Mengoreksi dan Melanjutkan Seleksi CPNS 2018

Mengoreksi dan Melanjutkan Seleksi CPNS 2018
()

AKHIRNYA pemerintah terpaksa melakukan perubahan kebijakan tentang seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018, sebagai akibat dari rendahnya tingkat kelulusan pada tahapan seleksi kompetensi dasar (SKD). Berdasarkan data sementara, yang lulus passing grade (PG) atau ambang batas kelulusan masih jauh di bawah target. Bahkan, jauh di beberapa daerah yang lulus ada yang hanya dalam hitungan jari.

Kebijakan semula yang dijadikan acuan untuk SKD ialah PG total 298 dengan standar minimal dari tiga sub-komponen, masing-masing 75 untuk TWK (tes wawasan kebangsaan), 80 tes intelegensi umum (TIU), dan 143 karakteristik kepribadian (TKP). Dianggap tak memenuhi syarat jika nilai salah satu sub-komponen itu tak terpenuhi meskipun capaian nilai kumulatif jauh melampaui PG minimal.

Selain itu, diberlakukan juga kebijakan afirmatif bagi kelompok-kelompok tertentu, yakni pemilik nilai kelulusan cumlaude (hanya disyaratkan capai 80 untuk TIU), kaum disabilitas, putra-putri Papua, warga diaspora, dan tenaga honorer K-2.

Pertanyaannya, mengapa tingkat kelulusan PG SKD tahun ini demikian rendah, padahal standar yang sama juga diberlakukan pada seleksi CPNS 2017? Jawaban atas pertanyaan ini haruslah ditemukan dengan melakukan evaluasi secara mendasar nan komprehensif. Demi sementara, jawaban spekulatifnya setidaknya ada tiga faktor atau kemungkinan yang saling terkait.

Kemungkinan pertama, tingkat kesulitan soal-soal yang dimunculkan. Pihak panselnas (panitia seleksi nasional) CPNS mengakui hal ini, memang fakta objektifnya sangat nyata, yakni kendati standar PG kelulusan sama dengan 2017, tetapi soal-soalnya lebih sulit di 2018 ini.

Tim penyusun soal-soal SKD yang dikoordinasikan oleh Kemendikbud dengan melibatkan para dosen yang tergabung dalam konsorsium 18 perguruan tinggi (PT) tampaknya disengaja meningkatkan gradasi kerumitan soal-soal ujian itu. Dengan harapan untuk memperoleh figur-figur calon pelayan publik yang berkualitas di tengah pencari kerja yang membanjir.

Tetapi, agaknya idealisasi itu jauh dari realitas. Bahkan, boleh dikatakan sebagai impian di siang bolong pihak tim penyusun, atau hanya berdasarkan imajinasi sepihak. Barangkali bangga jika soal-soal yang dimunculkan bersifat ‘mengecoh’ peserta sehingga berakibat tidak tahu atau salah menjawabnya -suatu bentuk arogansi akademisi yang berwatak pembunuh alias killer. Setidaknya, para pembuat soal itu menunujukkan karakter sebagai tim yang jauh dari watak bijak, dengan menerapkan standar ‘satu ukuran untuk semua’ atau one size fits for all.

Cek Artikel:  Memahami Perlinsos, Bansos, dan Jamsos

Kemungkinan kedua ialah menunjukkan kualitas luaran pendidikan kita yang rendah dan atau tidak merata. Menurut informasi, gradasi kerumitan/kesulitan soal-soal SKD yang tertinggi ialah untuk peserta kementerian/Lembaga (K/L) di Jakarta (tersulit). Berturut-turut dengan kategori lebih mudah ialah wilayah barat (Sumatra dan Jawa), tengah (Kalimantan, Sulawesi, Bali dan NTB), dan bagian timur Indonesia (Papua, Maluku, NTT).

Fakta sementara menunjukkan, jumlah kelulusan PG SKD lebih tinggi bagi peserta di K/L. Sementara itu, di daerah-daerah mengalami nasib yang sangat memprihatinkan dengan fakta tingkat kelulusan yang sangat rendah. Data ini bisa diartikan bahwa mutu lulusan pendidikan di Jakarta atau umumnya di pulau Jawa lebih baik ketimbang di luar Jawa, dan potret terburuknya ada di wilayah timur Indonesia.

Kemungkinan faktor ketiga, ialah terkait dengan teknis penyelenggaraan SKD dengan penggunaan IT dengan persiapan yang boleh dikatakan tergesa-gesa. Tender/lelang pengadaan barang dan jasa dilakukan secara cepat, yakni 18-23 Oktober 2018, dengan pemenang PT Sucofindo (BUMN).

Proses dan hasil lelang ini sempat dipersoalkan oleh salah satu peserta lelang (PT Think Media Indonesia) yang pada saat diumumkan tercatat (urutan pertama) dengan harga penawaran hampir Rp100 miliar lebih rendah. Tetapi, berita ‘keberatan peserta lelang’ itu kemudian tenggelam begitu saja, terlebih bersamaan dengan berita tragedi jatuhnya pesawat Lion di daerah Karawang (Jawa Barat).

Maka tidak mengherankan jika penyelenggaraan seleksi SKD pun dilakukan secara tergesa-gesa dan juga molor. Bahkan, ada kementerian yang selenggarakan jadwal tidak manusiawi (jadwal tes mulai pukul 16.00 sampai pukul 04.00 WIB -kemudian hanya berlangsung sampai pukul 23.00 WIB setelah diprotes Ombudsman RI). Terdapat juga sebagian laptop yang disediakan tak bisa digunakan (kasus Maluku Utara) sehingga banyak peserta yang tak ujian sesuai jadwal. Terdapat peristiwa gangguan internet saat pengerjaan soal-soal, dan juga gangguan cuaca/hujan di lokasi tempat ujian (kasus di Sumatra Selatan), dan lain sebagainya. Seluruh faktor teknis itu tentu saja berpengaruh pada konsentrasi peserta seleksi CPNS.

Demi memastikan mana yang menjadi faktor dominan di antara tiga kemungkinan penyebab rendahnya jumlah kelulusan itu tentu saja harus dilakukan evaluasi khusus. Hal ini sudah dibahas di dalam dua kali rapat panselnas, tetapi belum tuntas. Tetapi, intinya, kita harusnya malu dengan rendahnya kelulusan SKD peserta seleksi CPNS. Karena pada dasarnya hal itu menunjukkan kegagalan pemerintah atau secara lebih khusus penyelenggara seleksi dalam menentukan standar kelulusan.

Cek Artikel:  Mudik dengan Kondusif, Nyaman, dan Betul Waktu

Pertanyaannya, mengapa harus fokus dan mempersulit kelulusan di tahapan SKD? Bukankah setelah SKD masih ada tahapan SKB (seleksi komptensi bidang) dengan skor nilai yang justru lebih tinggi (60%) ketimbang SKD yang hanya 40%? Sehingga seberapa pun standar yang digunakan untuk SKD masih harus terseleksi melalui SKB.

Kendati begitu, kita juga harus mengapresiasi kebijakan pemerintah yang menggunakan sistem CAT (computer assisted test) dalam menyeleksi atau menghadirkan calon aparat pelayan publik yang berkualitas.

Sistem CAT pada dasarnya menghindari subjektivitas pejabat dari pihak penyelenggara pelayanan publik (instansi pengguna). Sebelumnya harus diakui sarat dengan nepotisme, klientelisme politik, dan juga transaksional, sehingga sejak awal sudah menyingkirkan generasi muda cerdas-potensial. Inilah kritikan serius dalam rekrutmen pelayan publik di masa lalu, yang mulai dilakukan perbaikan sejak keluarnya UU No 5/2014, berikut PP No 11/2017, yang operasional diatur dalam Permen PAN dan RB.

Proses seleksi CPNS seperti itu pada dasarnya sejalan dengan upaya menciptakan tipe ideal birokrasi seperti yang dikonsepsikan oleh sosiolog terkemuka Max Weber. Menurutnya, birokrasi yang profesional nan sehat dimulai dengan proses rekrutmen, penempatan dan promosi berdasarkan kapasitas personal (personal merit). Termasuk di dalamnya keahlian teknis.

Dalam konteks ini, maka tahapan SKB seharusnya diposisikan sebagai tahapan kunci (key stage) untuk diperolehnya figur-figur yang memiliki fondasi keahlian sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Karena kompetensi dasar masih sangat bersifat umum, sedangkan formasi yang dibutuhkan lebih bersifat khusus.

Kita bisa bayangkan, misalnya, seseorang calon guru bahasa Inggris yang sudah lulus SKD, tetapi ternyata standar dasar kemampuan bahasa Inggrisnya belum cukup. Oleh karena itu, tahapan SKB nanti semestinya dikawal dengan sangat ketat. Tak boleh lagi diberikan kewenangan pada para pejabat dari instansi pengusul formasi yang menentukan seperti halnya terjadi sebelumnya, termasuk 2017 dan 2014.

Singkatnya, Panselnas CPNS harus melakukan pengawasalan ekstra ketat tahapan SKB termasuk dengan memastikan soal-soal tes. Perlakuan dalam SKB harus dijamin transparan dan terukur seperti pada metode yang diterapkan dalam SKD. Itu juga sebabnya semua pihak seharusnya tidak perlu lebih jauh mempersoalkan rendahnya kelulusan SKD yang kemudian Men-PAN RB menerbitkan kebijakan atau diskresi baru untuk bisa lanjutnya tahapan SKB dengan peserta yang sesuai dengan kebutuhan formasi.

Cek Artikel:  Babak Kedua Kabinet Kerja

Persoalannya kemudian, kendati sudah terekrut tenaga-tenaga pelayan publik melalui seleksi yang ketat, bukan berarti sudah jaminan mereka berkembang dalam karier sebagaimana diharapkan. Anders Sundell dalam artikelnya berjudul What is the Best Way to Recruit Public Servants (2012) antara lain membandingkan dua negara (New Zealand dan Nikaragua), yang sama-sama menggunakan sistem ujian seragam dan terpusat seperti dilakukan di Indonesia sekarang ini dalam merekrut calon pelayan publik.

Tetapi, dalam praktiknya, setelah menjalani kerja di birokrasi ternyata memiliki nasib yang berbeda. Di Nikaragua, tidak berkembang secara baik karena ternyata perlakuan karier mereka masih banyak dipengaruhi patronasi dan klien politik (klientelisme). Sementara itu, di New Zealand, karier para pelayan publik benar-benar berkembang dengan merit system.

Kita berharap, Indonesia ke depan akan memperlakukan para pelayan publik melalui birokrasi yang benar-benar menghargai prestasi kerja seperti yang terjadi di New Zealand itu, tidak sebaliknya akan terus seperti sekarang. Ini artinya, perubahan paradigma manajemen aparat sipil negara (ASN) yang sudah diletakkan dasarnya dalam UU No 5/2004, harus diberangi dengan perubahan sistem dan kultur politik nasional kita, yang kalau jujur diakui sebagian masih menjadikan aparat biokrasi sebagai instrumen kepentingan politik, atau ASN yang lebih berorientasi pada pelayanan terhadap dan atau untuk kepuasan atasan. Bukan untuk secara profesional mengabdi atau memberikan pada masyarakat.

Tradisi ‘ASN harus patuh pada atasan yang notabene pejabat politik’, diakui atau tidak, masih terus menjadi praktik hingga saat ini. Apalagi dalam menghadapi perhelatan politik.

Maka, lagi-lagi, jika tidak ada keinginan politik untuk melakukan gerakan pemurnian birokrasi ke arah profesionalisme birokrasi melalui merit system yang sesungguhnya, siapa pun atau sebrilian apa pun aparat pelayan publik yang direkrut, niscaya akan mengalami kerusakan moral. Sejalan, dengan tetap rusaknya moral politisi pejabat akibat abai pada nilai-nilai profesionalisme birokrasi, atau hanya berorientasi pada kepentingan politik temporer.

Mungkin Anda Menyukai