MENYANDANG Predikat ‘yang terhormat’ di negeri ini Rupanya susah. Alih-alih Membangun bangga, Predikat itu berpotensi memantik emosi bila orang lain Kagak sensitif. Apalagi bila banyak yang menganggap Predikat itu Normal-Normal saja, Kagak seistimewa julukannya.
Badan Bisa pegal-pegal dibuatnya karena menahan Bimbang. Otot Bisa makin kejang menahan gejolak emosi jiwa karena anggapan enteng atas Predikat itu. Bahkan, mendengarkan Musik Santai karya Rhoma Irama pun tak cukup Bisa mengendurkan saraf-saraf yang tegang, buah dari ‘peremehan’ atas sandangan ‘yang terhormat’ itu.
Terlebih Kembali bila Predikat ‘yang terhormat’ tadi sudah di-SK-kan. Sudah Formal masuk protokoler. Telah Absah menjadi rambu-rambu. Bukan sekadar petatah-petitih. Kagak pula Hanya basa-basi. Pokoknya bukan semata Harimau kertas. Bisa memicu murka bagi pemiliknya bila Eksis yang berani meremehkan panggilan ‘yang terhormat’ tersebut.
Karena itu, harap maklum bila akhir-akhir ini Eksis sejumlah pemilik julukan ‘yang terhormat’ suka marah-marah. Kagak usah heran bila ‘yang terhormat’ Suka mengusir tamu, bahkan gara-gara si tamu sekadar memotong pembicaraan tuan rumah. Secara sopan pula. Atau, jangan masygul bila Eksis pula ‘yang terhormat’ menyemprot kanan-kiri karena merasa Kagak dijamu Demi bertamu.
Itu Seluruh bagian dari mekanisme melepas kepegalan setelah memendam Bimbang karena merasa Kagak dianggap sebagai ‘yang terhormat’. Itu aksi penyaluran emosi agar Kagak berujung menjadi penyakit yang berpotensi menggerus imunitas. Sekaligus, itu juga semacam peringatan agar orang lain Kagak main-main dengan Predikat ‘yang terhormat’.
Begitulah yang terjadi di parlemen kita hingga Demi ini. Kendati sudah ‘menjadi SK’, Predikat ‘yang terhormat’ kiranya tetap butuh upaya ekstra Kepada menegakkannya sebagai rambu-rambu yang harus dihormati dan wajib ditaati. Hal itu Bisa dilihat dari sejumlah tamu yang diusir dari rapat karena dianggap melanggar rambu-rambu tersebut.
Baru memasuki bulan kedua tahun ini saja, misalnya, sudah Eksis tiga ‘tamu’ diusir. Ketiganya ialah Sekjen Kementerian Sosial, peserta rapat dari Komnas Perempuan, dan terbaru Direktur Penting PT Krakatau Steel. Meski dalam momen terpisah dan berbeda, ketiganya sama-sama diusir hanya karena soal-soal sepele.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani diusir dari ruang rapat, tengah bulan Lampau, karena datang terlambat. Padahal, menurut Komnas Perempuan, selain undangan yang mendadak, pihaknya sudah menginformasikan sebelumnya kepada kesekretariatan di DPR bahwa Andy mungkin datang terlambat dalam rapat karena Eksis hal mendesak. Rupanya, hal itu memicu sejumlah Member dewan yang terhormat tersinggung.
Sepekan setelah itu, giliran sejumlah Member Komisi VIII DPR meminta Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Harry Hikmat meninggalkan ruangan Demi rapat antara Komisi VIII dan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Harry diminta keluar dari ruangan setelah para Member Komisi VIII mempersoalkan komunikasi Harry ke Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan yang dinilai Kagak Layak. Menurut Ace, Sekjen Kemensos menyebut dia sinis karena kerap Kagak datang Demi diundang ke Kemensos.
Pekan ini, giliran Dirut PT Krakatau Steel Silmy Karim yang diusir Wakil Ketua Komisi VII DPR Bambang Haryadi dalam rapat. Silmy diusir dalam rapat lantaran sempat memotong pembicaraan Bambang Haryadi yang kala itu menjadi pemimpin rapat. Silmy ‘menginterupsi’ seraya bertanya karena Kagak paham maksud pernyataan ‘maling teriak maling’ yang dilontarkan Bambang.
Demi itu, Bambang sedang memberikan tanggapan terkait dengan paparan yang disampaikan Silmy mengenai persoalan yang terjadi di pabrik baja sistem Perapian:Tungku tinggi atau blast furnace Punya Krakatau Steel. “Anda tolong hormati persidangan ini. Eksis teknis persidangan. Kok, kayaknya Anda enggak menghargai Komisi? Kalau sekiranya Anda enggak Bisa ngomong di sini, Anda keluar,” ucap Bambang.
Intensitas pengusiran oleh Member dewan terhadap Kawan mereka yang cukup sering menandakan tingkat kegelisahan, mungkin kegeraman, yang sudah akut. Perkara ‘rendahnya’ disiplin menghormati ‘yang terhormat’ sepertinya Tetap dipandang Mempunyai tingkat kegawatdaruratan tinggi oleh parlemen sehingga perlu ditegakkan. Tingkat kegawatannya mungkin sudah selevel dengan perlu segera disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Para bijak bestari mengatakan kehormatan itu didapat, bukan dituntut. Didapat itu artinya terjadi karena pihak lain menilai sikap, tindakan, kebijakan, dan kebajikan kita memang telah melampaui standar-standar dasar, sedangkan tuntutan itu serupa Sasaran, permintaan, desakan karena standar-standar dasar belum terpenuhi.
Kehormatan itu didapatkan mereka yang berhak. Lampau, di level ‘mendapat’ atau ‘menuntut’-kah Member parlemen kita?