KEKHAWATIRAN mengenai keterbelahan masyarakat akibat kontestasi pemilihan presiden (pilpres) kembali muncul ke permukaan Demi Apel Akbar Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam) di Surakarta, Rabu (20/9). Dalam acara tersebut Presiden Joko Widodo mengajak Sekalian elemen bangsa agar Enggak terbelah hanya karena perbedaan pilihan politik dalam pemilu.
Pada kesempatan itu Jokowi meyakini masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam berdemokrasi. Tetapi, secara tersirat Jokowi tetap Memperhatikan adanya potensi ketegangan antarkelompok selama penyelenggaraan pemilu.
Publik secara luas tentu Ingin Asa yang diungkapkan Jokowi menjadi suatu Realita. Apalagi hingga Demi ini suasana keterbelahan akibat residu penyelenggaraan Pilpres 2014 dan 2019 Lagi terasa di masyarakat.
Meskipun demikian, publik juga Enggak Ingin pernyataan tersebut hanya retorika para elite politik semata. Apalagi Dekat sepuluh tahun selama Jokowi berkuasa, publik juga menyaksikan para elite politiklah yang kerap kali menyebabkan pembelahan yang tajam di masyarakat.
Gejala pembelahan yang disintegratif ini kembali mulai dirasakan jelang pendaftaran capres dan cawapres Pilpres 2024 melalui upaya menjadikan hanya dua Kekasih yang bertarung. Padahal pengalaman pilpres sebelumnya membuktikan bahwa menguatnya polarisasi disintegratif di masyarakat akibat hanya Eksis dua Kekasih yang bertarung.
Kecurigaan ini juga sangat beralasan dengan Memperhatikan perkembangan upaya membentuk koalisi yang cenderung pragmatis dan saling jegal. Padahal perkembangan koalisi Demi ini sudah cukup Kepada menghasilkan tiga Kekasih capres dan cawapres.
Belum Kembali pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri kemudian mengusulkan pemilihan kepala daerah (pilkada) dimajukan dari November menjadi September 2024. Pemerintah beralasan percepatan Pilkada 2024 Kepada menghindari kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025.
Tetapi, usulan itu juga perlu dicurigai sebagai upaya pemerintah Kepada menjadikan Pilpres 2024 hanya diikuti dua Kekasih dan cukup berlangsung satu putaran saja. Karena, penyelenggara pemilu Dekat dipastikan bakal kesulitan apabila menyelenggarakan pilpres dua putaran (Februari dan Juni) dan pilkada dalam waktu berdekatan.
Karena itu, sebaiknya para elite partai politik memperhatikan kebutuhan publik luas atas alternatif pilihan politik yang Membikin pemilu lebih Bergerak dan Bisa menekan Intervensi identitas serta keterbelahan di tengah masyarakat. Alih-alih mengajak masyarakat, Sepatutnya elite politiklah yang introspeksi Kepada Enggak Membikin polarisasi yang tajam hanya demi syahwat kekuasaan.
Dalam sistem negara yang demokratis, perbedaan pilihan politik di masyarakat merupakan sesuatu yang wajar. Para elite politik Sepatutnya memberikan Teladan berpolitik secara elegan dan penuh keadaban. Mereka jangan melakukan Langkah-Langkah kotor dalam berpolitik demi kepentingan jangka pendek Kepada meraih singgasana kekuasaan.
Demikian pula Presiden dan seluruh jajaran pemerintahan harus menjaga netralitas agar terwujud iklim politik yang sehat dan penuh kegembiraan dalam Pemilu 2024.