Menguji Kenegarawanan Hakim MK

Menguji Kenegarawanan Hakim MK
Agus Wahid.(Dokpri)

SUDAH dibuka selebar-lebarnya. Wis ceto welo-welo. Itulah persidangan sengketa pemilihan presiden (pilpres) 2024 di tengah Mahkamah Konstitusi (MK). Para hakimnya bisa melihat persoalannya dengan jernih. Tentu, dapat menilainya dengan jernih pula. Lewat, apakah hakim MK akan menerima gugatan paslon 01 dan 03, atau sebaliknya? Sebuah pertanyaan yang akan dijawab dengan bagaimana kualitas kenegarawanan para hakim MK saat ini. Sesuai karakter penegak keadilan ideal yang didambakan, atau justru mau berkompromi dengan kepentingan rezim?

Tuntutan kualitas kenegarawanan itu tidak hanya bicara kepentingan para pihak yang ikut kontestasi pilpres, tetapi terkait dampaknya yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara. Apakah akan menjadi negara yang dimokratis, atau justru diktatoristik-tiranistik dan otorianistik yang semakin menggila? 

Kalau menguak kembali perjalanan sidang pembuktian persoalan yang didalilkan para pemohon, kita saksikan MK sesungguhnya sudah dapat melihat aroma kuat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sang rezim demi memenangkan paslon 02. 

Baca juga : TKN Bakal Kawal Aksi Damai Pendukung Prabowo-Gibran di MK

Tindakan penyalahgunaan kekuasaan itu mengakibatkan terjadi zigzag politik yang melampaui batas. Di antaranya politisasi bansos secara tidak wajar dengan menggunakan keuangan negara, melanggar UU. Terbagikan bukan untuk seluruh pihak sebagai penerima bansos sesuai haknya, tetapi semata-mata untuk kepentingan paslon 02.

Penyalahgunaan keuangan negara sudah terlihat jelas saat persidangan di MK, meski Menteri Keuangan menyatakan ada dana operasional presiden sebesar Rp148 miliar per bulan (atau per tahun). Alibi yang dibangun Menkeu gagal mengelabuhi para hakim MK, karena memang tidak match datanya antara total dana operasional itu versus total dana bansos yang digelontorkan. Semakin gagal lagi, ketika dikaitkan dengan proporsi bansos yang–sejak 2022–tidak lagi disalurkan dalam bentuk barang, tetapi dana bansos ditransfer langsung ke para penerima yang telah terdata sebelumnya, bukan penerima yang tiba-tiba menghampiri halaman Istana. 

Cek Artikel:  Corak Kelam Pendidikan Indonesia

Para hakim MK juga menyaksikan kesengajaan penyelenggara negara dalam membangun sistem pemungutan suara, sekaligus penghitungannya yang tergelembungkan secara sengaja. Alibi yang dibangun KPU di hadapan majelis MK gagal total. Juga gagal meyakinkan para hakim atas persoalan prosedur penerimaan paslon 02 yang menyertakan Gibran sebagai calon wakil presiden. 

Baca juga : Ramai Ajukan Amicus Curiae, bakal Jadi Pertimbangan Putusan MK

Dan terakhir, hakim MK pun akhirnya melihat mobilisasi massa (para kepala desa dan seluruh pejabat pelaksana tugas di tingkat gubernur dan bupati/wali kota). Di bawah cengkeraman penguasa dan disertai intimidasi atau ancaman aparat negara (kepolisian bahkan TNI, meski beda caranya), tak ada daya lain kecuali harus menjalankan perintah: memenangkan paslon 02. Dan perintah ini akhirnya sampai ke warga masyarakat pemilih.

Mendasarkan bukti-bukti yang terkuak di persidangan itu, sudah seharusnya seluruh hakim MK mengabulkan permohonan penggugat, dari kuasa hukum 01 dan atau 03. Apakah, para hakim MK akan menjalankan amanat hukum dan konstitusi itu? Rupanya tidak seluruh hakim MK committed dengan amanah UU dan konstitusi. Di antara mereka berkhianat. Enggak hanya terhadap wewenangnya selaku hakim MK, tapi seluruh elemen bangsa pencari keadilan dan kebenaran pun terkhianati. Sinyal ini sudah terbaca, setidaknya dapat dilihat pada sikap Arsul Sani dan Guntur Hamzah. 

Perlu kita catat, kedua hakim MK tersebut sudah benar-benar hilang akal sehat dan nurani dalam memahami persoalan faktual pilpres itu. Yang perlu kita garis bawahi, bukan sekadar problem kenegarawanannya, tapi terdapat implikasi destruktif bagi kepentingan bangsa dan negara ini ke depan. Karena itu, kedua hakim MK tersebut harus bertanggung jawab atas panorama destruksi nasional yang bakal terjadi. Bukan hanya bertanggung jawab secara moral. Tapi harus siap menghadapi kemungkinan pahit atas reaksi ketidakterimaan anak bangsa yang teracak-acak nasibnya, akibat ulah sang hakim MK yang ‘mbelelo’ itu.

Cek Artikel:  Serangan Siber makin Mencemaskan

Baca juga : Ganjar Pranowo Niscayakan akan Hadir di Putusan Sidang PHPU, Pekan Depan

Kini, setidaknya terdapat lima atau enam hakim MK yang dinanti jiwa patriotisme dan kenegarawanannya. Ketua hakim MK (Suhartoyo), Saldi Isra, dan Arif Hidayat, dan semoga Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki) lebih terpanggil nuraninya: mengedepankan bandul keadilan dan kebenaran dalam memutus sidang sengketa Pilpres 2024. Kalau di antara kelima itu berkhianat, pupuslah harapan untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi. Dan pupus pula keinginan mengembalikan marwah MK. Persoalan seriusnya, nasib bangsa akan jauh lebih tertekan. 

Dari sisi politik, hak-hak individu akan dibungkam, bahkan dikriminalisasi tanpa proses hukum. Hak-hak ekonominya juga akan dicekik dengan cara menghadirkan harga barang selangit. Monopoli meraja-lela. Akibatnya, konsumen dipaksa harus mengkonsumsi barang, terutama pangan, dengan harga tak wajar. Sektor produksi pangan pun akan diperhadapkan mafia pupuk yang makin menggila demi memperlancar importasi komoditas pangan, yang akhirnya kepentingan petani terkebiri. Dapat bertanam, tapi hasilnya tak bisa menggapai nilai lebih dari aktivitas pertaniannya. Birui tukar petani semakin drop.

Dan the last but not least, nasib bangsa ini tinggal menunggu waktu kapan statusnya berubah menjadi bangsa budak permanen. Karena, negeri ini sudah tercaplok oleh kekuatan asing (aseng). Topografi politik ini sudah menggambarkan musnahnya jatidiri kita sebagai anak bangsa Indonesia merdeka dan berdaulat.

Baca juga : KPU Tentu Putusan MK akan Merujuk UU Pemilu

Serentetan dampak destruktif itu haruslah menjadi renungan mendalam bagi para hakim MK saat ini. Semoga, Asrul Sani Cs akan berubah sikap dan pandangannya kembali ke jalan yang benar. Agar, putusan MK benar-benar sejalan dengan misi besar penyelamatan bangsa dan negeri ini. Sekali lagi, diperlukan sikap patriotis sejati. Jiwa kenegarawanannya akan melahirkan keberanian saat menghadapi tekanan fisik apalagi psikis. Juga, tak goyah menghadapi rayuan jutaan dolar yang menghampirinya.

Cek Artikel:  Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik

Perlu kita garis-bawahi, jika hakim-hakim MK itu tetap mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, mereka sejatinya pahlawan atau pendekar keadilan dan kebenaran. Rasa hormat layak kita sematkan kepada para pahlawan keadilan ini. Dan, janganlah keliru, Insya Allah, Yang Maha Adil itu akan menilai hormat atas kepahlawanannya di bidang hukum. 

Di saat-saat yang super genting ini, para pencari keadilan kini hanya bisa berdoa. “Yaa muqallibal quluub (wahai dzat yang membolak-balikkan hati). Kepada-Mu kami memohon pertolongan. Agar para hakim MK menjalankan amanahnya sesuai konstitusi dan amanat UU. Enggak berkhianat. Demi kemaslahatan dan keselamatan anak bangsa dan negeri ini. Kalau Kau tak menghendaki harapan kami, kami tak tahu skenario apa yang sedang Engkau persiapkan. Kupasrahkan kepada-Mu. Kami yakin, Engkau sebaik-baik pembuat skenario.”

Sekali lagi, sebagai hamba yang dlaif, kami hanya berikhtiar semaksimal mungkin. Maka, yaa Allah, Maha Pemilik jiwa manusia dan seluruh makhluknya. Lindungi kami semua yang sedang berikhtiar untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang engkau perintahkan. Hindarkan para mujahidin dan mujahidat dari perlakukan biadab aparat dan penguasa. 

Berilah kami kekuatan mental seperti umat Nabi Daud saat menghadapi Raja Jalut. Berilah cahaya spiritual seperti para sahabat Nabi Muhammad saat menghadapi kaum kafirun saat di medan perang. Kirimkah jutaan malaikat-Mu sebagai tentara khusus-Mu, yang terlihat dalam wujud manusia, atau yang tidak terlihat. Agar, mereka lumpuhkan kekuatan jahat yang siap mengejar kami. 

Yaa muqallibal quluub, lembutkan hati barisan pertahanan dan keamanan itu. Agar muncul rasa kasih sayang sesama anak bangsa dan menghentikan jiwa sarangnya. Semoga, mereka tersadar bahwa dirinya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan alat penguasa. Kami berunjuk rasa secara heroik hanya untuk menuntut keadilan sejati. Demi keselamatan bangsa dan negeri ini, bukan lainnya. 

Mungkin Anda Menyukai