NETRALITAS birokrasi (aparatur sipil, polisi dan tentara) dalam pemilihan umum (pemilu) ialah hal yang mutlak dalam tatanan negara demokrasi modern. Karena birokrasi ialah institusi publik yang dibentuk dan dibiayai masyarakat (melalui pajak, retribusi, dan lain-lain pungutan) untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, birokrasi harus terlepas dari ikatan partai politik dan golongan.
Birokrasi harus bisa dan mau melayani seluruh masyarakat secara adil dan setara. Karena fungsinya yang vital sebagai state machinery, sikap politik birokrasi harus jelas: yakni menjalankan tugas secara objektif serta menempatkan kepentingan dan keselamatan negara sebagai tujuan yang pokok dan diutamakan dari segala sesuatu yang lain.
Kepada dapat menjalankan fungsi tersebut dengan baik, birokrasi haruslah betul-betul bebas dari pemihakan dan keterlibatan dalam persaingan politik (political competition).
Di samping itu, karena birokrasi bukanlah lembaga politis, penguasaan aset-aset kekuasaan harus dapat dikendalikan agar tidak disalahgunakan secara tidak adil oleh pihak-pihak di luar birokrasi maupun oleh intern birokrasi itu sendiri. Sebagaimana dikemukakan mantan Presiden Amerika Perkumpulan TW Wilson, administrasi negara (birokrasi) merupakan bagian urusan yang mesti dipisahkan di segala macam persoalan politik.
Pada intinya persoalan birokrasi dalam kaitannya dengan politik ini meliputi dua hal. Pertama, adanya intervensi partai politik dalam proses rekrutmen dan penempatan jabatan-jabatan birokrasi. Kedua, penggunaan personel, aset-aset, dan infrastruktur birokrasi untuk kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi dan oleh birokrasi itu sendiri.
Intervensi partai politik dalam institusi birokrasi akan mengacaukan tata kerja birokrasi yang seharusnya berdasar pada prinsip-prinsip manajemen pemerintahan (public sector management) yang sehat, rasional, dan berdasarkan hukum. Apabila intervensi dilakukan, misalnya, sistem pembinaan pegawai akan rusak karena pengangkatan pejabat hanya didasari prinsip suka-tidak suka (like and dislike) dalam konteks kepentingan politik, tidak didasari pertimbangan kemampuan, kapasitas, dan pengalaman kerja.
Sementara itu, penggunaan aset dan infrastruktur birokrasi untuk kepentingan politik dan personal juga akan dapat menimbulkan sikap diskriminatif, membangkitkan kecemburuan sosial, konflik antarwarga negara, atau bahkan pembangkangan warga negara kepada pemerintah (dalam hal ini kelompok-kelompok yang dirugikan dapat saja melecehkan peran yang dilakukan birokrasi, menentang program pemerintah, atau bahkan melakukan perlawanan atau resistance, dan penghancuran fisik terhadap aparatur dan organisasi pemerintah).
Apabila hal itu dibiarkan, tujuan birokrasi ideal yang dapat melayani semua pihak tanpa pandang bulu secara profesional tidak akan dapat tercapai. Bahkan, birokrasi dapat menjadi sebuah korps yang dianggap sebagai benalu belaka dalam masyarakat. Akibatnya, birokrasi tidak saja dapat berperan dalam mengacaukan tertib sosial, tetapi juga dapat menghancurkan dan mendisintegrasikan eksistensi negara.
Kepada itulah, kita perlu membangun pola hubungan dan mengatur persoalan birokrasi dan politik ini sebaik mungkin. Penggunaan birokrasi sebagai mesin politik oleh partai politik tidak dapat dibenarkan karena memicu ketidakadilan politik. Sementara itu, penggunaan aset kekuasaan birokrasi untuk kepentingan aparatur birokrasi sendiri juga tidak bisa diterima karena merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Penggunaan wewenang yang diberikan negara kepada aparat birokrasi untuk mencapai tujuan pribadi/kelompok tertentu ilah hal yang nista dan amoral. Misalnya-contoh bentuk penyalahgunaan kekuasaan birokrasi itu sebagai berikut.
1. Penggunaan birokrasi sebagai mesin politik oleh Golongan Karya pada masa Orde Baru. Pada saat itu birokrasi identik dengan Golkar dan birokrasi juga dijadikan salah satu tiang penyangga politik melalui ‘jalur B’, di samping ABRI dan organisasi kekaryaan. Oleh Golkar, birokrasi dimanfaatkan untuk mendukung kekuasaan mereka baik dalam penggunaan fasilitas, memobilisasi massa pemilih, mengendalikan kebebasan politik masyarakat, dan sebagainya.
Sistem dan proses-proses dalam birokrasi juga diintervensi sehingga pengangkatan pejabat-pejabat birokrasi ditentukan kadar loyalitas mereka pada Golkar. Akibatnya dalam melayani masyarakat, birokrasi bersikap diskriminatif. Pada akhirnya, sikap tersebut menimbulkan rasa apatisme dan bahkan kebencian di kalangan masyarakat.
2. Seorang guru yang diberi wewenang negara untuk mengajar dan melaksanakan ujian murid kemudian mereka melakukan pemogokan agar gaji mereka dinaikkan ialah juga sebuah bentuk penyalahgunaan wewenang untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok. Melakukan tuntutan kenaikan gaji boleh saja dilakukan, tapi hendaknya jangan memakai kekuasaan/wewenang yang diberikan negara.
Dapat kita bayangkan jika semua aparatur negara menggunakan kewenangan mereka untuk mencapai tujuan tertentu, sengsaralah seluruh rakyat yang telah menggaji mereka. Katakanlah, kalau semua aparatur birokrasi menuntut kenaikan gaji dengan cara mogok: polisi mogok patroli, dokter mogok mengobati, dinas kebersihan tidak memungut sampah, kelurahan tidak ada yang ngurus KTP, dan seterusnya, rakyat belaka nantinya yang menjadi korban penggunaan kewenangan yang sewenang-wenang semacam itu.
Oleh karena itu, di dalam menuntut sebuah hak, birokrasi tidak boleh mengaitkannya dengan tugas negara atau menjadikan pelaksanaan tugas negara sebagai sandera atas pemenuhan tuntutan itu. Menyampaikan dan menuntut sesuatu wajar dilakukan, tapi menjalankan tugas negara tidak boleh diabaikan dengan cara mogok.
3. Seorang aparat birokrasi yang diberi wewenang oleh negara untuk membuat perizinan atau dokumen tertentu kemudian dia melakukan kerja yang demikian rupa berbelit-belit sehingga pengguna jasanya memberikan upeti/suap agar prosesnya lancar ialah juga merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan yang amoral.
Aparatur imigrasi yang mempersulit pembuatan paspor, pegawai kelurahan yang berbelit dalam pengurusan pembuatan KTP, polisi yang suka mempermainkan surat tilang, dan pegawai Badan Pertanahan yang seenaknya mengurus sertifikat tanah ialah bentuk kongkrit abuse of power. Dalam kasus semacam itu, birokrat telah menggunakan kekuasaan yang ada pada mereka untuk memperkaya diri sendiri secara ilegal.
4. Kepala desa atau aparatur pemerintah daerah yang melakukan penggalangan dukungan terbuka kepada partai politik atau calon pejabat politik ialah juga bentuk penyalahgunaan kewenangan. Sesuai dengan UU ASN No 20 Mengertin 2023, aparatur pemerintah seharusnya menjadi entitas individu maupun institusi yang tidak boleh berpolitik praktis atau memperlihatkan keberpihakan politik kepada suatu kandidat dan/atau kekuatan politik.
Mencegah penyalahgunaan kekuasaan birokrasi
Sebagaimana uraian di atas, kita dapat melihat betapa besar kerusakan dan kerugian negara yang mungkin timbul akibat tidak beresnya birokrasi memperlakukan kekuasaan mereka. Kepada menghindari hal tersebut, perlu diambil tindakan-tindakan antara lain sebagai berikut.
Tindakan pertama netralisasi birokrasi.
Penguasa dan politikus boleh berganti-ganti tiap pergantian rezim dan penyelenggaraan pemilu, tetapi birokrasi harus tetap pada posisi mereka dan steril dari pengaruh para penguasa dan politikus itu.
Prinsip asas netralitas politik birokrasi itu mencakup dua prinsip penting, yakni, pertama, institusi birokrasi harus terbebas dari pemihakan terhadap kelompok tertentu dan bersih dari penggunaan fasilitas dan infrastruktur birokrasi untuk kepentingan partai atau golongan tertentu walaupun mereka mayoritas.
Dengan kata lain, birokrasi harus menjadi lembaga administrasi semata yang bekerja secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip administrasi dan manajemen. Dengan demikian, birokrasi harus terhindar dari pelaksanaan tugas yang bersifat diskriminatif dan harus menjalankan tugas yang bersandar pada prinsip kesamaan (equality) terhadap seluruh kelompok masyarakat.
Kedua, konsep netralitas juga dimaksudkan agar birokrasi terbebas dari campur tangan parpol dalam proses rekrutmen dan penempatan pejabat birokrasi. Pejabat-pejabat birokrasi diangkat dan diposisikan pada jabatan tertentu semata-mata atas dasar profesionalisme, kelayakan (fit) dan kepatutan (proper), bukan karena kepentingan politik.
Prinsip netralitas birokrasi itu membutuhkan prasyarat akan berfungsinya seluruh elemen sistaem politik seperti partai politik, pers, dan lembaga legislatif sesuai dengan fungsi dasar masing-masing. Definisinya, bila kita hendak mewujudkan institusi birokrasi yang profesional sesuai fungsi pokok mereka, sikap profesional juga harus dilakukan elemen lainnya.
Dalam kaitan itu, Francis Rourke (1984), misalnya, mengingatkan bahwa netralitas birokrasi dalam politik dapat dikatakan tidak mungkin jika partai politik dalam suatu negara tidak mampu melaksanakan fungsi mereka dengan baik.
Pemisahan antara administrasi pemerintahan, yang dalam hal ini dilaksanakan birokrasi, dan politik praktis ialah sejalur dengan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) dalam sistem politik yang mementingkan kontrol dan keseimbangan (checks and balances) di antara para pemegang kekuasaan.
Dalam hal itu, birokrasi ialah elemen dalam kekuasaan eksekutif yang tidak boleh memainkan peran sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Sebaliknya, kekuatan politik semacam partai politik ialah pemegang kekuasaan legislatif yang tidak boleh mencampuri pelaksanaan tugas bidang eksekutif. Dengan demikian, tidak akan terjadi akumulasi sumber kekuasaan yang terlalu besar pada para pejabat negara.
Tindakan 2 pengaturan dan pembatasan sumber kekuasaan.
Pihak legislatif harus dapat membuat batasan-batasan penggunaan kewenangan aparatur dan pejabat birokrasi melalui berbagai regulasi serta mengawasi berjalannya regulasi itu secara ketat. Undang-undang juga harus menetapkan batas-batas kewenangan pejabat birokrasi dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran kewenangan itu.
Aset kekuasaan untuk bertindak atas nama negara, misalnya, harus terdefinisikan secara ketat sehingga aparatur birokrasi seperti ASN, aparat kepolisian, atau militer tidak bisa sewenang-wenang menggunakan fasilitas, kewenangan, dan atribut jabatan untuk mendukung kandidat atau partai politik tertentu.
Tindakan 3 memperkuat partisipasi publik (public participation).
Masyarakat harus diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses birokrasi mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Harus diingat bahwa tanpa adanya kemampuan masyarakat dan pemberian kesempatan, partisipasi tidak akan dapat berjalan.
Oleh karena itu, tindakan pemberdayaan (empowerment) bertujuan masyarakat tahu hak dan kewajiban mereka serta tersedianya iklim yang kondusif (availability of chance) harus berjalan seiring. Dalam konteks itu, pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menjadikan rakyat mengerti akan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara serta penguatan civil society memiliki fungsi yang sangat penting agar mereka mengerti bagaimana mereka harus memperlakukan dan mengontrol birokrasi agar berjalan sesuai dengan tugas dan posisi mereka sebagai pelaksana administrasi pemerintahan negara.
Tindakan 4 menjadikan birokrasi sebagai institusi terbuka.
Dengan adanya transparansi (keterbukaan), kinerja birokrasi yang dapat dilihat (diakses) langsung oleh masyarakat. Tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses birokrasi, misalnya, masyarakat harus tahu bagaimana suatu prosedur birokrasi lahir, bagaimana proses pembuatan proyek fasilitas umum, bagaimana tata cara pengurusan proses dokumen semacam sertifikat tanah, paspor, dan sejenisnya secara apa adanya. Tentu saja, tentang bagaimana proses transparansi yang memungkinkan masyarakat memiliki akses untuk melihat kinerja dan regulasi tentang birokrasi itu perlu diatur dalam regulasi yang formal.
Tindakan 5 membangun responsibilitas birokrasi.
Kita harus dapat menciptakan sikap dan kondisi aparatur yang bertanggung jawab (responsible) terhadap apa yang mereka putuskan dan perbuat. Dengan demikian, harus ada job description yang jelas dan diketahui para pengguna jasa, dan pihak-pihak yang terkait dengan tiap tugas aparat (stakeholder). Dengan demikian, mereka dapat meminta dan menuntut aparatur birokrasi bekerja sesuai tugas masing-masing yang telah ditetapkan.
Tugas tiap aparat dan pejabat birokrasi sebaiknya diumumkan (diberitakan) kepada publik di tiap kantor instansi sehingga para pengguna jasa dapat membaca/mengetahui apa sajakah tugas mereka secara gamblang. Seluruh langkah di atas memang mudah untuk dikatakan, tetapi akhir-akhir ini terlihat sulit dilaksanakan. Biarpun demikian, kita percaya bahwa usaha yang sungguh-sungguh dan terus-menerus akan dapat membawa perbaikan yang signifikan bagi institusi birokrasi.