Menjaga Kemurnian Bunyi Pemilih

Menjaga Kemurnian Suara Pemilih
(Dok. Pribadi)

DARI semua tahapan pemilu, pemungutan dan penghitungan suara merupakan tahapan yang paling mendapat perhatian. Hasil dari kerja politik dan kepemiluan selama hampir dua tahun ditentukan pada masa ini. Bagi penyelenggara, sukses tidaknya rangkaian tahapan yang sudah dikerjakan bermuara pada hari pencoblosan. Eksispun bagi peserta pemilu, tahapan ini menentukan nasib politiknya lima tahun ke depan.

Hari pemungutan suara memang menjadi tahapan puncak pelaksanaan pemilu. Meski pelaksanaannya satu hari, persiapannya membutuhkan waktu yang panjang, juga uang dan personel yang banyak.

Kepada melayani pemilih terdaftar, Komisi Pemilihan Standar harus merekrut 5.741.127 anggota Grup Penyelenggara Pemungutan Bunyi (KPPS) yang bertugas di 820.161 tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia.

Baca juga : Dekat Seluruh Surat Bunyi Pemilu 2024 Terkirim ke Kabupaten/Kota

Jumlah ini belum termasuk petugas KPPS luar negeri yang bertugas di 3.059 TPS. Kalau melibatkan komisioner KPU pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, anggota Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Bunyi tingkat desa se-Indonesia, setidaknya ada sekitar 7 juta lebih penyelenggara pemilu dari unsur KPU yang terlibat pada satu hari pemungutan suara tersebut.

Banyaknya jumlah anggota KPPS yang terlibat melayani pemilih itu merupakan konsekuensi dari model pemilu yang diambil-putuskan oleh pembuat kebijakan. Pemilu legislatif kita, misalnya, menggunakan sistem proporsional terbuka, di mana yang dipilih bukan hanya partai politik peserta pemilu, tetapi juga calon anggota legislatif yang ada di partai tersebut. Dapat dibayangkan, dengan 18 parpol peserta pemilu, dan setiap parpol bisa mengajukan caleg maksimal sejumlah kursi yang ada di suatu dapil, maka jumlah caleg yang ada dalam surat suara untuk satu dapil sangat banyak.

Berdasarkan data yang dirilis KPU, caleg untuk DPR RI sebanyak 9.917 orang tersebar di 84 dapil dan calon anggota DPD 668 orang. Bilangan ini belum termasuk jumlah caleg DPRD provinsi di 301 dapil dan DPRD kabupaten/kota di 2.325 dapil. Dengan jumlah sebesar ini, yang dibutuhkan bukan hanya logsitik pemilu, tetapi juga ketelatenan petugas TPS menghitung dan mengadministrasikan hasil perolehan suara. Secara teknis, kerumitannya, jika diuraikan, cukup banyak. Kagak hanya dialami petugas KPPS, tetapi juga pemilih.

Baca juga : Indikasi Kecurangan Menguat, Publik Bergerak Kawal Pemilu

Kerumitan ini kian bertambah dengan digabungkannya pelaksanaan lima jenis pemilihan pada satu hari yang sama. Lima jenis itu ialah pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPR RI, pemilihan anggota DPRD provinsi, dan pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota. Secara teknis, tidak berlebihan bila pemilu Indonesia disebut sebagai pelaksanaan pemilu terbesar satu hari dan terumit di dunia. The biggest one-day election in the world.

Pemilu 2019, yang menjadi penyelenggaraan pemilu serentak pertama untuk lima jenis pemilihan, mengajarkan kepada kita bahwa begitu berat dipikul oleh petugas KPPS. Tercatat lebih kurang 894 petugas KPPS meninggal dunia baik pada saat atau sesudah hari pemungutan dengan berbagai sebab. Mereka bekerja jauh melebihi batas normal jam kerja layaknya seorang pekerja. Ini karena tidak boleh ada jeda sejak dari pemungutan suara dimulai sampai penghitungan suara selesai.

Cek Artikel:  Pilkadal dan Kesadaran Kritis Rakyat

Sebenarnya, jalan keluar dari kerumitan tersebut sudah tersedia. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi informasi, apakah dalam bentuk e-voting atau e-counting. Eksis juga opsi yang ditawarkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan ini, mahkamah merekomendasikan enam model pemilu serentak. Pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD. Model ini pernah diterapkan pada Pemilu 2019.

Baca juga : Timnas AMIN Keliling Jateng Konsolidasi Pencegahan Kecurangan

Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur, dan bupati/wali kota.

Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, anggota DPRD (provinsi dan kabupaten/kota), gubernur, dan bupati/wali kota. Model ini akan diterapkan pada Pemilu 2024 berdasarkan UU No 7/2017 dan UU No 10/2016 jika tak direvisi.

Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.

Baca juga : Kisruh Surat Bunyi Taipei, Bawaslu Diminta Buat Putusan Mengikat

Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati dan wali kota.

Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

 

Baca juga : Telanjur Dikirim, 62 Ribu Surat Bunyi di Taipei Dianggap Rusak

MI/Seno

 

Baca juga : Member DPR Berharap Penanganan Kebocoran Data KPU Lebih Berkualitas

Lokus kecurangan

Di luar soal kerumitan yang telah menjadi ‘ciri khas’ penyelenggaraan pemilu Indonesia, yang menjadi fokus perhatian pada hari pemungutan suara ialah potensi terjadinya kecurangan berupa manipulasi suara pemilih. Berkurang atau bertambahnya suara pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai, caleg, atau calon DPD selama proses penghitungan suara di TPS sangat mungkin terjadi, terutama di TPS yang minim dari pengawasan baik dari saksi peserta pemilu, pengawas TPS, maupun masyarakat.

Data TPS adalah data mahkota karena dari sinilah sumber awal perolehan suara didapat. Keaslian dan validitasnya harus terjaga dengan baik sesuai dengan standar yang ditentukan. Di titik ini satu demi satu suara sah dan tidak sah dihitung dan dicatat, termasuk surat suara rusak, keliru coblos, atau surat suara sisa. Kecermatan menentukan surat suara sah atau tidak menjadi sangat penting untuk diawasi. Begitu pula sama pentingnya memastikan pencatatan hasil penghitungan ke lembar formulir yang sudah disediakan.

Cek Artikel:  Air, Sanitasi, dan Higienis WASH

Baca juga : Prabowo: Pemilu Harus Dijalankan Judul dan Kudus, Tanpa Kecurangan

Hal serupa juga bisa terjadi ketika hasil perolehan suara di TPS bergerak menuju kecamatan untuk dilakukan rekapituasi. Jumlah perolehan suara paslon atau caleg di TPS tidak lagi sama jumlahnya ketika akan dilakukan rekapitulasi oleh penyelenggara tingkat kecamatan. Standarnya pelaku kecurangan ini tidak bekerja sendiri, tetapi melibatkan lebih dari satu orang. Tujuannya, memastikan proses kecurangan berlangsung aman tanpa menimbulkan kecurigaan apalagi diketahui orang lain.

Dua lokus tersebut dikenal rawan terjadi kecurangan terhadap hasil. Dari sinilah kemenangan dan kekalahan itu berasal. Sebagai stasiun bagi awal pemilih memberikan suaranya, TPS menjadi penting ‘dikuasai’. Dari TPS bisa diteropong peluang kemenangan atau kekalahan tanpa harus menunggu hasil rekapitulasi nasional yang diumumkan oleh KPU. Sedangkan di tingkat kecamatan menjadi tempat konsolidasi suara dari semua TPS melalui mekanisme rekapitulasi. Proses sebelum dan selama rekap masih terbuka celah dilakukan ‘penyesuaian’ sesuai dengan yang diinginkan.

 

Baca juga : Ini Desain Surat Bunyi Pilpres 2024

Kemurnian suara

Karena itu, pengawasan di dua tempat ini harus dipertebal. Kerja-kerja pengawasan dan pengawalan tidak harus dilakukan saksi peserta dan pengawas pemilu. Masyarakat perlu mengambil peran aktif agar tidak terjadi penyelewengan dan berbagai jenis kecurangan lain, khususnya saat pemungutan dan penghitungan suara berlangsung.

Kalau merujuk pada peristiwa politik yang mengiringi hari-hari menuju pemungutan suara, pelanggaran begitu telanjang terjadi di depan mata. Aksi melanggar aturan baik yang samar maupun yang vulgar tidak hanya melibatkan peserta, tim sukses atau masyarakat biasa, tetapi juga pihak yang ‘diharamkan’ undang-undang. Orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko Widodo, bahkan secara terbuka menyatakan akan cawe-cawe dalam pemilu. Di lain kesempatan, Jokowi mempertegas sikap cawe-cawenya lewat pernyataan bahwa presiden memiliki hak politik untuk memihak salah satu paslon dan bisa berkampanye.

Baca juga : Organisasi Advokat Deklarasi Dukung Pemilu Adil tanpa Kecurangan

Karuan saja, ‘deklarasi sikap’ politik Jokowi memicu gelombang pro dan kontra sekaligus kewaspadaan tinggi. Dalam skala yang lebih besar, itu bukan saja membahayakan pelaksanaan pemilu yang harus taat asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu. Lebih dari itu, menguncang dan meruntuhkan fondasi demokrasi bangsa yang dibangun dengan susah payah. Masa depan demokrasi Indonesia dipertaruhkan oleh ketidaknetralan aktor dan penyelenggara negara.

Situasi demikian adalah alarm bahwa keadaan sebelum, saat, dan setelah hari pemungutan suara penting untuk diwaspadai. Karenanya, dibutuhkan respons yang sangat serius dan segera dari pemangku kepentingan pemilu. Satu di antara banyak pilihan yang bisa dilakukan sebagai respons terhadap alarm tersebut ialah menjaga kemurnian suara pemilih.

Cek Artikel:  Memaknai Kemerdekaan Kita

Di kalangan masyarakat pemilih, muncul banyak inisiatif menyelamatkan Pemilu 2024 ini dari rongrongan para demagog politik. Eksis gerakan jaga pemilu, kanal peta kecurangan pemilu, dan gerakan jaga suara 2024. Gerakan jaga suara 2024, misalnya, mendedikasikan dirinya untuk memastikan suara pemilih tidak diubah peruntukan dan jumlahnya oleh agen-agen politisi busuk yang rakus kekuasaan yang beroperasi di dalam atau sekitar TPS. Kehadiran gerakan ini, sekaligus pesan bagi peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan otoritas negara bahwa kerja-kerja mereka dipantau dan diawasi rakyat, sang pemilik kedaulatan.

Baca juga : Anies Mau Bunyi Rakyat Tamat ke Akhir Penghitungan

Menjaga kemurnian suara pemilih pada pokoknya adalah memastikan hasil pemilu tidak dimanipulasi oleh tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab. Pilihan pemilih haruslah dilindungi dari para bandit politik yang cara kerjanya sudah seperti mafia. Kesediaan pemilih menjalankan hak konstitusionalnya mesti dihormati.

Sepatutnya disadari bahwa hari pemungutan suara merupakan megaparade partisipasi masyarakat paling aktif dalam aspek politik dan demokrasi. Sebanyak 204.807.222 juta dari 278 juta penduduk terdaftar sebagai pemilih, bergerak serentak di hari, tanggal, dan waktu yang sama. Mereka menunaikan hak politiknya untuk memilih calon pemimpin, juga wakil rakyat yang mereka yakini bisa menjadi tulang punggung, menyejahterakan, dan mamajukan bangsa ini.

Karena itu, pemilu harus dipastikan proses dan hasilnya senapas dengan dalil yang selalu didengungkan, yakni jujur, adil, dan tepercaya. Terlalu mahal ongkos yang harus dibayar jika pemilu diselenggarakan, tetapi mengangkangi regulasi dan keadaban publik. Pemilu yang tidak jujur dan adil berisiko mencabik-cabik tenun kebangsaan yang sudah terbangun selama ini.

Baca juga : Perkuat Pengawasan Partisipatif Publik untuk Menjaga Kecurangan Pemilu

Sebagai bagian dari perangkat demokrasi, pemilu merupakan ritual suci demokrasi dalam memilih pemimpin yang harus dijaga kesakralannya. Kagak boleh dinodai oleh dan atas nama apa pun selain untuk demokrasi itu sendiri. Bangsa ini butuh demokrasi yang terus bertumbuh, kehidupan sosial dan politik yang stabil, dan perekonomian yang menjanjikan di masa depan. Asa itu ada pada penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sedang berlangsung dan sebentar lagi memasuki tahapan puncak.

Karena itu, tidak ada pilihan selain menjaga agar pemilu ini berproses dalam kerangka hukum dan moral serta nilai-nilai demokrasi. Jangan biarkan kepercayaan kepada mekanisme demokrasi ini untuk melahirkan pemimpin yang kompeten, dirusak oleh peserta pemilu, penyelenggara, dan otoritas negara yang tidak peduli masa depan negaranya. Nasrun minallah wa fathun qariib, wa bassyiril mu’miniin. 

 

Baca juga : Jokowi tidak Acuh Kekecewaan Publik, Penyalahgunaan Kekuasaan Bakal terus Terjadi

 

Mungkin Anda Menyukai