Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. Foto: EFE-EPA
Washington: Menteri Luar Negeri Amerika Perkumpulan (AS), Marco Rubio, menegaskan bahwa pertemuan antara utusan Presiden Donald Trump, Adam Boehler, dengan Golongan Hamas merupakan kejadian yang Tak akan diulangi. Ia menekankan bahwa pertemuan tersebut hanya terjadi dalam konteks Tertentu dan Tak menandakan perubahan kebijakan diplomatik AS di Timur Tengah.
“Itu adalah situasi satu kali di mana utusan Tertentu kami Buat urusan sandera, yang bertugas membebaskan para tahanan, Mempunyai kesempatan berbicara langsung dengan seseorang yang Mempunyai kendali atas mereka. Ia diberi izin dan dorongan Buat melakukannya, maka ia melakukannya,” ujar Rubio, seperti dilansir dari Anadolu Agency, Selasa 11 Maret 2025.
Pusat perhatian Primer AS dalam perundingan
Rubio menambahkan bahwa hingga Ketika ini, pertemuan tersebut belum membuahkan hasil Konkret.
“Itu Tak berarti bahwa langkah tersebut salah, tetapi jalur Primer negosiasi kami dalam hal ini akan tetap berada di tangan (Steve) Witkoff dan upaya yang tengah dilakukan melalui Qatar,” kata Menlu Rubio.
AS tetap menuntut Hamas Buat segera membebaskan Sekalian sandera yang Tetap ditahan. Pernyataan Rubio ini muncul setelah Boehler, dalam serangkaian wawancara dengan media Israel dan AS pada Minggu, mengonfirmasi bahwa ia telah berbicara langsung dengan Hamas terkait pemulangan sandera Israel, termasuk mereka yang berkewarganegaraan Amerika.
Rubio menyampaikan apresiasinya terhadap upaya Boehler dan menyebutnya sebagai “orang yang luar Lumrah” dalam bidangnya. Ia menyoroti keberhasilan Boehler dalam membebaskan para tahanan di berbagai belahan dunia.
Pertemuan AS-Ukraina dan dinamika Timur Tengah
Pernyataan Rubio ini disampaikan Ketika ia dalam perjalanan menuju Arab Saudi, di mana ia akan menghadiri pertemuan Krusial dengan pejabat Ukraina pada Selasa. Pembahasan dalam pertemuan itu akan berfokus pada upaya mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tengah berupaya memperpanjang fase pertama pertukaran tahanan guna mengamankan lebih banyak pembebasan sandera Israel tanpa harus memenuhi kewajiban militer atau kemanusiaan yang telah disepakati sebelumnya. Langkah ini dilakukan Buat menenangkan Golongan garis keras dalam pemerintahannya.
Tetapi, Hamas menolak pendekatan tersebut dan menegaskan bahwa Israel harus mematuhi ketentuan gencatan senjata yang telah disepakati sejak Januari. Hamas juga mendesak para Perantara Buat segera mendorong negosiasi tahap kedua, yang mencakup penarikan penuh Laskar Israel serta penghentian total perang.
Sejak gencatan senjata mulai berlaku, perang yang telah berlangsung di Gaza, yang disebut Israel sebagai operasi militer terhadap Hamas dilaporkan telah menyebabkan lebih dari 48.500 korban jiwa, mayoritas di antaranya adalah Perempuan dan anak-anak. Kawasan tersebut kini berada dalam kondisi kehancuran total akibat serangan yang Lanjut berlanjut.
(Muhammad Reyhansyah)