Menjaga Indonesia

Menjaga Indonesia
(MI/Duta)

BEBERAPA waktu terakhir, jalan-jalan di sejumlah kota besar kembali dipenuhi massa. Aksi demonstrasi yang sejatinya menjadi saluran aspirasi yang wajar dan konstitusional, kerap berkembang ke arah yang lebih keras, yakni perusakan fasilitas Lazim, penyerangan aparat, bahkan bentrokan antarkelompok masyarakat. Kita menyaksikan betapa rentan situasi keamanan nasional ketika kanal politik dan sosial Tak Bisa menyalurkan aspirasi secara sehat.

Fenomena ini bukan sekadar dinamika politik sesaat. Ia mengandung pesan yang lebih serius tentang ancaman keamanan dan disintegrasi bangsa. Polarisasi yang semakin tajam, Bagus di ruang Konkret maupun ruang digital, menjadi api dalam sekam yang mudah tersulut oleh isu-isu politik, ekonomi, dan Keyakinan. Bila dibiarkan, ia dapat merusak sendi-sendi kebangsaan yang telah Lamban kita bangun.

 

MENIMBANG AKAR MASALAH

Aksi massa yang berujung pada kerusuhan bukan hanya merugikan negara secara finansia, karena infrastruktur publik yang rusak mesti diperbaiki dengan biaya Tak sedikit, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang sulit dipulihkan. Masyarakat merasa Tak Kondusif, sektor ekonomi terganggu, bahkan Rekanan sosial yang semula rukun dapat berubah menjadi saling curiga.

Kondisi ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, demokrasi menjamin hak Anggota negara Buat menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Tetapi, di sisi lain, ketika Aktualisasi diri itu melampaui batas hukum dan moral, Bahkan yang muncul ialah ketidakadilan baru. Hak masyarakat luas Buat hidup tenang dan Kondusif menjadi terganggu. Inilah dilema klasik yang Lalu menghantui demokrasi kita.

Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang besar Tak runtuh karena serangan dari luar, melainkan dari keretakan internal. Ketika Grup-Grup masyarakat lebih mengedepankan ego sektoral dan kepentingan politik pragmatis mendominasi wacana publik, maka benih disintegrasi akan tumbuh.

Cek Artikel:  Agenda Membangun Kualitas Demokrasi Indonesia

Indonesia Mempunyai pengalaman panjang dalam menghadapi potensi disintegrasi. Konflik horizontal di Maluku, Poso, Aceh, hingga Papua menjadi pengingat bahwa rapuhnya kohesi sosial Dapat berujung pada tragedi kemanusiaan. Kini, kita menghadapi tantangan baru bahwa disintegrasi bukan hanya soal fisik dan teritorial, melainkan juga disintegrasi kesadaran kebangsaan. Di era media sosial, hoaks dan ujaran kebencian dapat dengan Segera meruntuhkan rasa persaudaraan yang telah Lamban terbangun.

Kita perlu jujur bahwa demonstrasi yang marak belakangan ini Tak muncul dalam ruang hampa. Eksis kekecewaan publik terhadap kebijakan, Eksis ketidakpuasan atas distribusi kesejahteraan, Eksis rasa ketidakadilan dalam proses politik. Aspirasi yang Tak tersalurkan dengan Bagus kerap mencari jalannya sendiri melalui jalanan. Tentu Tak menafikan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang diuntungkan sebagai penumpang gelap.

Tetapi, solusi yang digunakan Tak Dapat sekadar represif. Mengandalkan aparat keamanan semata hanya akan menimbulkan siklus kekerasan yang Tak produktif. Yang lebih dibutuhkan ialah kanal dialog yang sehat, kebijakan publik yang adil, serta ruang partisipasi yang terbuka. Tanpa itu, kita hanya menunda letupan-letupan berikutnya. Kita tentu menyambut Bagus langkah-langkah solutif dan negarawan yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto.

 

TANGGUNG JAWAB KOLEKTIF

Harus diingat, menjaga Indonesia bukan hanya tugas aparatur negara atau sekelompok elite politik. Ini adalah tanggung jawab kolektif seluruh Anggota bangsa. Buat itu, Eksis sejumlah langkah strategis yang harus kita lakukan. Pertama, menguatkan musyawarah. Demokrasi kita harus kembali pada semangat Asal para pendiri bangsa, yakni mengutamakan musyawarah mufakat, bukan sekadar adu jumlah Bunyi atau demonstrasi kekuatan di jalanan. Musyawarah memungkinkan setiap pihak didengar, tanpa harus menimbulkan korban.

Cek Artikel:  Empat Gaya King Maker Pilkada 2024

Kedua, membangun etika publik. Hak Buat menyampaikan pendapat harus diimbangi dengan kesadaran etis. Merusak atau bahkan memusnahkan fasilitas Lazim, menebar hoaks, atau menciptakan kerusuhan massa Terang bukan bagian dari kebebasan yang sehat. Kesadaran ini perlu ditanamkan, Bagus melalui pendidikan maupun teladan dari para pemimpin.

Ketiga, menghidupkan solidaritas sosial. Ketika satu Grup merasa terpinggirkan atau terzalimi, solidaritas sosial harus hadir. Kita perlu melampaui sekat politik, Keyakinan, dan etnis Buat menegaskan kembali bahwa kita Segala adalah Anggota Indonesia yang setara.

Keempat, mengawal kebijakan publik. Aksi jalanan Sepatutnya menjadi opsi terakhir. Mekanisme demokrasi yang lebih sehat ialah dengan mengawal kebijakan melalui jalur institusional, yakni parlemen, lembaga pengawas, hingga ruang akademik dan media. Oleh karena itu, sejumlah pilar demokrasi ini harus Betul-Betul dipastikan berfungsi dengan Bagus.

Dalam situasi Demi ini, kita perlu belajar dari para pendahulu kita. Para pendiri bangsa menyadari bahwa Indonesia hanya Dapat berdiri tegak bila berada di atas fondasi persatuan. Itulah mengapa Slogan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan yang diiklankan di Perhimpunan-Perhimpunan kenegaraan, melainkan menjadi falsafah hidup Serempak. Kita harus belajar dari kearifan mereka yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Para pendiri bangsa ini memberikan keteladanan terbaik bagaimana perbedaan ideologi dan latar belakang Dapat disatukan demi kepentingan bangsa. Kini, tantangannya ialah apakah kita Bisa mewarisi semangat itu, atau Bahkan terjebak pada pragmatisme dan arogansi politik yang sempit.

Cek Artikel:  Indonesia Darurat Krisis Iklim

 

JATI DIRI BANGSA

Salah satu medan baru yang Tak boleh diabaikan ialah ruang digital. Di sanalah opini publik dibentuk dan di sana pula benih perpecahan sering disemai. Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak agar masyarakat Tak mudah terprovokasi. Maka, media sosial Sepatutnya menjadi sarana edukasi, bukan sarana menebar kebencian.

Negara juga harus hadir dengan regulasi yang Terang, tetapi Tak membungkam. Menindak penyebar hoaks memang Krusial, tetapi yang lebih Krusial ialah membangun kultur digital yang sehat, di mana Anggota saling menghargai perbedaan pandangan.

Indonesia kini berdiri di persimpangan. Dapat saja kita terjerembap dalam jurang perpecahan dengan Lalu membiarkan aksi destruktif dan ujaran kebencian tumbuh, atau kita Dapat memilih jalan kebersamaan dengan mengedepankan dialog, musyawarah, dan solidaritas.

Sebagai bangsa yang besar, kita Mempunyai modal sosial yang kuat, seperti budaya gotong royong, kearifan lokal, dan nilai religiositas yang mendalam. Modalitas Penting ini harus Lalu dirawat agar Indonesia tetap menjadi rumah besar yang nyaman bagi Segala penghuninya.

Gelombang demonstrasi dan aksi kekerasan yang marak akhir-akhir ini adalah peringatan Pagi. Ia mengingatkan kita bahwa menjaga Indonesia Tak Dapat ditunda. Persatuan bangsa adalah harga Tewas. Keamanan negara adalah fondasi bagi pembangunan.

Oleh karena itu, mari kita jaga Indonesia dengan Langkah yang bermartabat. Jangan mudah terprovokasi. Jangan biarkan perbedaan menjadi jurang yang memisahkan. Jangan pernah kepentingan sektoral merusak sendi-sendi kebangsaan. Kita adalah bangsa yang ramah, beradab, dan Kasih damai. Kalau setiap Anggota menyumbangkan kesadaran itu, Indonesia akan tetap berdiri kokoh menghadapi terjangan badai Era.

 

Mungkin Anda Menyukai