KATA banyak orang, Megawati Soekarnoputri adalah pejuang demokrasi. Tak sedikit yang bilang, Presiden ke-5 RI itu punya keteguhan luar dalam untuk menjaga konstitusi. Cermatkah?
Bahwa Bu Mega adalah seorang demokrat, pejuang demokrasi, bukanlah klaim asal jadi. Label apik itu disematkan juga bukan oleh orang sembarangan. Terdapat Jusuf Kalla, misalnya. Wapres ke-10 dan ke-12 RI ini menyebut Megawati sebagai pemimpin negara paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Pada pembukaan Habibie Democracy Lembaga di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (15/11/2023), JK berujar, “Ibu Mega sebenarnya di antara semuanya yang paling demokratis.”
Menurut Kalla, pada Pemilu 2004 terdapat momentum bagi Megawati untuk memakai kekuasaan demi memenangi pilpres, mengingat dirinya masih menjabat sebagai presiden. “Tetapi, dia tidak memakai kekuasaan untuk berkuasa sehingga saya dan Pak SBY bisa mengalahkan Bu Mega. Sekiranya pakai kekuasaan, kita pasti kalah.”
Presiden Jokowi tak ketinggalan. Dia juga mengakui Megawati sebagai pejuang demokrasi. Pengakuan itu bahkan diunggah di situs Kementerian Sekretarian Negara RI. “Ya, kan jelas, ya, bahwa Ibu Mega itu kan pejuang demokrasi. Definisinya apa? Yang tidak demokratis, yang mengganggu, pasti beliau lawan.” Begitu dulu Jokowi berucap.
Sama halnya di mancanegara. Tak cuma pemimpin negara, akademisi, universitas, kalangan biasa juga kagum kepada Megawati. Salah satunya Kim Sung-soo, seorang pengusaha di Provinsi Jeju, Korea Selatan.
Bagi Kim Sung-soo, Megawati adalah sosok politikus tangguh dan salah satu pendekar demokrasi. Saking cintanya, Kim Sung-soo membangun kebun raya yang dinamai Megawati Soekarnoputri. Letaknya di resor kesehatan, luasnya 100 ribu m2, dikelilingi hutan cukup lebat.
Itu hanya satu dari sekian banyak penghargaan buat Mega. Lagi ada berderet penghargaan lain. Sedikitnya 10 gelar doktor honoris causa dari universitas dalam dan luar negeri dia dapat. Belum lagi gelar profesor kehormatan. Tak cuma soal demokrasi dan kepemimpinan, Megawati akrab pula dengan penghargaan jenis lain. Mulai dari Korea Selatan hingga Rusia, dari BMKG hingga Paskibraka. Pokoknya komplet.
Saya bukan pengidola Bu Mega, bukan pula pendukung partainya. Tapi, soal demokrasi, saya termasuk yang angkat topi. Lepas dari masih adanya kekurangan di sana-sini, predikat pejuang demokrasi, pendekar demokrasi yang disematkan, kiranya tak terlalu mengada-ada.
Ketika Megawati menolak perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang ramai diwacanakan di ujung pemerintahan Jokowi, dia unjuk bukti sebagai demokrat sejati, penjunjung derajat konstitusi. Kepada Jokowi, Mega sudah memberikan segalanya. Akan tetapi, soal konstitusi, dia tak mau kompromi.
Tatkala Megawati tak memaksakan anaknya, Puan Maharani, sebagai capres, dia memperlihatkan spirit demokrasi. Bolehlah kita mengapresiasi.
Kini, berapa karat kadar demokrasi Megawati kembali diuji. Ujian itu terkait dengan seberapa besar komitmennya dalam menyikapi ancaman demokrasi di Pemilu 2024. Materi soalnya menyangkut hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu.
Sulit disangkal, pemilu kali ini sarat dengan dugaan kecurangan, pelanggaran, ketidaknetralan, yang tak cuma dilakukan para kontestan, tapi juga penyelenggara negara. Tak hanya oleh perangkat desa, tapi juga pemimpin tertinggi negara. Pemilu paling buruk, paling brutal, itulah istilah para pegiat demokrasi.
Ibarat kereta, hak angket yang diwacanakan capres PDIP Ganjar Pranowo, sudah tersedia gerbong yang siap jalan. Partai-partai pengusung Anies Baswedan, yakni NasDem, PKS, dan PKB, mendukung dan sepakat untuk menggulirkan hak penyelidikan itu.
Tetapi, apa gunanya gerbong tersedia, tapi lokomotifnya entah di mana. Lokomotif itu adalah PDIP, partai terbesar di parlemen. Masinisnya adalah Megawati. Di bawah kendalinyalah PDIP akan bergerak ke mana. Mendukung hak angket bisa dan itu yang publik, termasuk saya, harapkan. Menolaknya pun bisa. Namanya juga politik.
Tanpa PDIP, hak angket memang bisa diinisiasi karena syaratnya minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Partai-partai pengusung pasangan Amin sudah siap melakukannya. Tapi apa faedahnya jika kemudian ia tumbang di tengah jalan, tak lolos di paripurna karena tak didukung partai pemilik kursi terbanyak.
Apabila seluruh partai pengusung Ganjar dan Anies bersatu menggulirkan hak angket, kekuatan mereka 314 dari 575 kursi. Jumlah ini mayoritas.
Kesempatan untuk menang teramat besar sebab kubu sebelah, pengusung Prabowo, cuma punya 261 kursi. Tapi ya itu tadi, ujung-ujungnya tergantung Megawati.
Julukan pejuang, pendekar demokrasi itu berat. Tak semua orang layak dan sanggup menyandangnya. Pendekar adalah orang yang punya kekuatan, lalu menggunakannya untuk membela kebenaran, membela yang lemah dan tertindas. Pendekar demokrasi berarti pembela demokrasi, penentang para perusak demokrasi.
Di pemilu kali ini, demokrasi katanya sedang ditindas habis-habisan. Sebagai pejuang, sebagai pendekar demokrasi, Megawati semestinya segera turun tangan, menunjukkan ketegasannya kepada rakyat. Jangan biarkan hak angket bak kereta mangkrak di stasiun pemberangkatan. Jangan biarkan penumpang terlalu lama menunggu.
Gak asyik, ah, kader PDIP terbaik yang memulai, masak ketua umumnya yang mengakhiri. Gak seru, ah, kalau pejuang demokrasi kelihatan gamang melihat demokrasi diantarkan ke peti mati. Bu Mega, tunggu apa lagi?