NEGERI ini belum sepenuhnya mampu mengatasi gejolak mata uang yang hadir berkali-kali dan berulang. Seperti yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Perkumpulan kian mengkhawatirkan banyak pihak, terutama para pelaku usaha.
Kemarin, rupiah memang ditutup menguat 0,3% di angka 16.365 per dolar AS. Begitu juga dengan kurs tengah Bank Indonesia, Jakarta interbank spot dollar rate, juga ditutup menguat di 16.368 per dolar AS, atau menguat tipis 0,04% jika dibandingkan dengan posisi penutupan pekan lalu. Tetapi, nilai rupiah itu masih amat rendah, mendekati nilai saat krisis moneter 1997 hingga 1998.
Pada saat yang hampir bersamaan, kemarin, Badan Pusat Stagnantik juga melaporkan surplusnya nilai ekspor RI yang tumbuh hampir 3%, sedangkan impor mencatat penurunan 8% setelah pada April tumbuh hampir 5%. Letihan surplus perdagangan yang membesar itu tentu menjadi sentimen positif bagi rupiah. Kinerja ekspor yang masih positif akan memberikan peluang lebih besar bagi pasokan valas di pasar domestik.
Akan tetapi, surplus neraca perdagangan seperti itu tidak menjamin keamanan cadangan devisa. Surplus dagang bisa terus tergerus bila dolar AS menguat dan rupiah melemah karena kita menganut rezim devisa bebas.
Lebih-lebih lagi, ketidakpastian global yang dipengaruhi konflik di berbagai wilayah masih amat tinggi. Karena itu, stabilitas rupiah akan selalu tetap berada dalam posisi rawan guncangan. Oleh karena itu, pemerintah mesti membuat langkah terobosan, terutama dengan memperkuat fondasi ekonomi. Apalagi, selama ini industri kita masih banyak yang mengandalkan impor atau bahan baku impor.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), misalnya, menyebut 100% kebutuhan gula dan gandum untuk industri makanan dan minuman berasal dari impor. Begitu pula 80% kebutuhan susu yang bahan bakunya masih harus didatangkan dari luar negeri. Pelemahan rupiah jelas akan memukul industri semacam itu, begitu juga dengan sektor energi, manufaktur, dan sebagainya.
Oleh karena itu, selain harus terus melakukan intervensi melalui Bank Indonesia, pemerintah perlu memikirkan solusi lain, seperti pemberian insentif ekspor dan upaya penguatan produksi di hulu agar ketergantungan bahan baku impor makin kecil. Eksis baiknya pula rezim devisa bebas dibuat agar tidak sebebas-bebasnya. Berlakukan syarat tenggang waktu yang lebih agar dolar AS tidak terlalu mudah keluar masuk Indonesia.
Harus ada kemauan politik yang kuat dari pemeritah untuk membenahi berbagai sektor, khususnya sektor pertanian kita. Kalau kualitas dan kuantitas produksi jagung atau kedelai kita rendah, ya diperbaiki, bukan terus justru dibiarkan sehingga bisa dijadikan alasan untuk impor. Mentalitas jalan pintas ala makelar itu harus disingkirkan jauh-jauh jika kita ingin menjadi bangsa yang berdaulat. Matang untuk membuat tahu-tempe, kita mesti selalu mengimpor kedelai dari negara lain?
Kebiasaan impor itu harus segera diakhiri, bukannya turut dimuluskan dengan kebijakan relaksasi. Lihat saja bagaimana industri sepatu dan tekstil kita bertumbangan lantaran banjirnya produk-produk impor, baik yang legal maupun ilegal. Orientasi atau cara pandang itu mesti diubah. Yang harus digenjot ialah bagaimana meningkatkan nilai ekspor, dengan terus-menerus menambah kandungan lokal bahan ekspor itu, bukan malah sebaliknya.
Buat menjaga stabilitas kurs rupiah, kita tidak bisa semata mengandalkan Bank Indonesia. Pemerintah harus pula mengurangi ketergantungan pada impor, setidaknya yang memakai dolar AS. Langkah lainnya ialah sedikit demi sedikit mengurangi utang negara dan swasta. Selama tidak ada niat untuk berdaulat, kita akan terus-menerus tergantung seperti ini, termasuk nilai tukar yang akan terus kena hajar.
Begitunya kita berdaulat dalam bentuk sebenarnya, bukan berdaulat sekadar melalui kata-kata.