Lembaga) baru saja ditutup, kemarin. Kegiatan yang digelar selama dua hari di Nusa Dua, Bali, itu berhasil melahirkan sejumlah kesepakatan dan sebuah deklarasi, yang intinya memperkuat kerja sama dalam mengatasi masalah kelautan.

Presiden Joko Widodo saat membuka KTT menyampaikan, sebagai tuan rumah, Indonesia bersama negara kepulauan dan negara pulau lainnya menghadapi tantangan kompleks yang berkaitan satu sama lain. Misalnya persoalan kenaikan permukaan laut, tata kelola sumber daya laut, dan pencemaran laut.

“Kolaborasi dan solidaritas negara kepulauan dan negara pulau sangat penting untuk menghasilkan langkah-langkah strategis, konkret, dan taktis dalam penyelesaian masalah bersama,” ujar Presiden.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, bukan baru sekarang Indonesia berpikir soal kelautan. Indonesia bahkan punya kementerian khusus yang menangani masalah laut, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebuah kementerian yang lahir dari tuntutan reformasi pada 1999.

Cek Artikel:  Jangan Eksis Dusta Surat Bunyi

Kalau ditilik dari sisi umur, usia kementerian itu sudah menginjak 24 tahun pada tahun ini. Tetapi, persoalan laut terus saja mendera Indonesia.

Berbagai kebijakan tentunya telah diambil, baik oleh pemerintah saat ini maupun rezim-rezim sebelumnya. Akan tetapi, laut kita tetap saja masih dipenuhi sampah plastik dan berbagai kerusakan lain.

Apakah itu karena kebijakan yang diambil kerap berubah sesuai selera pemerintah yang berkuasa? Atau memang akarnya kita tak punya selera mengurus masalah laut?

Kita ambil contoh kebijakan soal ekspor pasir laut. Pada 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri melarang kegiatan ekspor pasir laut untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil. Menteri Industri dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan surat keputusan bersama sebagai payung hukum larangan itu.

Tetapi, 20 tahun kemudian, tepatnya pada 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo justru membuka keran ekspor pasir laut dengan menerbitkan PP No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 9 dan Pasal 15 PP itu menyebutkan, pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat digunakan untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Cek Artikel:  Bansos Beras Jangan Jadi Candu

Dua kebijakan itu terang saja membuat masyarakat bingung. Meski lahir dari presiden yang berasal dari partai yang sama, kebijakan itu bertolak belakang.

Pertanyaannya, mau dibawa ke mana sesungguhnya laut kita?

Itu baru satu persoalan, belum lagi soal sampah. Laut hingga sekarang masih menjadi tong sampah penduduk yang tinggal di darat.

Berdasarkan data yang dikeluarkan World Population Review, setiap tahunnya sekitar 4,8 juta hingga 12,7 juta metrik ton plastik masuk ke laut. Pada 2021, lima negara Asia menjadi penyumbang limbah plastik ke lautan di dunia, yaitu Tiongkok, Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Alamak, ada nama Indonesia di situ. Sungguh memalukan.

Ibarat sebuah rumah, laut tak bisa dipandang sebagai halaman belakang, tempat kita menaruh barang rongsok. Laut mesti tetap dipandang sebagai satu kesatuan dari rumah yang harus dipandang sama pentingnya.

Cek Artikel:  Bencana Tersebab Ulah Mahluk

Bahkan, jika perlu, pandangannya harus dibalik, laut adalah halaman depan rumah kita, menjadi etalase bagi orang lain yang melintas. Kalau laut bersih dan sehat, bisa dipastikan bersih dan sehat pula penghuni rumahnya.

Luas lautan di Indonesia sekitar 5,8 juta kilometer persegi dengan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, yang merupakan garis pantai produktif terpanjang kedua di dunia.

Indonesia merupakan negara dengan ekonomi kelautan terbesar di ASEAN, dengan nilai tambah sektor perikanan mencapai sekitar US$27 miliar. Karena itu, Indonesia harus menjadi teladan pengelolaan kelautan yang benar bagi negara kepulauan dan negara pulau lainnya.

Jangan punggungi laut, apalagi melanggengkan praktik rasuah sektor kelautan. Secara kelembagaan, jangan ada lagi korupsi seperti yang menimpa dua Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya. Demi tercapainya cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Mungkin Anda Menyukai