KARENA potongan lagunya kerap berseliweran di platform media sosial sebagai bunyi latar (backsound) video-video kiriman netizen, saya jadi suka mendengarkan Musik Kita Usahakan Kembali Punya band indie Batas Senja. Senandungnya lembut, cenderung sedih khas ‘Musik senja’, dan liriknya cukup menginspirasi.
Secara keseluruhan, lirik Musik itu menawarkan Daya positif tentang sebuah perjuangan dan penantian. Terdapat semangat, Terdapat kepasrahan, yang intinya mengajak pendengarnya Buat Kagak gampang menyerah, Kagak Segera putus asa ketika apa yang mereka perjuangkan belum menemui hasil.
Tetapi, yang paling membetot perhatian saya ialah potongan lirik di bagian refrein. Terasa Menggemaskan, tapi maknanya dalam. Bahkan dalam perspektif yang agak berbeda, bait potongan itu Dapat menjadi semacam sentilan, sindiran, atau sarkasme, bukan buat mereka yang belum berhasil, melainkan bagi mereka yang suka menunda-nunda pekerjaan.
‘Apabila Kagak hari ini, mungkin minggu depan
Apabila Kagak minggu ini, mungkin bulan depan
Apabila Kagak bulan ini, mungkin tahun depan
Segala Asa kan datang yang kita impikan’
Dalam konteks lain, lirik itu kiranya amat pas Buat menggambarkan perjalanan dua rancangan undang-undang (RUU) yang sudah sangat Lamban diinisiasi, tapi tak kunjung Absah menjadi undang-undang. Dua itu ialah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Perampasan Aset. RUU PPRT diusulkan pertama kali pada 2004, sedangkan RUU Perampasan Aset pada 2008. Kini, usia keduanya sudah dua digit, bahkan UU PPRT sudah lebih dari 20 tahun.
Perjalanan kedua beleid itu, ya, persis chorus Musik Kita Usahakan Kembali tadi. Hari ini gagal dibahas, diagendakan minggu depannya. Minggu depan mentok, dijanjikan bulan depan. Bulan depan tak jadi Kembali, ditarget tahun depannya. Begitu seterusnya Tiba akhirnya belasan, bahkan puluhan, tahun kemudian belum juga kelar.
Setiap periode legislatif dan eksekutif berganti, saban itu pula Asa muncul. Tetapi, hasilnya selalu nihil dengan Jenis-Jenis dalih yang menyertai. Argumen urgensi kenapa negara ini mesti punya UU PPRT dan UU Perampasan Aset kerap tak digubris. Boleh jadi lantaran apa yang menjadi spirit kedua RUU tersebut berlawanan atau setidaknya mengganggu kepentingan elite.
Sementara itu, pada Demi yang sama, banyak RUU yang umurnya baru seumur jagung malah sangat antusias dibahas dan sekelebat kemudian (karena beberapa RUU memang dibahas dengan kecepatan amat tinggi) disahkan. Terdapat pula yang biar pembahasannya Segera tanpa gangguan, DPR membahasnya secara Hening-Hening di hotel mewah. Kalau yang seperti itu, barangkali, aroma keterikatannya dengan kepentingan elite sangat kuat.
Asa baru akan kedua RUU itu sebetulnya kembali muncul. Pada momen peringatan Hari Buruh, 1 Mei Lewat, Presiden Prabowo Subianto di hadapan para buruh melempar janji bahwa RUU PPRT akan disahkan dalam waktu tiga bulan. “Mudah-mudahan Kagak lebih dari tiga bulan RUU ini akan selesai kita bereskan,” ujar Prabowo, ketika itu.
Pada momen yang sama, Prabowo juga menyatakan pemerintah bakal mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset yang Demi ini mandek di DPR. “Dalam rangka pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Nikmat saja, sudah korupsi, enggak mau kembalikan aset,” kata dia.
Buat RUU PPRT, angin segar juga datang dari DPR. Pekan ini Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah kembali mulai menggelar rapat dengar pendapat Biasa (RDPU) dengan sejumlah pihak terkait, seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Tak Hanya itu, Baleg menjamin RUU PPRT bakal selesai dalam waktu empat bulan ke depan.
Sedikit berbeda dengan janji Presiden, sih, tapi Tetap okelah. Yang Krusial, kan, bukan janjinya, melainkan bukti atau realisasinya nanti. Jangan Tiba yang awalnya kita anggap sebagai angin segar, malah Kembali-Kembali Hanya jadi angin surga. Publik sudah tak doyan janji karena mereka sudah berkali-kali ditipu dan tertipu oleh janji.
Buat RUU Perampasan Aset, agak berbeda. Dalam orasinya Demi Hari Buruh, Prabowo juga tak spesifik menyebut tenggat, dia hanya akan menyatakan mendukung dan mendorong pengesahannya yang mandek di DPR. Kendati demikian, Info baiknya, pemerintah telah mengirimkan usul RUU Perampasan Aset masuk Program Legislasi Nasional 2025-2029.
Nah, sayangnya, legislatifnya Bahkan kurang responsif. Dalam satu kesempatan, Ketua DPR Puan Maharani malah mengatakan parlemen Kagak akan terburu-buru membahas RUU Perampasan Aset. DPR akan merampungkan dulu revisi Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sejujurnya, di balik Asa yang tersisa, selalu Terdapat keraguan yang menyempil di antaranya, apakah pemerintah dan DPR betul-betul serius dan menganggap Krusial dua RUU tersebut? Sekarang Dapat jadi kelihatan serius, tapi siapa yang Dapat menjamin minggu depan, bulan depan, bakal tetap sama perlakuannya? Entahlah.
Publik dan terutama para pejuang UU PPRT dan UU Perampasan Aset kiranya perlu mengambil Daya positif (bukan sisi sarkasnya) dari Musik Kita Usahakan Kembali tadi. Semangat menolak menyerah dan pantang berputus asa tampaknya memang harus Maju dipupuk. Apalagi, ‘Rival’ kita bukan Rival mudah, amat kuat, terbukti mereka Bisa meredam pengesahan kedua RUU itu selama bertahun-tahun.
Jadi, sembari tetap menjaga asa, mari kita sing along Musik itu. ‘Apabila Kagak hari ini, mungkin minggu depan’. ‘Apabila Kagak minggu ini, mungkin bulan depan’. ‘Apabila Kagak bulan ini, mungkin tahun depan’.

