DALAM Rapat Konsinyering Panja Revisi UU Narkotika 35/2009 Maret 2024 lalu, mengemuka usulan untuk menggabung penggolongan narkotika dan psikotropika. Usulan tersebut layak diapungkan sebab hanya segelintir negara termasuk Indonesia yang masih menerapkan dualitas penggolongan narkoba(Narkotika dan Psikotropika).
Amerika Srikat(AS) dan Kanada misalnya, telah lama memilah narkoba ke dalam 5 golongan saja(Schedule I-V), berdasar pada adiktivitas zat bersangkutan.Peraturan Menkes(Permenkes) penggolongan narkoba (Permenkes 30/2023) membagi 3 golongan narkotika dan 4 golongan psikotropika, menjadikan kita sebagai salah satu negara dengan jumlah penggolongan narkoba terbanyak di dunia.
Benang kusut penggolongan narkoba itu bermula pada pembentukan UU Narkotika pada paruh akhir tahun 2000, ketika BPOM masih berinduk pada Kementrian Kesehatan(Kemenkes) dalam bentuk Direktorat Jenderal(Ditjen POM).
Baca juga : Pemberantasan Narkoba di Maluku Jadi Tanggung Jawab Serempak
Tetapi setelah berdiri sendiri menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementrian(LPNK) di era Presiden Megawati, kewenangan tersebut tak ikut berpindah. Yang tertinggal di Kemenkes adalah laboratorium-laboratorium yang berfokus pada tindak preventif dan kuratif kesehatan, bukan pemeriksa dan pengecekan prekursor dan zat narkoba.
Idealnya, kewenangan penggolongan narkoba dikembalikan kepada pada institusi penyelenggara uji zat dan prekursor narkoba(BNN atau BPOM). Selain sesuai dengan konsep “one leading agency” dalam hal Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika(P4GN), iapun lebih efektif dan efisien sebab tindak hulu(interdiksi) hingga hilir(rehabilitasi) satu komando di bawah satu institusi.
Sebagai perbandingan, di AS dan Kanada, UU Controlled Substances Act (CSA) memberi kontrol penggolongan NAPZA sepenuhnya kepada Drug Enforcement Administration(DEA), lembaga mirip BNN di tanah air, sehingga memberi dasar hukum yang jelas bagi aparat DEA dan aparat hukum lainnya dalam melakukan tindakan operasional di lapangan.
Baca juga : 26 Kawasan di Jakarta Masuk Kategori Rawan Narkoba
Kalau terdapat prekursor atau zat yang ingin ditambahkan kedalam Schedule narkoba, barulah pihak DEA membuat permintaan penyelidikan kepada Kemenkes (HHS), BPOM AS(FDA).serta National Institute on Drug Serbukse(NIDA). Rekomendasi ke 3 lembaga tersebut dirujuk balik dan menjadi dasar bagi DEA untuk menggolongkan serta menyusun aturan hukum terkait prekursor/zat yang dimaksud.
UU CSA juga memberi kewenangan “model tertutup” pada DEA yaitu pengaturan legal atas zat tergolong narkotika sejak proses impor, distribusi hingga penggunaan di seluruh fasilitas kesehatan dan laboratorium milik pemerintah federal AS(Abood,2012).
Dualitas penggolongan narkotika yang kita anut saat ini memunculkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Penyalahgunaan zat anabolic androgenic steroid(AAS) oleh para olahragawan misalnya, tak dapat dijerat hukum sebab tak tercantum dalam daftar Permenkes narkoba kita.
Baca juga : 107 Kawasan di Jakarta Masuk Kategori Waspada Peredaran Narkoba
Padahal sebuah riset yang dilakukan peneliti University of Michigan menemukan ketergantungan kronik serta gangguan kejiwaan pada sekelompok binaragawan yang diberi dosis suprafisiologis(Brower,2002). DEA sendiri mengkategorikan AAS ke dalam CSA Schedule III, dimana penyalahguna diganjar kurungan 1 tahun di penjara federal(DEA,2022).
Zat Diversi
Selain penggabungan penggolongan narkoba, perlu dipikirkan model pengklasifikasian baru guna menampung segala zat/prekursor yang belum tercantum didalamnya. Penyalahgunaan obat penahan nyeri jenis Tramadol misalnya, tak dapat dijerat hukum formal sebab tak tercantum sebagai narkoba. Padahal sebuah survei di kalangan generasi muda/produktif (15-40 tahun) menempatkan Tramadol di posisi ke 5 zat terbanyak disalahgunakan(BNN, 2021).
Di AS dan Kanada, DEA masing masing negara menempatkan Tramadol ke dalam CSA Schedule IV, hanya setingkat di bawah penyalahgunaan obat turunan morfin Ketamin(DEA, 2020).
Baca juga : 112 Kilogram Sabu Gagal Edar, 600 Ribu Jiwa Terselamatkan
Di AS, untuk menjaring penyalahgunaan zat dan obat-obatan populer yang dijual bebas di pasaran dan tak tercantum dalam CSA, DEA membentuk unit Office of Diversion Control(ODC). Lembaga yang beranggotakan sarjana-sarjana farmasi yang berjuluk Diversion Investigator(DI) tersebut memiliki kewenangan menginvestigasi zat dan obat tersebut diatas lalu menentukan apakah mereka memenuhi syarat dimasukkan kedalam pengawasan(controlled substance) atau tidak. Unit seperti inilah yang belum terbentuk pada BNN dan BPOM kita.
Zat diversi, yang didefinisikan sebagai “segala jenis zat dan bahan kimia yang dipergunakan atau dikonsumsi tidak sesuai peruntukannya, serta menimbulkan adiksi(kecanduan) bagi penggunanya”(www.deadiversion.usdoj.gov) juga membuka ruang bagi aparat hukum menjaring zat dan prekursor yang sering disalahgunakan di kalangan remaja seperti zat inhalan(ngelem).
Data Indonesia Drug Report 2022 menempatkan penyalahgunaan zat inhalan di posisi ke enam, namun hingga kini belum dapat dijerat secara hukum sebab tak tercantum dalam Permenkes Narkotika dan Psikotropika.
Seluruh saran diatas mendapat momentum tepat dengan tengah bergulirnya Revisi UU Narkotika 35/2009 di DPR saat ini.
Terkumpulnya kewenangan penanggulangan narkoba dari hulu ke hilir pada satu leading agency disertai metode penggolongan yang lebih ringkas tentunya dapat membantu upaya P4GN yang lebih terkoordinir, efektif dan efisien. (H-2)