Menguji Konsistensi Pernyataan Jokowi

DIA yang melempar api, dia pula yang mencoba tampil bak pahlawan untuk memadamkannya. Begitulah kiranya kita menilai pernyataan Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada Rabu (7/2) lalu. 

Jokowi mewanti-wanti agar seluruh jajaran aparatur sipil negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) bersikap netral dalam Pemilu 2024. Di saat bersamaan, Jokowi juga menegaskan tidak akan berkampanye kendati, menurut dia, aturan membolehkannya.

Sayangnya, publik tidak melihat keseriusan dari pernyataan itu. Api yang telah ia ciptakan tidak semudah itu pula dipadamkan. Jokowi terkesan hanya ingin meredakan kemarahan publik yang belakangan tensinya kian meninggi. Terlebih dengan terus bergeraknya kalangan akademisi yang semakin masif mengekspresikan kegeraman menyaksikan perilaku penguasa yang seenaknya menekuk-nekuk demokrasi.

Cek Artikel:  Teror Pemilu Cukup Sudah

Dikatakan tidak serius karena apa yang diucapkan dan praktiknya bertolak belakang. Jokowi bilang tidak akan berkampanye, padahal selama ini, melalui berbagai program pemberian bantuan dan kunjungan kerja ke daerah-daerah, sesungguhnya dia telah berkampanye secara terselubung demi kepentingan kandidat tertentu. 

Apalah arti janji untuk tidak akan melakukan kampanye yang dilontarkan hanya empat hari menjelang berakhirnya masa kampanye dan seminggu sebelum hari pemungutan suara? Padahal, sebelum-sebelumnya Presiden dengan entengnya menggunakan fasilitas negara untuk mengerek elektoral kandidat tertentu, meskipun dilakukan secara diam-diam. Orang menyebutnya lips service.

Jokowi juga mengingatkan agar ASN, aparat kepolisian, dan TNI untuk netral. Padahal, publik secara terang-benderang bisa melihat dari banyak kasus yang terjadi sepanjang masa kampanye pemilu ini, betapa Presiden seolah membiarkan aparat-aparat di bawahnya, termasuk para pembantunya di kabinet, berbicara dan berlaku tidak netral. 

Cek Artikel:  Harta, Takhta, Pilkada

Begitu nyata pembiaran itu, sampai-sampai muncul dugaan jangan-jangan justru pihak istanalah yang sejatinya aktif memobilisasi keberpihakan aparatur terhadap pasangan calon presiden-calon wakil presiden tertentu. Sebuah dugaan yang rasanya tidak berlebihan jika melihat rekam peristiwa lima bulan terakhir sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang memuluskan jalan bagi anak Jokowi menjadi cawapres. 

Belakangan, ketidaknetralan aparat kian kentara setelah muncul tindakan intervensi dan intimidasi terhadap sivitas akademika kampus agar menyuarakan hal-hal baik tentang Presiden Jokowi. Intervensi yang diterima sejumlah kampus di Jawa Tengah itu dilakukan setelah banyak guru besar menyatakan sikap kritis terhadap pemerintah.

Hal-hal itulah yang, terus terang, membuat kita agak sulit memercayai pernyataan, imbauan, atau instruksi Jokowi soal netralitas aparatur negara. Publik meragukan konsistensi pernyataan itu karena selama ini yang dipertontonkan oleh penguasa justru inkonsistensi yang terus-menerus. 

Cek Artikel:  Taati Regulasi demi Jaga Demokrasi

Kagak ada jalan lain, seperti yang juga diserukan para tokoh bangsa dan guru besar, Presiden Jokowi harus segera kembali ke koridor demokrasi yang semestinya. Presiden harus berdiri di atas semua golongan dan semua kontestan pemilu. Ucapan dan tindakan harus sejalan. Apabila itu bisa dilakukan, mungkin publik akan mulai bisa percaya bahwa apa yang diucapkannya tak sekadar omong doang. 

Mungkin Anda Menyukai