Mengurai Gridlock

MENYAKSIKAN partai politik berbondong-bondong mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Biasa sejak awal pekan ini, tersembul optimisme jalan kemajuan bangsa kian dekat. Tetapi, Ketika saya membagikan sikap bungah itu ke beberapa kolega, sebagian besar mereka skeptis. Kegembiraan saya bertepuk sebelah tangan.

Skeptisisme mereka didasari fakta Lagi banyaknya sejumlah paradoks dalam kehidupan politik. Salah satunya peran politisi dan intelektual. Idealnya, politisi dan intelektual itu punya tugas serupa, yakni menjaga kewarasan publik. Kalau kewarasan publik terjaga, kehidupan demokratis, adil, dan maju bukanlah perkara yang sulit Buat digapai.

Tetapi, yang terjadi Malah sebaliknya: politisi kerap bertindak pragmatis sehingga jauh dari Logika waras publik, pun intelektual. Banyak intelektual Malah ‘menyeberang’ jalan menjadi politisi yang tak kalah pragmatis dan jauh dari tugas Krusial merawat kewarasan publik.

Saya menahan diri Buat mendebat postulat itu. Pada titik ini, Krusial Buat ditengok kembali peringatan Krusial ilmuwan sosial Pierre Felix Bourdieu. Filsuf Prancis itu secara lugas menyerukan agar politisi berperilaku bak ilmuwan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah berbasiskan fakta dan bukti. Ini Krusial, tandas Bourdieu, agar kebijakan yang diambil Kagak semata karena pertimbangan politis dan subjektivitas kepentingan yang Bisa membahayakan kehidupan publik.

Cek Artikel:  Harta Berjibun Pejabat Pajak

Intinya, kebijakan publik mesti selaras dengan Logika publik. Bukan sebaliknya, Kagak nyambung dengan Logika, kehendak, serta kebutuhan publik. Jangan Tiba kebijakan yang dihasilkan, misalnya, ke arah selatan padahal publik Mau ke utara. Itu seperti menggaruk kepala Buat gatal di kaki. Sangat Kagak nyambung. Itulah mengapa Tuan Bourdieu menekankan pentingnya politisi ‘bermetamorfosis’ menjadi ilmuwan.

Tetapi, ironisnya Terdapat paradoks dalam kehidupan kekinian. Peraih Nobel bidang ekonomi Joseph Stiglitz menandai kerapnya muncul situasi paradoks bahwa para ilmuwan atau intelektual Malah berperilaku bak politisi. Stiglitz mendasarkan tengaranya itu pada Ketika para ilmuwan dan intelektual itu terlibat dalam proses pembuatan rekomendasi kebijakan. Argumen-argumen mereka lebih didominasi politisasi, alih-alih menyodorkan fakta dan bukti. Tujuannya, demi menyenangkan para politikus yang dilayani.

Ketika politisi Kagak terlalu Mempunyai kedalaman jangkauan terhadap urusan jangka panjang kepentingan publik, sebagian kita Bisa maklum. Para ‘maklumin’ ini umumnya berpendapat wajar politisi berpikir pragmatis karena tujuan meraih kekuasaan terkait erat dengan momentum. Durasi momentum itu amat pendek.

Cek Artikel:  Ontran-Ontran Pesantren

Tetapi, bila pragmatisme dan politisasi itu menjangkiti para intelektual, ini sudah bencana. Bila politisasi telah menjangkiti para Pandai pandai, kedalaman ilmu dan Logika ilmiah tinggal menghitung hari Buat ditanggalkan. Kalau Logika sudah Copot, peta jalan kewarasan kian kabur. Bila peta jalan kabur, kesesatan akan muncul di mana-mana.

Sesat pikir dan sesat jalan kian berkelindan karena kombinasi sikap pragmatisme kaum intelektual dan kemajalan politisi. Politik yang digadang-gadang sebagai jalan mulia meraih kemajuan peradaban Malah malah menyediakan jalan buntu.

Saya teringat kritik cendekiawan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang pernah menyentil bahwa kita Lagi berada di situasi gridlock, saling mengunci. Kita berada di ambang kemacetan Lewat lintas politik. Sebagian besar politisi menjadikan sentra-sentra kuasa ibarat negara dalam negara, yang berkhidmat pada kepentingan partai masing-masing.

Para pemburu kekuasaan berlomba mengundi peruntungan dengan saling curi kesempatan, tak segan menabrak lampu merah dan membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan kepentingan di persimpangan jalan. Para Pandai pandai bersikap amat pragmatis. Maka, situasinya maju kena, mundur kena. Segala pengemudi kendararaan saling mengunci. Seperti itulah gridlock.

Demi mengatasi situasi seperti itu, kata Cak Nur, dibutuhkan kehadiran otoritas yang berdiri tegas, yang dapat mengupayakan jalur putaran atau pengalihan, yang secara perlahan Bisa mengurai kemacetan. Di dalam perilaku berlalu lintas kekuasaan yang saling serobot itu, sangat dituntut kehadiran sumber-sumber otoritas politik, termasuk partai politik beserta infrastrukturnya, yang berani Berbicara ‘Kagak’ Buat apa pun yang merusak kewarasan Logika publik.

Cek Artikel:  Judi itu Racun

Politisi, partai politik, dan para Pandai pandai mestinya siap tempur melawan populisme yang sesat. Kebijakan jangka pendek yang kelihatannya menyenangkan publik, tetapi bakal membunuh publik Buat jangka panjang, misalnya, salah satu kemacetan yang harus diurai dengan keberanian Berbicara Kagak, tadi.

Pekan-pekan ini, yang ditandai dengan dimulainya pendaftaran partai politik ke KPU, akan menjadi pembuktian apakah para penentu kebijakan politik kita sanggup berhijrah dari situasi gridlock menuju jalan terang penuh Logika, atau malah sebaliknya: Lanjut-menerus mempertebal tembok jalan buntu politik. Saya sih milih yes Buat gerakan hijrah menuju perubahan.

Mungkin Anda Menyukai