TEKANAN defisit neraca perdagangan Amerika Perkumpulan (AS) atas Tiongkok yang belum mereda, memaksa Presiden AS Donald Trump melanjutkan proteksi. Walhasil, upaya rekonsiliasi pertemuan kedua kepala negara di KTT G-20 Osaka-Jepang, akhir Juni 2019, hanya berbuah gencatan senjata sementara.
Memasuki September, AS kembali mewacanakan kenaikan bea masuk atas produk-produk impor asal Tiongkok sebesar 15%, terutama untuk barang konsumsi yang menjejali pasar AS, seperti televisi dan alas kaki. Birui total proteksi impor dari Tiongkok diperkirakan mencapai US$300 miliar. Karenanya, Tiongkok membalasnya dengan mengenakan bea masuk produk-produk impor dari AS sebesar 5%-10%, dengan nilai sekitar US$75 miliar.
Berlanjutnya perang dagang tersebut tentu berdampak buruk terhadap perekonomian dunia, bahkan tak terkecuali bagi AS dan Tiongkok sendiri. Volume perdagangan dunia merosot sebesar US$455 miliar dan berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 0,5%. Terbukti, triwulan I 2019 perdagangan dunia hanya tumbuh 0,4% (yoy), merosot jika dibandingkan dengan triwulan III 2018 yang masih tumbuh 1,6% (yoy).
Begitu pun bagi AS, sekalipun tekanan defisit neraca perdagangan atas Tiongkok relatif bisa ditekan, AS tetap menderita kerugian. Pertumbuhan ekonomi AS terkoreksi sebesar 0,1%, investasi menyusut 3,91%, dan ekspor turun 8,2%. Demikian juga Tiongkok, walaupun neraca perdagangan masih surplus, pertumbuhan ekonomi negeri ini turun 0,6%, investasi turun 2,67%, dan ekspor turun 7,09%. Ironisnya, penurunan ekspor AS utamanya disebabkan menyusutnya ekspor ke Tiongkok. Berdasarkan data International Trade Centre (ITC), pada triwulan I 2019, ekspor AS ke Tiongkok turun 18,82% (yoy) dan ekspor Tiongkok ke AS menyusut 8,8% (yoy).
Mengalap berkah
Meskipun eskalasi ketegangan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut masih berlanjut, nyatanya sejumlah negara justru mendapat berkah, antara lain mendapat manfaat dari pengalihan kebutuhan impor dari AS maupun Tiongkok (trade diversion). Vietnam, Taiwan, Cile, dan Malaysia memperoleh benefit cukup besar dari trade diversion AS dan Tiongkok. Keuntungan Vietnam atas pengalihan impor AS mencapai 7,9%, disusul Taiwan 2,1%, Cile 1,5%, dan Malaysia 1,3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Vietnam memperoleh manfaat pengalihan perdagangan paling besar karena memiliki sejumlah keuntungan (Laporan Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Global, Bank Indonesia Triwulan II 2019). Kemiripan produk ekspor Vietnam (indeks export similarity) dengan Tiongkok cukup tinggi, mencapai 0,43 jauh di atas Taiwan (0,35) dan Malaysia (0,32). Vietnam juga diuntungkan kedekatan geografis (satu daratan) dengan Tiongkok. Vietnam juga memperoleh fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dan Bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS sejak 1994. Ditambah lagi, terdapat potensi relabeling produk Tiongkok menjadi made in Vietnam. Selain itu juga terdapat peluang praktik transhipment ekspor Tiongkok melalui Vietnam agar produk Tiongkok tercatat sebagai produk Vietnam.
Hal tersebut dilakukan eksportir Tiongkok untuk menghindari kenaikan tarif impor dari AS. Tetapi, Pemerintah Vietnam telah berkomitmen memerangi praktik illegal transhipment dan relabeling eksportir Tiongkok untuk menjaga hubungan baik dengan AS.
Selain memiliki keuntungan dari sisi perdagangan, Vietnam juga jago menangkap peluang pemindahan investasi. Pertumbuhan ekonomi Vietnam melesat dari 5,03% pada 2012 menjadi 7,1% pada 2018. Salah satunya karena didorong pesatnya peningkatan investasi langsung sebagai dampak pengalihan produksi. Beberapa perusahaan manufaktur Tiongkok memindahkan basis produksinya untuk menghindari proteksi masuk ke AS. Bahkan data Bank Dunia menunjukkan, setidaknya 23 perusahaan AS memindahkan investasinya dari Tiongkok ke Vietnam. Hal itu dikonfirmasi data Badan Investasi Asing Vietnam, yang mana investasi asing langsung dalam lima bulan pertama 2019 mencapai US$16,74 miliar, sekaligus merupakan foreign direct investment (FDI) tertinggi dalam empat tahun terakhir. Apalagi, sebagian besar masuk pada sektor manufaktur, pemrosesan, ritel, dan properti. Akibatnya, pertumbuhan sektor manufaktur Vietnam mampu mencapai 13%, serta total ekspor meningkat 13,8% (yoy).
Vietnam mendapatkan limpahan investasi tentu bukan tanpa sebab. Elemen kuncinya kemudahan investasi, terutama kemudahan perizinan, produktivitas tenaga kerja, stabilitas, dan keamanan. Investor hanya membutuhkan waktu dua bulan untuk mendapatkan izin operasi dan investasi. Upah buruh di Vietnam hanya US$216 (sekitar Rp3 jutaan) per bulan atau separuh dari upah buruh di Tiongkok. Pemerintah memberi subsidi listrik untuk industri hingga harganya US$0,07 per jam. Sementara itu, harga listrik industri di Indonesia US$0,10 dan Filipina US$ 0,19 per jam. Karenanya, tidak mengherankan jika produk tekstil (TPT) dari Vietnam mampu menggeser ekspor tekstil Indonesia ke pasar AS. Pasalnya, tekstil termasuk produk yang lahap listrik. Padahal, pada awal paket stimulus fiskal, pemerintah telah berkomitmen memberikan diskon tarif listrik untuk industri. Sayang, implementasi kebijakan tersebut sampai kini belum sepenuhnya terwujud. Terbukti, berdasarkan data ITC, pada triwulan I 2019 peningkatan permintaan impor AS paling banyak berasal dari Vietnam, yang mana ada lonjakan hingga 39,5% (yoy). Sebaliknya, impor AS dari Indonesia turun 3,25% (yoy).
Kesempatan Indonesia
Secara nominal jumlah investasi asing (FDI) yang masuk ke Indonesia masih lebih tinggi ketimbang ke Vietnam. Pada 2018, FDI ke Indonesia mencapai US$21,98 miliar, sedangkan ke Vietnam masih US$15,5 miliar. Tetapi, dalam periode 2013-2018, realisasi FDI di Vietnam tumbuh melesat 74,16%, Indonesia hanya tumbuh 16,79%. Bahkan mulai 2018, FDI yang masuk ke Indonesia justru tumbuh negatif.
Salah satu faktor pemicu utamanya antara lain terkait dengan kemudahan izin investasi. Vietnam memiliki proses yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah serta kawasan industri. Sementara itu, di Indonesia pascaotonomi daerah, kewenangan kepala daerah cukup besar sehingga kepastian regulasi dan proses perizinan sering tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah. Sekalipun pemerintah telah menerapkan sistem online single submission (OSS), tetap belum mampu memangkas problem perizinan. Pasalnya, OSS yang diharapkan mampu mengintegrasikan seluruh pelayanan perizinan masih terkendala banyaknya kewenangan yang masih terbagi-bagi.
Akibatnya, sekalipun satu pintu, belum menghilangkan banyaknya jendela. Apalagi jika implementasi OSS hanya sebatas menerapkan proses komputerisasi. Harus ada sinkronisasi dan harmonisasi peraturan pusat dengan daerah dan pendelegasian kewenangan yang terntegrasi. Apabila Indonesia mampu keluar dari jebakan kendala kemudahan investasi, niscaya potensi daya tarik investasi Indonesia mampu menyaingi Vietnam.
Memang, Indonesia tidak memiliki keuntungan sebagaimana Vietnam yang produknya banyak kemiripan dengan ekspor Tiongkok ke AS. Tetapi, Indonesia memiliki beberapa produk unggulan yang berpotensi mengisi dan melakukan penetrasi ke pasar AS. Apalagi, Indonesia memiliki modal surplus perdagangan dengan AS.
Belajar dari Vietnam, Indonesia berpeluang mengundang investasi guna menyubstitusi produk impor dari Tiongkok ke AS, terutama produk-produk yang masih mendapatkan fasilitas pembebasan tarif GSP. Setidaknya terdapat tiga industri yang memiliki peluang, yaitu industri karet, furnitur, dan elektronik. Indonesia menjadi pemain keenam terbesar di Amerika dengan menguasai pasar produk karet setara dengan US$1,9 miliar, yang mana produk karet Tiongkok dikenai tarif 42%. Apalagi produk karet Indonesia masih dikenai pembebasan tarif GSP. Produk karet Indonesia yang masih memiliki keunggulan, antara lain ban truk, ban bus, ban radial, serta sarung tangan medis dan karet. Kompetitor utama produk ban ialah Thailand yang menguasai 11,8% pasar produk karet di AS. Padahal, realisasi FDI di sektor karet pernah melejit pada triwulan I 2017, menembus US$295,1 juta. Sayangnya, pada triwulan II 2019 justru turun tinggal US$95juta atau turun 43,6% (yoy).
Kesempatan berikutnya produk furnitur. Indonesia masih termasuk 10 besar eksportir produk furnitur di AS, nilai ekspor mencapai US$0,9 miliar pada 2018. Demi ini, 73% furnitur dari Tiongkok dikenai tarif 25%. Kompetitor produk mebel atau furnitur ini ialah Vietnam dan Malaysia. Sayangnya, kini justru banyak pabrik furnitur yang tutup, bahkan yang berada di sentra furnitur seperti di Jawa Timur. Beberapa perusahaan justru merelokasi basis produksinya ke Vietnam dan Malaysia, termasuk relokasi pabrik furnitur dari Tiongkok ke Vietnam agar dapat masuk ke pasar AS.
Terakhir, industri elektronik. Produk elektronik dari Tiongkok merupakan produk yang paling terkena dampak dari perang dagang ini. Pada produk elektronik, perang dagang merambah menjadi perang teknologi. Memang, penguasaan pasar elektronik Indonesia di AS masih sangat kecil, hanya US$1,3 miliar atau 0,4%. Tetapi, Indonesia merupakan negara eksportir produk elektronik ketiga terbesar setelah Singapura dan Jepang. Kini, tantangan cukup berat ketika Vietnam telah menjadi pusat produksi elektronik limpahan dari Tiongkok.
Alternatif kedua, jika dalam jangka pendek Indonesia kesulitan menembus pasar ekspor, peluang mengundang investasi untuk melakukan substitusi impor. Minimal untuk membendung penetrasi impor produk-produk dari Tiongkok karena proporsi impor Indonesia dari Tiongkok hampir mendekati 30%. Indonesia dapat menggaet investasi Jepang yang merupakan investor terbesar 31,6% dari total investasi asing langsung. Juga investor Korea Selatan yang berada di urutan kedua (24,9%) dan Singapura (11,8%). Di samping investasi asing, peluang terbesar justru investasi dalam negeri atau penanaman modal dalam negeri (PMDN). Kagak mesti perusahaan atau korporasi besar. Investasi UMKM pun justru berpeluang lebih besar dan potensial. Karenanya, filosofi deregulasi, debirokratisasi, dan berbagai insentif fiskal tidak hanya diterjemahkan untuk kemudahan investasi asing.
.