Menggantung Nasib Jutaan PRT

NASIB RUU tentang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) kembali digantung. Meski sudah diajukan ke DPR sejak Februari 2004, atau lebih dari 20 tahun lalu, RUU itu masih belum bisa memantik selera wakil rakyat untuk segera mengesahkannya.

Bayangkan, 20 tahun lamanya RUU itu digantung tanpa kejelasan. Padahal, tanpa adanya aturan yang mengatur tentang PRT, negeri ini bak menjalankan perbudakan di zaman modern. Teramat memalukan tentunya bagi sebuah bangsa yang menganut nilai hidup kemanusiaan yang adil dan beradab.

Nasib RUU PPRT bahkan teramat kontras dengan RUU tentang Kementerian Negara dan RUU tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang rencananya disahkan DPR hari ini. Kedua RUU itu dibahas dalam tempo sesingkat-singkatnya supaya dapat segera disahkan.

Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik

Dari segi judul dan substansi aturan, RUU tentang Kementerian Negara dan RUU Wantimpres sangat terang mengatur soal bagi-bagi kekuasaan dan wewenang segelintir elite politik. Eksispun RUU PPRT, aturan itu menyangkut hajat hidup masyarakat bawah yang jumlahnya mencapai jutaan, dari Sabang sampai Merauke.

Cek Artikel:  Manajemen Gagap di Pelabuhan Merak

Bagi DPR yang diisi oleh para elite politik, RUU Kementerian Negara dan RUU Wantimpres jelas menyangkut kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing. Karena itu, bagi mereka, dua RUU itu teramat penting untuk segera disahkan. Apalagi, masa jabatan anggota DPR periode ini akan segera berakhir dalam hitungan hari. Keberlangsungan mendapat porsi kue kekuasaan di masa mendatang jauh lebih genting ketimbang nasib jutaan pekerja rumah tangga (PRT) itu.

Kepekaan para wakil rakyat sejak dua dasawarsa silam sudah terasah tak ada keuntungan buat pribadi sama sekali dari pengesahan RUU PPRT. Mereka paham betul RUU PPRT itu dianggap hanya memperjuangkan nasib para PRT, dan nyaris tak ada secuil pun keuntungan jangka pendek untuk pribadi dengan mengesahkan aturan tersebut.

Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19

Entah apa yang terpikir dari para wakil rakyat itu. Sejak negara ini diproklamasikan 79 tahun silam, Indonesia belum punya instrumen yang mengatur PRT. Tanpa aturan tersebut, hingga sekarang tentunya sudah jutaan PRT yang mendapat perlakuan semena-mena, mulai dari pemberian upah seenak jidat majikan hingga pelecehan seksual.

Cek Artikel:  Ketidaknetralan kian Ugal-ugalan

Esensi dari keberadaan UU PPRT ialah pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja. Pengakuan itu akan memungkinkan PRT memiliki perlindungan hukum untuk membicarakan status kerja, keselamatan kerja, dan pengaturan upah.

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat, sejak 2021 sampai Februari 2024 terdapat 3.308 kasus kekerasan yang dialami PRT. Para korban rata-rata mengalami multikekerasan, mulai dari psikis, fisik, ekonomi, hingga perdagangan manusia.

Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik

Berdasarkan catatan Jala PRT pula, saat ini ada 5 juta PRT yang mayoritas perempuan. Ketiadaan payung hukum yang menaungi profesi PRT membuat mereka tak punya banyak pilihan selain bergantung pada nasib baik.

Negara lewat Komisi Nasional Hak Asasi Sosok (Komnas HAM) sejatinya telah mengidentifikasi sejumlah persoalan dasar PRT di Indonesia. Pertama, ketiadaan pengakuan PRT sebagai pekerja. Kedua, perspektif stigmatisasi yang merendahkan PRT.

Cek Artikel:  Konkretkan saja Berpihak, Pak Presiden

Persoalan berikutnya ialah tingginya kerentanan PRT mengalami pelanggaran HAM karena ketiadaan hukum yang melindungi mereka. Lewat, yang keempat ialah mandeknya pembahasan RUU PPRT di DPR dan lemahnya dukungan politik dalam pengesahan RUU PPRT, kecuali hanya dari segelintir partai politik yang konsisten memperjuangkan tapi kalah jumlah.

Baca juga : Kolaborasi Atasi Akibat Ekonomi

Momen di penghujung masa jabatan ini tentu jadi kesempatan emas bagi DPR periode 2019-2024 meninggalkan legasi. Kalau gajah mati meninggalkan gading, ada baiknya para wakil rakyat yang terhormat memikirkan apa yang akan mereka tinggalkan untuk bangsa ini.

Tentunya legasi berharga yang harus ditinggalkan agar terus diingat sampai kapan pun. Legasi itu yang bisa dipakai untuk mengikis ingatan masyarakat yang sudah hafal di luar kepala bahwa bangku gedung DPR sering kosong saat rapat. Itu juga sekaligus bisa membuktikan bahwa wakil rakyat adalah kumpulan orang hebat yang peduli nasib rakyat.

 

 

Mungkin Anda Menyukai