Mengkritisi Instrumen Pajak Karbon sebagai Pengendali Polutan Udara

Mengkritisi Instrumen Pajak Karbon sebagai Pengendali Polutan Udara
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PADA acara Adu Gagasan yang mempertemukan tiga bakal calon presiden di Universitas Gadjah Mada, beberapa waktu Lampau, seorang komika dengan cerdas menyebutkan sumber polutan udara Area Jabodetabek, yakni pembangkit listrik tenaga uap dan industri.

Komika tersebut menyebutkan peran angin yang Bisa memperbaiki kualitas udara dengan menghalau sebaran polutan pada Area tersebut (menit 4:45 hingga menit 5:40 https://www.youtube.com/watch?v=HD0Ss_tUqo4&t=778s). Dengan ungkapannya yang jenaka, sang komika Membangun ilustrasi tentang analogi kehadiran polusi atau anomali yang mengganggu suasana rapat. Ilustrasi itu mempertanyakan ide solusi polusi udara yang dikemukakan suatu kementerian, yakni anjuran Buat beralih ke mobil listrik.

Sebagai catatan, selain kendaraan listrik, Terdapat Berbagai Ragam konsep instrumen finansial Buat penanganan polutan udara dalam bentuk mitigasi sumber polutan, antara lain carbon cap-and-trade dan carbon-tax (pajak karbon) [C Frank (2014) https://www.brookings.edu/articles/pricing-carbon-a-carbon-tax-or-cap-and-trade)].

 

Pajak karbon vs elektabilitas bacapres

‘Manakah di antara kedua topik di atas yang lebih unggul sebagai trending tropic pencarian Informasi di Indonesia Begitu ini?’ Jawabannya dapat dilihat pada Google yang diakses pada Minggu (24/9) pukul 20.28 Wita. Pada kurun waktu 24 Agustus-20 September 2023, jumlah rata-rata pencarian Informasi per hari tentang Informasi ‘pajak karbon’ mengungguli Informasi ‘elektabilitas capres’.

Pada kurun waktu sebulan ini, Terdapat sembilan pencarian Informasi tentang pajak karbon Kalau dibandingkan dengan pencarian tentang ‘elektabilitas calon presiden’ (trends.google.com/trends/explore?date=today%201-m&geo=ID&gprop=news&q=pajak%20karbon,elektabilitas%20calon%20presiden&hl=en-US).

Data Google trend di atas menunjukkan Rupanya masyarakat pun sangat antusias Ingin mengetahui pembahasan yang lebih rinci dan implikasi serius aturan tentang pajak karbon, yang termuat di UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Selain itu, masyarakat mungkin telah mengetahui bahwa hingga Begitu ini, aturan Buat mengoptimalkan (saya lebih cenderung menggunakan istilah ‘menambah’) pendapatan negara berdasarkan UU tersebut Lagi ditunda pemberlakuannya (www.liputan6.com/bisnis/read/5311670/bocoran-terbaru-penerapan-pajak-karbon-di-indonesia).

Tetapi, Kalau aturan itu kelak akhirnya diberlakukan, subjek pajak (konsumer terkait dengan karbon, Pasal 13 ayat 5 UU tersebut di atas) akan membayar tarif terendah pasar karbon sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (Pasal 13 ayat 19 UU No 7 Tahun 2021). Kita tak mengetahui bagaimana pembuat UU tersebut menetapkan besaran harga rupiah pajak karbon tersebut.

Siapakah subjek pajak yang dimaksud pada Pasal 13 ayat 5 UU No 7 Tahun 2021 itu? Subjek pajak yang dimaksud ialah ‘…orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon’. Sejumlah aktivitas yang menghasilkan emisi karbon, misalnya, berkendaraan menggunakan bahan bakar fosil atau kegiatan industri yang mengolah produknya menggunakan bahan bakar fosil atau mengeluarkan emisi pabrik berbentuk karbon dioksida.

 

Besaran pajak karbon 

Sebagai bahan Komparasi mari kita Menyaksikan besar pajak karbon Singapura. Pajak karbon negeri jiran Buat Begitu ini ialah S$5 per ton karbon dioksida ekuivalen [setara Rp55,563 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (www.globalcompliancenews.com/2023/03/28/https-insightplus-bakermckenzie-com-bm-energy-mining-infrastructure_1-singapore-carbon-pricing-amendment-act-2022-comes-into-force-on-7-march-2023_03242023)]. Besaran pajak karbon di Singapura itu tak berhenti Tamat di situ.

Cek Artikel:  Menahan Laju Kemunduran Demokrasi

Pada tahun-tahun mendatang, Singapura secara progresif akan Memajukan pajak karbon itu menjadi S$25 pada 2024 atau 2025, dan menjadi S$45 pada 2026 dan setelahnya. Pajak karbon di Singapura Begitu ini Rp55,563 per kilogram karbon dioksida ekuivalen tersebut, nominalnya lebih tinggi (Dekat 2 kali lipat) Kalau dibandingkan dengan pajak karbon di Indonesia menurut UU No 7 Tahun 2021.

Tetapi, kita jangan melupakan fakta bahwa pendapatan per kapita Singapura (Rp935,37 juta) jauh lebih tinggi (Dekat 16 kali lipat) dari pendapatan per kapita Indonesia sebesar Rp59,29 juta (www.Liputanindo.id/wiken/read/2022/02/12/200000981/daftar-negara-terkaya-di-asia-tenggara-berdasarkan-pendapatan-per-kapita).

Kalau kita merujuk pada Unsur pendapatan sebagai basis perhitungan, pajak karbon di Indonesia itu mestinya hanya Rp55,563/16 atau Rp0,93, bukan Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen seperti tertera pada UU No 7 Tahun 2021. Bahkan, pajak itu Dapat dinihilkan sama sekali Kalau pajak karbon itu tak berbasis dukungan argumentasi ilmiah berbasis data observasi, yang menunjukkan Terdapat kaitan antara emisi karbon dan dampaknya pada lingkungan kita di Indonesia.

 

Potensi pendapatan negara 

Buat menentukan pendapatan negara dari pajak karbon itu, kita terlebih dahulu menghitung karbon dioksida ekuivalen itu sebagai dasar penetapan pajak karbon. Sebuah situs daring Punya Environmental Protection Agency (EPA) USA sudah menyediakan kalkulator konversi terkait (www.epa.gov/energy/greenhouse-gas-equivalencies-calculator).

Kita mengambil Misalnya Langkah menghitung jumlah karbon ekuivalen dari penggunaan listrik dan pajak karbonnya. Andaikan Terdapat sebuah rumah yang menggunakan Kekuatan listrik 5.000 kilowatt-jam dalam setahunnya, dengan menggunakan kalkulator EPA, Kekuatan listrik sebesar ini setara 2.200 kg CO2 ekuivalen. Kalau aturan pada UU No 7 Tahun 2021 terkait dengan pajak karbon sebesar Rp33 diterapkan, rumah itu akan membayar pajak sebesar Rp30 x 2.200 = Rp66.000 per tahun.

Pajak itu tampak kecil Buat sebuah rumah tangga. Tetapi, mari kita Guna data konsumsi listrik rumah tangga secara nasional dari publikasi Kementerian ESDM 2022 berjudul Handbook Energy & Economic Statistics of Indonesia pada www.esdm.go.id/assets/media/content/content-handbook-of-energy-and-economic-statistics-of-indonesia-2022.pdf. Tabel Perkiraan pada subbab 5.2.1 yang tertera pada hlm 46 publikasi tersebut menunjukkan bahwa pada 2022, konsumsi Kekuatan listrik sektor rumah tangga sebesar 116.403 gigawatt-jam, atau 116.403 juta kilowatt-jam.

Jumlah Kekuatan listrik itu setara dengan 50,4 giga-kg CO2 ekuivalen. Dengan nilai pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen, Kekuatan listrik yang dikonsumsi rumah tangga tersebut akan mendatangkan pemasukan negara sebesar Rp1,512 triliun. Perlu Buat dicatat bahwa potensi pendapatan sebesar itu baru berasal dari salah satu sektor saja dari sejumlah sektor yang terdapat pada publikasi Kementerian ESDM tersebut.

Lantas, dari mana asal muasal kebijakan pajak karbon itu? Rupanya itu didasarkan pada publikasi dua artikel ilmiah yang memodelkan fenomena pemanasan Mendunia alias perubahan iklim seperti disajikan berikut ini.

 

Penyebab perubahan iklim Mendunia

Pada awal milenium ini Terdapat dua kajian Krusial yang Ingin menjawab Unsur apa yang menjadi penyebab pemanasan Mendunia alias perubahan iklim dan apa implikasinya. Artikel permodelan dari Meehl dkk 2004 berjudul Combinations of Natural and Anthropogenic Forcings in Twentieth-Century Climate pada Journal of Climate Vol 17 No 19 hlm 3721-3727 menunjukkan pemanasan Mendunia bukan peristiwa alami (natural), melainkansesuatu yang disebabkan Unsur Insan via emisi karbonnya.

Cek Artikel:  Merawat Pendidikan Menjaga Bangsa

Kemudian, dengan memasukkan sejumlah skenario emisi karbon ke permodelannya, dibuatlah proyeksi masa depan Akibat Dampak akumulasi karbon dioksida di atmosfer berupa kenaikan suhu muka bumi dan naiknya muka laut Mendunia. Hasil proyeksi itu dimuat dalam publikasi Meehl dkk pada 2005 berjudul How Much More Mendunia Warming and Sea Level Rise? pada majalah Science Vol. 307 hlm 1769-1772.

Studi simulasi itu menunjukkan bahwa Kalau konsentrasi karbon dioksida di atmosfer pada 2100 naik menjadi 2 kali lipat konsentrasi karbon dioksida 2005 (ini dikenal sebagai skenario A2), suhu permukaan Mendunia akan meningkat pada kisaran antara 2,2 derajat celsius hingga 3,5 derajat celsius dan tinggi muka laut juga akan naik pada kisaran 20-30 cm. Itulah yang mendasari strategi mitigasi perubahan iklim Buat mengurangi emisi karbon dioksida Mendunia.

 

Merambah ranah politik

Intervensi ilmiah itu Rupanya berimbas ke arena politik mancanegara. Peran Insan sebagai agen pemanasan Mendunia alias perubahan iklim dijadikan sebagai isu Primer kampanye politik. Isu itulah berhasil mengantarkan Kevin Rudd menjadi perdana menteri Australia pada 2007. Tetapi, ketika popularitasnya menurun drastis akibat penolakan Senat terkait dengan proposalnya tentang skema pengurangan karbon (carbon pollution reduction scheme) posisinya digantikan Julia Gilard.

Hal itu amat berbeda dengan kejadian di Indonesia. Sejumlah peraturan terkait dengan mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon diloloskan dengan mudah dan Segera. Kita ambil tiga Misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 mengenai kendaraan listrik berbasis baterai pada moda transportasi, Perpres No 98 Tahun 2021 yang ditetapkan 29 Oktober 2021 tentang nilai ekonomi karbon dan pengendaliannya melalui instrumen pajak karbon (Pasal 47 ayat 1a-c), dan UU No 7 Tahun 2021 yang mengatur pajak karbon secara terperinci (Pasal 13).

Terdapat sejumlah hal yang menarik dan patut dicatat tentang kedua aturan yang dibuat pada 2021 itu. Pertama, kedua aturan itu ditandatangani pada Rontok yang sama, 29 Oktober 2021. Kedua, UU No 7 Tahun 2021 itu tak dijadikan konsiderans (pada hal ‘mengingat’) pada Perpres No 98 Tahun 2021 itu. Timbul pertanyaan, apakah memang Terdapat keterkaitan antara emisi karbon dioksida di Indonesia dan sejumlah Akibat keikliman yang ditimbulkannya?

 

Emisi karbon dan kehidrometeorologian 

Keterkaitan antara emisi karbon dan aspek kehidrometeorologian dapat dilihat pada data keikliman dan kelautan Indonesia. Data itu tersedia pada ranah publik melalui akses daring gratis pada kurun waktu 1901 hingga 2021 berupa emisi karbon (https://ourworldindata.org/greenhouse-gas-emissions), suhu permukaan udara dan curah hujan diperoleh dari situs Bank Dunia pada https://climateknowledgeportal.worldbank.org/country/indonesia. Data cuaca pada situs web Bank Dunia ini berasal dari situs CRU (Climate Research Unit) Universitas East Anglia (United Kingdom); Lampau data kelautan yang berupa data rata-rata bulanan anomali muka laut Indonesia melalui pemantauan satelit tersedia pada kurun waktu 1992 hingga 2022 (www.star.nesdis.noaa.gov/socd/lsa/SeaLevelRise/LSA_SLR_timeseries_regional.php).

Cek Artikel:  NU-Muhammadiyah dan Konsolidasi Demokrasi

Data anomali muka laut bulanan itu kemudian diolah menjadi data tahunan oleh Andika pada Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika FMIPA Unhas dan data tutupan salju (snow cover) di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua, pada periode 2013-2023 yang terpantau dari Landsat 8 diunduh dari website USGS (United States Geological Survey) dan dianalisis Syamsinar pada Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika FMIPA Unhas.

Hasil analisis menunjukkan dua hal. Pertama, Terdapat tren positif pada emisi karbon dioksida, suhu udara, curah hujan, dan muka laut serta tren negatif pada tutupan salju di puncak Papua. Tren negatif itu telah ditunjukkan sebelumnya dalam artikel (www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.1822037116) yang serupa dengan tren negatif pada beberapa pegunungan di tempat lain (www.nature.com/articles/s41598-022-17575-4; https://www.nature.com/articles/s41598-022-16743-w).

Kedua, hasil analisis Kaitan menunjukkan keterkaitan antara fluktuasi Buat mengaitkan antara fluktuasi emisi dan Unsur-Unsur hidrometeorologis Rupanya tak kuat. Itu berdasarkan pada nilai Kaitan Pearson pada formulasi Halide dan Ridd (2008) (https://rmets.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/joc.1519). Nilai Kaitan antara emisi karbon dioksida dan besaran keikliman dan kelautan yang dihasilkan ialah 0,35±0,08 (karbon Lawan suhu permukaan), -0,11±0,09 (karbon vs curah hujan), -0,33±0,17 (karbon vs rata-rata muka laut), dan 0,02±0.35 (karbon vs tutupan salju). Hasil analisis Kaitan itu menunjukkan fluktuasi emisi karbon di Indonesia belum terkait secara meyakinkan dengan suhu udara, hujan, tinggi muka laut, dan tutupan salju di Indonesia.

 

Pekerjaan rumah pemerintah 

Uraian tentang hasil analisis data hidrometeorologi dan kelautan dari Indonesia yang ditunjukkan di atas menunjukkan adanya kontroversi pada peran emisi karbon dioksida dan dampaknya pada kondisi hidrometeorogi dan kelautan Indonesia. Analisis Kaitan menyatakan pengaruh emisi karbon terhadap suhu permukaan, hujan, muka laut, dan tutupan salju di Indonesia belum meyakinkan.

Tetapi, di sisi lain, Terdapat tren penyusutan gletser di Papua yang dapat menjadi indikasi adanya perubahan iklim seperti ditunjukkan pada sejumlah studi terdahulu. Kontroversi itu mestinya dapat diselesaikan melalui penggunaan teknologi satelit Buat memantau dua hal sekaligus; eksistensi karbon dioksida dari sumber-sumber di permukaan bumi (www.frontiersin.org/articles/10.3389/frsen.2022.1028240/full) dan pengamatan adanya perubahan suhu permukaan bumi (www.nsstc.uah.edu/climate).

Kalau kedua hasil pemantauan itu Bisa membuktikan dengan Niscaya Terdapat kaitan antara emisi karbon dan perubahan suhu, kita sebagai Kaum dunia harus ikut menjaga ketertiban dunia (alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945). Partisipasi itu terwujud dalam program mitigasi perubahan iklim melalui UU No 7 Tahun 2021 dengan besaran pajak yang harus disesuaikan dengan pendapatan rakyat Indonesia. Tetapi, Kalau kaitan itu tak terbukti signifikan, rakyat tak layak menanggung beban pajak karbon ini.

Mungkin Anda Menyukai