DEKLARASI Probowo Subianto ketika sudah mengumumkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) sudah pasti menuai pro kontra di masyarakat. Banyak komentar dan pandangan yang bermunculan baik dari sisi positip dan negatif di masyakat.
Fenomena penilaian ini terutama terlihat dari ajang diskusi di berbagai platform media sosial (medsos) baik secara kelompok kecil, dialog, dan maupun secara monolog. Mereka bisa dibilang sebagai anak-anak bangsa yang mempunyai kemampuan memberikan argumentasinya dalam menilai fenomena tersebut.
Pernyataan anak-anak bangsa menjadi sorotan untuk dianalisis bila dilihat dari pandangan para politisi, jurnalis, ilmuwan (akademisi), kaum marjinal, maupun mantan pimpinan pejabat pemerintahan di berbagai kalangan bidang kerja. Bila dilihat dari contoh komentar anak bangsa yang mengkritisi Prabowo dan Gibran punya cara pandang (testimoni) gaya berbeda.
Sebagai contoh Rocky Gerung, akademisi yang lebih kental sebagai pengamat politik, menyebutkan Gibran masih jauh konseptualnya dibandingkan dua cawapres; Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD.
Gibran dinilai nol pengetahuan dibandingkan para bapak bangsa yang punya cara berpikir tajam seperti Muh Natsir, Soekarno, Haji Agus Salim, Sultan Syahrir, atau Muh Hatta ketika hadir di forum internasional. Jadi, seorang capres dan cawapres tidak sekadar memiliki elektabilitas, tapi juga harus punya etikabilitas dan dan intelektualitas.
Terlebih Rocky juga menyatakan bahwa Gibran, Wali Kota Medan Bobby Nasution, dan Ketua Biasa Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangarep datang memimpin dengan cara tidak normal. Jadi perlu evaluasi moral.
Lain lagi menurut mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Menurutnya, capres dan cawapres boleh muda tapi berkapasitas (mumpuni dan kompeten), bukan karena bapaknya atau nama keluarganya.
Bahasa yang cukup pedas meluncur dari politisi senior PDIP Panda Nababan. Menurutnya, kita berpolitik itu perlu dengan budi pekerti dan tata krama. Apakah dengan dalih anak muda lantas kita menghalalkan semua cara, tidak peduli pada partai yang membesarkan dia?
Kemudian mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menuturkan bahwa Gibran belum layak karena tak pernah singgah di legislatif secara nasional (DPR) atau eksekutif (provinsi). Persoalan kenegaraan begitu kompleks karena negara menjadi pertaruhannya, terlebih bila melihat target Indonesia Emas 2045.
Hal yang tak jauh berbeda juga diungkapkan peneliti Made Supriatma dari ISEAS, Yusof Ishak Institute Singapore, menyatakan bahwa konsekuensi dan risikonya bila peran Gibran mengambil kekuasaan dengan umur yang masih muda dan minim pengalaman. Hal itu akan menimbulkan krisis dalam negara ini dan pemain pemain politik besar tentu tidak berdiam diri.
Sementara itu Wakil Ketua Biasa Partai Gelora Fahri Hamzah menilai bahwa Gibran pantas mendampingi Prabowo. Ia menebar dua alasan pembenar, yaitu soal rekonsiliasi (suatu cara/tindakan memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan semula, tujuan untuk penyelesaian perbedaan) dan legacy (warisan) keberlanjutan pemerintahan Presiden Jokowi.
Begitu juga dengan penegasan Ketua Biasa Partai Golkar Airlangga Hartarto bahwa nama Gibran sudah disepakati semua partai pengusung Prabowo di Koalisi Indonesia Maju (KIM). Terlebih ada proses panjang dan tak mendadak. Padahal selama ini diketahui Airlangga diberi amanah Golkar menjadi capres.
Artinya, menurut pengusung Gibran yang bernaung di KIM menilai anak muda tersebut layak menjadi cawapres di kontestasi Pemilu 2024.
Kemasan pesan
Dari fenomena adu pendapat tentang pasangan Prabowo dan Gibran yang diusung sebagai capres dan cawapres, mereka semua punya cara pengungkapan dan gaya berbeda. Secara konsep teoritis cara pandang mereka mengungkapkan pernyataan dalam berkomunikasi diharapkan punya pengaruh pada target audiens target yang menyimak informasi yang diterima.
Menurut Fishben & Ajzen (Perloff, 1993) bahwa pesan akan dapat mempunyai pengaruh yang besar untuk mengubah perilaku khalayak jika dikemas sesuai dengan kepercayaan yang ada pada khalayak (dikutip Antar Venus, hal. 44, 2007).
Demi mengemas pesan yang disaran Fishben dan Ajzen dapat dilakukan dengan cara penyampaian pesan secara rasional, emosional, dan moral, dengan harapan pesan punya pengaruh secara besar.
Menurut Fitri Yanti, imbauan rasional ini didasarkan pada anggapan bahwa manusia pada dasarnya mahluk yang rasional yang baru akan bereaksi kepada imbau rasional. Imbauan emosional adalah imbauan yang mengunakan pernyataan-pernyataan atau bahasa yang menyentuh emosi karena manusia juga sebagai mahluk perasa. (Psikologi Komunikasi, hal. 159, 2021).
Sedangkan pesan dengan daya tarik moral merupakan daya tarik moral di arahkan pada perasaan seseorang tentang apa yang benar dan tepat atau yang baik dan benar (Adnan hal 68, 2009), sehingga sering digunakan untuk mendorong orang mendukung masalah-masalah sosial.
Bila ditelaah dari tiga konsep testimoni yaitu pesan secara rasional, emosional dan rasional ada pada fenomena pernyataan-pernyataan tersebut, komentar yang sifatnya rasional dan dibalut dengan pesan moral ada pada pernyataan Rocky Gerung, Made Supriatma, dan Basuki Tjahaja Purnama.
Mereka mendasarinya dari proses analisa pengetahuan yang dimiliki Prabowo dan Gibran. Gibran dianggap pribadi yang belum matang, baik dari segi pengetahuan dan pengalaman berkompetisi di bidang politik secara nasional dan internasional untuk menjadi seorang calon pemimpin bangsa.
Proses majunya Gibran sebagai cawapres terlihat melalui proses yang dinilai sejumlah kalangan tidak etis, bahkan cenderung menabalkan sokongan politik dinasti.
Di sisi pengamat yang lain seperti Ridwan Kamil, Panda Nababan, dan Ferdinan Hutahaean, terlihat sajian dan paparan komentar memberikan argumentasi pesan yang emosional dan dibalut dengan pesan moral.
Intinya, capres dan cawapres boleh muda tapi bukan karena dipaksakan keluarga atau ada cawe-cawe di internal keluarga tersebut. Gibran dianggap belum matang dalam berpolitik dari segi kapasitas dan kapabilitas yang sifatnya nasional dan internasional. Seorang anak muda itu perlu punya budi pekerti dan tata krama dalam berpolitik.
Sedangkan Fahri Hamzah dalam memberikan komentar tentang pencalonan Gibran, argumentasi yang disodorkan masih terlihat ada solusi yang diberikan, dengan mempertimbangkan konsep faktor kedekatan dan kekerabatan dalam hubungan sosial keluarga.
Sedangkan terkait pernyataan Airlangga Hartanto, dalam memberikan pernyataan tidak berdasar penjelasan dan argumentasi yang jelas. Dengan begitu terkesan penjelasan yang diberikan tidak cukup bukti. Jadi, dapat dikatakan pula komentar Fahri Hamzah dan Airlangga masih terkesan pernyataan emosional dan tidak ada dasar pijakannya.
Menilik sejumlah pesan-pesan tersebut merupakan hal yang wajar. Terlebih suasana kontestasi Pilpres 2024 makin menghangat karena tinggal menghitung bulan menuju 14 Februari 2024.
Berbagai macam argumentasi dari sejumlah pihak tentulah dilakukan dengan kombinasi paparan baik secara rasional, emosional, dan tidak lepas pula dari pesan moral. Sekalian itu menjadi proses pembelajaran bagi banyak pihak bahwa tidak boleh salah dalam memilih pemimpin bangsa.