‘HARAPAN itu sesuatu bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata, dan tak pernah henti sama sekali’, tulis penyair Amerika, Emily Elizabeth Dickinson.
Hari-hari ini, harapan sebagian anak bangsa kita, mungkin sebagian besar, sedang mengapung tinggi. Tentu karena ada harapan positif, yakni potensi tim sepak bola Indonesia berlaga di Olimpiade untuk kali kedua setelah 68 tahun lalu. Sudah lama sekali.
Sebagian orang menyebut bahwa harapan itu melantunkan nyanyian kehidupan dalam dua jenis nada: mayor dan minor. Nada mayor membangkitkan harapan ‘positif’ serta merangsang gairah orang untuk berbuat kebajikan. Nada minor membangkitkan ‘harapan negatif’ yang menyentuh kesadaran orang agar terhindar dari keburukan.
Cita-cita positif itu bergema dari jiwa-jiwa altruis para pejuang lapangan hijau. Mereka punya ikhtiar kuat menembus ‘barikade’ tebal menjadi 16 negara elite dunia yang berlaga di Olimpiade. Hingga hari ini, harapan itu belum mati, sebagaimana pernah ditulis Emily Dickinson.
Apa boleh buat, kekalahan atas Irak dalam perebutan tempat ketiga membuat harapan itu tertunda. Kita masih menunggu hasil kontra Guinea U-23 di Paris, 9 Mei nanti. Tetapi, harapan tetap mengapung, sebagian besar membubung.
Sebuah pengapungan harapan yang wajar mengingat sudah hampir tujuh dekade sejak keikutsertaan akibat ‘keberuntungan’ di Olimpiade Melbourne 1956, kesempatan untuk berlaga itu datang lagi. Juga, harapan yang wajar karena tim U-23 Indonesia sukses membekuk tim-tim kuat di Asia, yakni Australia, Yordania, dan Korea Selatan.
Pada semifinal, kendati kalah dari Uzbekistan, ‘Garuda Muda’ mampu melakukan perlawanan yang berarti. Begitu pula ketika kontra Irak U-23, Justin Hubner dan kawan-kawan mampu memberikan perlawanan hingga 120 menit.
Maka itu, tidak mengherankan bila di Banda Aceh, Jakarta, Semarang, Purwokerto, Medan, Surabaya, Palu, Banjarmasin, Mataram, hingga ke Manokwari dan Merauke, jutaan orang rela melawan kantuk. Para pemburu harapan itu menggumamkan doa, memekikkan tempik sorak, bahkan mengomel atas hasil yang menyesakkan karena bagi mereka kita tinggal selangkah lagi menuju panggung olahraga dunia. Cita-cita itu ditabalkan di pundak penggawa ‘Garuda Muda’.
Mereka, pasukan ‘Garuda Muda’, itu seperti ‘semut-semut’ komunitas yang bergotong royong dalam alunan nada mayor. Nada mayor itu terdengar di tengah arus deras pengharapan bangsa yang masih menggemakan nada minor. ‘Cita-cita negatif’ menjadi kor harian. Para pengharap itu ingin para penghulu negara tidak salah urus.
Mereka menaruh harap pada sepak bola karena bertaruh harap pada yang lain kerap seperti menggantang asap. Berharap pada ekonomi yang bangkit tidak kunjung muncul daya ungkit. Berharap menemukan keadilan sejati kerap membuat sakit hati.
Dalam momen yang menguji daya sintas bangsa, para penggawa ‘Garuda Muda’ diharap bisa ‘menggendong Indonesia’ di kancah dunia. Mereka diajari bagaimana caranya punya daya juang. Mereka dituntut mengerti apa makna kebersamaan, kerja sama, kolektivitas. Mereka diajari menaklukkan ego, mengubur individualisme.
Kini mereka menjaga sumbu harapan itu agar tidak pernah mati. Dalam sepak bola Indonesia kini berharap. Semoga bisa.