SEJAK wabah covid-19 melanda dunia pada 2020, kota St. Petersburg tidak terkecuali turut merasakan dampak buruk dari wabah itu. Kota ini menjadi sepi pengunjung. Situasi bertambah runyam ketika Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Padahal, sebelum dua ‘malapetaka’ ini muncul, kota yang dijuluki Nord Venecia ini senantiasa dipadati turis dari berbagai penjuru dunia. Maklum, kota ini merupakan kota maha kaya budaya, terutama karena merupakan titik pertemuan tiga budaya besar, yakni Eropa, Rusia, dan Asia Kecil. Entah sampai kapan kota tercinta ini akan kembali dipadati pengunjung.
Sunyinya kota St. Petersburg hingga kini sudah pasti merupakan dampak dari perang yang sudah lama ini. Denda berupa pelarangan terbang dari Eropa ke Rusia dan sebaliknya turut mempersulit orang bepergian. Selain itu, peluang mendapatkan visa masuk Rusia bagi warga asing, terutama yang berasal dari negara-negara yang tidak ‘bersahabat’ dengan Rusia juga sulit.
Perang ini tidak diketahui kapan selesai. Berbagai upaya perdamaian telah dilakukan oleh beberapa negara sahabat, tetapi belum ada buahnya. Pertemuan Presiden Zelensky dan Paus Fransiskus di Vatikan (13/5/2023) sempat menjadi berita. Enggak ada berita yang mengejutkan sebagai hasil pertemuan kedua tokoh tersebut. Yang agak spektakuler dari pertemuan itu adalah, dalam kunjungan ke Vatikan itu, Zelensky mengenakan pakaian antipeluru. Dengan Zelensky mengenakan pakaian antipeluru memberi pesan bahwa Ukraina dalam keadaan darurat perang.
Baca juga : Zelenskyy: Gencatan Senjata Enggak akan Bawa Perdamaian
Upaya perdamaian
Upaya Vatikan untuk mewujudkan perdamaian antara Ukraina dan Rusia sebenarnya sudah dilakukan sejak konflik kedua negara itu pecah. Paus Fransiskus segera mengadakan kunjungan langsung dan pribadi ke Kedubes Rusia untuk Vatikan yang berkedudukan di Roma. Tetapi, upaya itu tidak berhasil.
Upaya perdamaian berikutnya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Seperti diberitakan, Joko Widodo melakukan kunjungan kenegaraan ke Ukraina dan Rusia pada 29-30 Juni 2022 saat perang masih berkecamuk. Pada kunjungan itu, Jokowi bertemu dan berbicara langsung dengan Zelensky (29/6) dan kemudian dengan Putin (30/6). Jokowi menawarkan diri menjadi jembatan penghubung bagi kedua negera untuk berdialog damai. Komitmen Presiden Jokowi (Indonesia) menjadi jembatan perdamaian bagi kedua negara dipertegas kembali dalam pertemuan bilateral Indonesia-Ukraina di sela-sela KTT G-7 di Hirosima, Jepang (21/5/2023).
Inisiatif Jokowi sejalan dengan amanat Konstitusi dan arah politik luar negeri RI yang mengedepankan pentingnya menjaga perdamaian dunia. Sekalipun belum membuahkan hasil maksimal dalam kunjungan perdana itu, setidaknya Rusia meluluskan permohonan Presiden Joko Widodo agar dibuka blokade bahan pangan dan pupuk ke negara lain termasuk Indonesia.
Baca juga : Zelensky Bersua Paus Fransiskus
Selain Presiden Jokowi, Menhan Prabowo Subianto juga menawarkan solusi damai bagi kemelut Rusia dan Ukraina. Prabowo mengusulkan lima poin yaitu gencatan senjata, pasukan Rusia dan Ukraina mundur 15 km, zona demiliterisasi diawasi PBB, mengirim pasukan pemantau, dan penyelenggaraan referendum. (Kompas, 10/6/2023). Tawaran baik Prabowo kemudian ditolak mentah-mentah oleh Ukraina. Pihak Ukraina menilai tawaran Prabowo aneh dan menguntungkan Rusia.
Kemudian, upaya perdamaian yang cukup menarik perhatian dunia adalah tawaran skenario Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Eksis dua belas usulan Xi Jinping yang perlu dipenuhi agar perdamaian Ukraina dan Rusia terwujud. Rasanya, skenario Xi Jinping itu bagus semua, kecuali untuk satu hal yakni wilayah kedaulatan.
Persoalan wilayah kedaulatan menjadi jalan terjal untuk terwujudnya proses damai secepatnya. Karena, baik Rusia mapun Ukraina sama-sama memandang wilayah Krimea yang dianeksasi Rusia (2014) dan Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhia (2022) sebagai wilayah kedaulatan mereka.
Baca juga : Putin Abaikan Misi Perdamaian Jokowi, ini Usulan Tindak Lanjut
Ruang dialog dibuka
Meskipun masih ada ganjalan menuju proses perdamaian, lilin harapan tidak boleh redup apalagi padam. Meminjam pepatah Rusia yaitu Nadezda umiraet poslednei. Ungkapan ini memberi pesan mendalam bahwa harapan (akan perdamaian) tidak boleh pupus. Itu berarti optimisme untuk terwujudnya perdamaian harus terus diupayakan.
Memang harus diakui bahwa harapan untuk tercapainya kesepakatan damai di tengah gejolak perang bukan hal mudah. Apalagi, kalau pihak-pihak yang sedang bertikai ngotot mempertahankan ego dan enggan maju ke meja perundingan.
Meski demikian, upaya-upaya mewujudkan perdamaian tidak boleh tunduk pasrah pada ambisi perorangan atau pihak tertentu saja. Ruang dialog harus dibuka lebar. Upaya perdamaian yang sudah dimulai harus terus dipromosikan. Mengapa? Karena hidup damai adalah kebutuhan hakiki umat manusia. Damai itu indah, damai itu bahagia. Damai itu dambaan semua orang.
Baca juga : Jokowi Tawarkan Tamatkan Pesan Zelensky untuk Putin
Sebaliknya, perang sama sekali tidak ada gunanya. Perang adalah ekspresi keangkuhan dan luapan emosional destruktif dan sekaligus ungkapan ketidaksanggupan dalam berdiplomasi mencari solusi damai. Perang menimbulkan kerugian besar dan selalu memakan korban, baik jiwa maupun harta. Perang menyebabkan permusuhan antara manusia. Enggak ada pihak yang menang atau kalah dalam suatu peperangan. Perang selalu menyebabkan tragedi kemanusiaan dan melahirkan kebencian. Itulah yang terjadi antara Rusia dan Ukraina saat ini.
Bagaimanapun perang harus dihentikan. Damai harus segera ditegakkan. “It is high time for peace – a just peace (Sekarang saat yang tepat untuk perdamaian, perdamaian yang adil),” seruan Sekjen PBB Antonio Guterres dalam sidang Dewan Keamanan PBB, 23 Februari 2024. Buat terwujudnya perdamaian, perlu negosiasi. Negosiasi adalah langkah awal menuju pembicaraan damai. If we want this war end we go to negociate yang berarti jika kita ingin mengakhiri perang maka (kita) perlu bernegosiasi (Jeffrey Sachs:Jalan menuju Perdamaian di Ukraina).
Kesediaan untuk bernegosiasi dan melakukan gencatan senjata adalah suatu condicio sine qua non (syarat yang mutlak ada) untuk terwujudnya perundingan damai guna mengakhiri perang. Itu berarti kedua belah pihak yang bertikai harus menahan nafsu berperang, siap meletakkan senjata, menarik mundur pasukan, dan maju ke meja perundingan. Segala bentuk aksi provokasi yang turut mengompori dan melanggengkan perang seperti bantuan senjata dan peralatan perang lain harus dihentikan.
Baca juga : Menlu: Presiden Jokowi akan Kunjungi Kyiv dan Moskow
Lantas, siapakah atau negara manakah yang berpotensi besar dapat berperan sebagai mediator guna mendamaikan Rusia dan Ukraina? Menjawab pertanyaan ini, penulis tanpa mengabaikan peran dari peribadi atau negara lain ingin menyebut satu nama yaitu Paus Fransiskus sebagai mediator.
Paus Fransiskus adalah salah seorang yang sangat care dan konsisten sejak meletusnya perang Rusia dan Ukraina. Sehari setelah Rusia melakukan invasi terhadap Ukraina, Paus Fransiskus langsung menemui Dubes Federasi Rusia untuk Vatikan di Roma dan menyampaikan keperihatinannya atas apa yang sedang terjadi di Ukraina.
Ini suatu tindakan heroik dan tidak lazim. Kebiasaanlnya dalam kasus seperti ini seorang kepala negara yang memanggil Dubes dari negara yang bermasalah supaya menjelaskan apa yang dilakukan oleh negaranya. Kali ini dan pertama dalam sejarah Paus Fransiskus sengaja ‘menabrak’ protokol diplomatis demi tujuan perdamaian dan kemanusiaan.
Baca juga : Serangan Rudal Rusia ke Kyiv Setelah Putin Berjanji Membalas Serangan Perbatasan
Selain itu, Paus Fransiskus tidak segan-segan melancarkan keritik pedas kepada pihak-pihak yang dinilainya sebagai penyebab perang ini. Dia mengkritik NATO yang dinilainya, “Menggonggong di gerbang Rusia,” dan turut memprovokasi Rusia untuk menyerang Ukraina.
Paus juga berani mengkritik sikap pemerintah Rusia atas agresi militer mereka terhadap Ukraina. Bahkan Paus Fransiskus secara terbuka mengkritik sikap Patriark Kiril, pemimpin tertinggi gereja Ortodox Rusia, yang bukannya berperan sebagai penengah tetapi malah mendukung invansi. Karena itu, Paus dengan nada sinis menyatakan Patriark Kiril sebagai altar boy (pelayan altar) penguasa (Putin).
Paus Fransiskus tidak punya kepentingan politis atau berpihak pada salah satu negara. Dia murni berpihak pada cita-cita kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Buat itu, Paus tidak hanya melancarkan kritik tajam tetapi juga (dia) tak henti-hentinya berdoa untuk perdamaian di Ukraina. Paus menyerukan agar perang yang dinilainya absurd dan kejam segera dihentikan. Buat itu, Paus menawarkan diri menjadi mediator (penengah) untuk solusi damai antara Kiev dan Moskow. Dia menyerukan agar ada upaya nyata untuk mengakhiri konflik, mencapai gencatan senjata dan memulai negosiasi perdamaian (Vatican News, 22/2/2023).
Baca juga : Volodymyr Zelensky Standarkan Henti Kemajuan Rusia di Ukraina
Berharap kedua belah pihak yang bertikai menanggapi positif tawaran dari Paus Fransiskus dengan membuka pintu dialog menuju perdamaian. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sudah menemui Paus Fransiskus di Vatikan. Zelensky meminta Paus untuk mendukung formula perdamaian yang ditawarkan Ukraina. Sebaliknya, Paus menghadiahkan Zelensky satu skulptur berukir ranting Zaitun. Zaitun adalah lambang perdamaian.
Semoga Vladimir Putin juga membuka hati untuk bertemu Paus entah di Roma atau Moskow. Karena, Paus sendiri sudah lama berniat berkunjung ke Moskow. Ketika Paus Fransiskus diundang oleh Zelensky untuk berkunjung ke Kiev, Paus mengatakan, “Saya siap berkunjung ke Kiev asalkan saya juga diundang untuk berkunjung ke Moskow.”
Pesannya jelas. Paus siap menjadi penengah untuk penyelesaian konflik ini. Semoga Presiden Putin segera membuka ruang dialog. Dengan demikian krisis perang Rusia dan Ukraina segera berakhir dan harapan damai segera terwujud.