Menghidupkan Dialog

MENGELOLA perbedaan bukanlah perkara mudah. Apalagi bila level perbedaan itu sangat kompleks seperti Indonesia. Butuh kesabaran ekstra, ikhtiar keras, dan sikap kelapangan dada yang mahaluas Demi menerima kompleksitas perbedaan itu.

Dalam sebuah kesempatan di Universitas Indonesia, Guru Besar dari Technise Universitat Dortmund Thomas Meyer mengakui beratnya mengelola keragaman yang multi seperti Indonesia. Meyer mengatakan bahwa identitas sosial di negara multikultur dan demokrasi seperti Indonesia sangat rumit.

Berbagai latar belakang, kepentingan, dan Langkah pandang masuk dalam satu tataran serta keranjang politik. Apabila Enggak dikelola dengan Berkualitas, tandas Profesor Meyer, situasi itu Bisa memicu tumbuhnya fundamentalisme. Karena itu, ruang publik mestinya diisi dengan dialog terbuka dan setara.

Dialog itu jembatan bagi terkuaknya ruang gagasan Demi membangun kebudayaan. Permasalahan kita yang Enggak kunjung tuntas selama ini ialah bagaimana membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua sisi ‘sungai’ yang terpisah.

Ruang dialog publik merupakan sebuah jembatan antara negara dan Penduduk negara. Ruang dialog itu Tanda khas dari sebuah peradaban serta konfigurasi kebudayaan.

Cek Artikel:  Gatal Kaki Garuk Kepala

Sayangnya, Bahkan ruang dialog itu yang ditanggalkan sehingga berakibat amarah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pekan ini. Eksis yang Enggak sabar mengelola perbedaan. Bahasa dialog diganti dengan bahasa represi. Pokoknya, tangkap dulu, musyawarah kemudian.

Perbedaan antara Penduduk yang pro dan kontra pembebasan lahan Demi galian material andesit sebagai bahan baku pembangunan Bendungan Bener mestinya Bisa dicapai titik temunya lewat dialog. Prinsip ‘Enggak boleh Eksis yang ditinggal’ (no left behind), Biar secara jumlah yang kontra itu bukan mayoritas, seyogianya tetap diterapkan.

Saya jadi ingat bagaimana dulu Orde Baru menutup ruang dialog dalam ‘bernegosiasi’ dengan warganya. Akibatnya, kata ‘pembangunan’ yang ditiupkan bak mantra oleh negara, bagi masyarakat kerap diidentikkan dengan perampasan, penggusuran, dan pengambilalihan hak secara paksa. Dalam berbagai kasus, atas nama pembangunan, jatuhlah korban jiwa di kalangan Penduduk, seperti di Kedungombo, di Nipah, di Cimacan, dan beberapa tempat lainnya.

Cek Artikel:  RUU Basah di Jalur Segera

Kita sudah bermufakat mengakhiri episode sejarah kelam seperti itu. Begitu era berganti, kita juga sudah disodori kisah sukses bagaimana kesabaran mengelola dialog itu Bisa berbuah manis. Itulah, misalnya, yang dilakukan Jokowi Begitu menjadi Wali Kota Surakarta.

Jokowi bermaksud merevitalisasi kawasan Banjarsari menjadi Area hijau. Caranya dengan merelokasi ratusan pedagang barang bekas di Distrik tersebut. Tiga wali kota sebelum Jokowi ‘angkat tangan’ Begitu harus memindahkan ratusan pedagang itu.

Jokowi mengembangkan dialog dengan Langkah mengundang para pedagang makan Serempak. Enggak cukup sekali atau 10 kali, tapi hingga jamuan makan ke-54, barulah titik temu itu terjadi.

Begitu eksekusi tiba, Enggak Eksis satu pun pedagang yang menolak relokasi. Padahal, awalnya Segala pedagang menolak dipindahkan, bahkan dengan ancaman akan membakar kantor wali kota bila relokasi itu tetap dilakukan. Alih-alih kerusuhan, relokasi bahkan dirayakan dengan karnaval seni bak acara perayaan kebudayaan. Enggak Eksis bedil, parang, pentungan, dan gas air mata. Yang bersemi Bahkan taburan Asmara.

Cek Artikel:  Ujung Setor Pak Rektor

Di Surakarta, Jokowi dan Penduduk menciptakan sejarah dengan memutar haluan stigma Jelek pembangunan warisan Orba. Bahasa pemaksaan digeser dengan bahasa dialog. Perintah diganti dengan mendengar, mendengar, dan mendengar. Enggak Eksis yang lebih tinggi daripada yang lain. Semuanya setara, punya hak mendengar dan bicara.

Ruang dialog publik berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesetaraan itu pun terbukti Manjur mengelola perbedaan. Dalam ruang seperti itu, Enggak Eksis Tengah yang kuat menindas yang lemah atau mayoritas menyingkirkan minoritas. Pun, Enggak Eksis yang tertinggal atau ditinggalkan.

Kasus di Wadas kiranya menjadi cermin siapa pun Demi kembali memperluas ruang dialog. Pula, memperkuat Kekuatan kesabaran Demi mencapai titik temu. Negara mesti Memperhatikan Penduduk, Berkualitas yang pro maupun kontra pembebasan lahan, sebagai subjek, bukan objek.

Apabila subjek ketemu dengan subjek, yang terjadi ialah dialog intersubjektif. Ujung-ujungnya terjadi titik temu. Muncul bahasa kalbu. Tercipta bahasa Asmara.

Mungkin Anda Menyukai