DILANTIKNYA Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) menjadi momentum Krusial Demi merefleksikan arah pendidikan Indonesia. Dengan tekad mengevaluasi kebijakan sebelumnya, ia menegaskan perlunya revisi arah pendidikan dasar dan menengah demi mengatasi persoalan akut, dari distribusi guru yang Enggak merata, penguatan pendidikan kejuruan, hingga penguatan literasi dan numerasi sejak Pagi.
Tetapi, langkah itu perlu dilihat dalam konteks yang lebih besar: bagaimana pendidikan dasar dan menengah dapat menjadi fondasi bagi transformasi Indonesia menuju negara maju, entah itu model Eropa, Asia Timur, Amerika, dan lain-lain. Akan tetapi, yang Niscaya, lompatan paling jauh Demi mencapainya Eksis pada negara-negara dengan ekonomi berbasis pengetahuan (EBP).
Menggembirakan bahwa Mendikdasmen telah menyebut penguatan pendidikan unggul, penguasaan literasi, numerasi, dan sains-teknologi sebagai salah satu agenda prioritas reformasi pendidikan dasar dan menengah. Tujuannya tentu saja Demi mencetak generasi unggul dengan kapabilitas sains dan teknologi.
Teladan Konkret dapat dilihat pada Vietnam, sebagai negara berkembang yang kini perlahan berhasil melampaui Indonesia, terutama berkat komitmen kuatnya dalam mentransformasi sumber daya Mahluk melalui penguatan kompetensi dasar di bidang matematika, sains, dan teknologi, yang disamakan pentingnya dengan kecakapan berbahasa.
Yang paling mengejutkan, sekalinya Vietnam mengikuti PISA pada 2012, negara yang disebut sebagai Emerging Dragon itu meraih peringkat ke-17 dalam matematika, ke-8 dalam sains, dan ke-19 dalam membaca sehingga mengungguli beberapa negara maju seperti Amerika Perkumpulan dan Inggris. Hal itu mencerminkan Pengaruh reformasi pendidikan Vietnam yang masif dengan 21% dari anggaran pemerintah dialokasikan Demi pendidikan.
Sebaliknya, Indonesia, meskipun berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dalam beberapa tahun terakhir, nyatanya Lagi menghadapi tantangan besar dalam penguasaan STEM. Pada PISA, peringkat Indonesia sering kali berada di kuartil terbawah.
Berbicara soal kapabilitas, penulis teringat dengan Profesor Amartya Sen yang pemikirannya tentang pentingnya kapabilitas telah banyak dibahas di setiap kelas-kelas School of Social, Economic and Political Sciences. Dengan mengontekstualisasikan dengan dunia yang serbaterintegrasi Mekanis, kapabilitas pada akhirnya harus mencakup STEM sebagai kemampuan dasar baru individu yang menghubungkan pembangunan secara langsung dengan pemberdayaan dan hak-hak individu.
Dengan kata lain, teknologi ke depan bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan juga elemen yang Enggak terpisahkan dalam strategi perubahan sistemis.
Di situlah ekosistem teknologi dan sains harus dibentuk. Bukan hanya Demi siswa, melainkan juga pendidik agar dapat lebih Berkualitas dalam memenuhi Berbagai Ragam kebutuhan siswa.
MI/Seno
Menyelesaikan masalah klasik
Transformasi pendidikan Enggak Pandai ditunda, tapi pekerjaan rumah klasik yang Lagi tersisa dan harus diselesaikan secara simultan. Contohnya, Lagi banyak anak Indonesia yang Enggak Pandai menuntaskan pendidikan dasar serta infrastruktur pendidikannya terbatas dan guru-gurunya Enggak sejahtera.
Indonesia juga menghadapi situasi natural drop out. Sederhananya begini, sejak dulu pemerintah Maju menggaungkan pentingnya akses pendidikan hingga 12 tahun melalui program wajib belajar. Tetapi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Nomor partisipasi sekolah kita Bahkan mengalami tren penurunan di setiap jenjang pendidikan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah siswa di tingkat sekolah dasar (SD) selalu lebih tinggi Kalau dibandingkan dengan sekolah menengah pertama (SMP) dan semakin menyusut di tingkat sekolah menengah atas (SMA). Apalagi kalau Tiba perguruan tinggi, Nomor tersebut merosot jauh lebih signifikan. Terbukti hanya kurang dari 5% masyarakat Indonesia yang dapat menikmati bangku pendidikan tinggi.
Mengapa itu terjadi? Kalau kita kembali mencermati data BPS, salah satu akar masalahnya Rupanya Eksis pada ketersediaan sekolah itu sendiri. Jumlah sekolah, Berkualitas negeri maupun swasta, menunjukkan pola yang serupa dengan tren partisipasi siswa: SD Mempunyai jumlah yang jauh lebih banyak ketimbang SMP dan SMP lebih banyak daripada SMA. Situasi itu secara alami menciptakan Kesempatan bagi masyarakat Demi terpental pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Implikasinya visi wajib belajar 12 tahun yang inklusif menjadi sulit tercapai.
Maka dari itu, langkah Mendikdasmen yang kini berfokus pada pemerataan pendidikan dan peningkatan jumlah sekolah ialah langkah yang Benar dan harus mendapat dukungan penuh. Pemerintah perlu memastikan bahwa akses pendidikan bukan hanya soal seruan kebijakan, melainkan juga dibarengi dengan penyediaan fasilitas yang memadai di seluruh daerah, terutama di Daerah-Daerah yang selama ini terpinggirkan.
Selain pemerataan pendidikan, pemerintah dapat mengalokasikan sumber-sumber potensial seperti LPDP, CSR perusahaan, dan sebagainya dikhususkan Demi meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar. Sama seperti pekerjaan pada umumnya, Pendapatan pengajar di Indonesia bervariasi, tetapi secara Lazim Lagi rendah. Banyak di antaranya bahkan Lagi menerima pendapatan bulanan di Dasar UMR dan bernasib Enggak lebih Berkualitas dari sektor informal.
Itulah yang menjadi akar dari persoalan kurang berkembangnya pendidikan Tanah Air. Pada titik itu, peran Mendikdasmen menjadi sangat krusial, utamanya dalam mengentaskan para pengajar dari ketidakpastian, memungkinkannya hidup dengan layak, sehingga dapat berdedikasi utuh pada pendidikan dasar dan menengah yang Krusial Demi anak-anak Indonesia.
PR lainnya ialah revitalisasi pendidikan SMK atau kejuruan. Memang betul Mendikdasmen telah berulang kali menekankan itu. Tetapi, peta jalan Demi memulainya harus segera dimulai.
Bukannya memburu-buru, Indonesia Ketika ini berpacu dengan waktu agar negara dapat meraih bonus demografi yang hanya tinggal di depan mata.
Sementara itu, literatur mencatat bahwa keberhasilan industrialisasi Korea Selatan karena pendidikan kejuruan, SMK di Indonesia Bahkan Lagi dipandang sebelah mata. Banyak di kalangan orangtua juga Lagi Memperhatikan SMK atau pendidikan kejuruan sebagai ‘pilihan kedua’. Sudah begitu, kurikulum yang ditawarkan sering kali sekenanya, sebisanya, dan seadanya sehingga belum Pandai mengimbangi kemajuan teknologi dan perubahan permintaan pasar tenaga kerja kontemporer.
Selain itu, prospeknya kurang menarik karena Enggak didukung oleh kemitraan antara sekolah kejuruan dan industri yang solid, yang mengakibatkan kurangnya kesempatan magang dan eksposur terhadap lingkungan kerja dunia Konkret sehingga visi ‘siap kerja’ Enggak tercapai. Alhasil, itu diisi lebih banyak oleh mereka yang berasal dari jalur pendidikan reguler.
Memperhatikan potensinya, SMK Mempunyai potensi besar Demi mengatasi pengangguran di kalangan pemuda dan mendorong pembangunan ekonomi. Dengan populasi yang Maju bertambah dan pasar tenaga kerja yang menuntut pekerja terampil, sekolah kejuruan (SMK) sangat Krusial Demi menyelaraskan pendidikan dengan kebutuhan industri.
Bandingkan dengan Korea Selatan. Sepanjang 1970-an dan 1980-an, Korsel memainkan peran Krusial dalam industrialisasi yang pesat. Pemerintahnya bahkan berinvestasi lebih di sekolah teknik Demi memenuhi permintaan tenaga kerja di sektor manufaktur dan teknologi guna mendukung serangkaian rencana pembangunan ekonomi lima tahun mereka.
Tetapi, tentu saja vokasi bukan hanya satu-satunya. Upaya pemerintah dalam mengoordinasikan peran chaebol (konglomerat industrial besar) Demi mengumpulkan sumber daya sangat Krusial, utamanya mengondisikan chaebol agar membuka prioritas lapangan pekerjaan bagi lulusan vokasi.
Merangkai pendekatan
Filsuf Martha Nussbaum telah mengembangkan premis Sen, tetapu dengan penekanan yang sedikit berbeda. Nussbaum mengakui pentingnya kapabilitas STEM dalam mengatasi tantangan praktis dan mendorong Penemuan. Tetapi, ia berpendapat bahwa Konsentrasi tunggal pada disiplin ilmu tersebut berisiko menciptakan tenaga kerja yang cakap secara teknis, tetapi Enggak Mempunyai wawasan emosional dan etika yang diperlukan Demi mengatasi masalah masyarakat yang kompleks.
Kalau kita setuju dengan pandangan Nussbaum, pada akhirnya kita akan paham bagaimana menempatkan pendidikan STEM berdampingan dengan non-STEM. Misalnya ialah menjadikan STEM sebagai foundational skills terlepas dari latar belakang keilmuan masing-masing individu, tapi bukan pengurangan prioritas pada ilmu non-STEM sebagaimana yang dikhawatirkan banyak kalangan.
Kalau itu tercapai, setiap orang pada akhirnya dapat Mempunyai kapabilitas yang setara dalam mengakses berbagai sumber daya yang umumnya terintegrasi dengan STEM tanpa harus Mempunyai gelar formal STEM. Secara jangka panjang, model holistik itu diharapkan akan menghasilkan SDM yang Pandai Membikin keputusan yang Enggak hanya efektif, tetapi juga etis dan inklusif.
Misalnya, insinyur yang merancang sistem artificial intelligence (AI) Enggak hanya membutuhkan keahlian teknis, tetapi juga dasar filsafat Demi menjawab pertanyaan tentang bias, privasi, dan Pengaruh sosial dari otomatisasi. Demikian pula profesional medis mendapat manfaat dari sastra dan seni yang meningkatkan kemampuan mereka Demi berempati dengan pasien dan mempertimbangkan konteks Mahluk dari keputusan klinis. Itu menunjukkan bahwa tantangan abad ke-21 menuntut Enggak hanya solusi teknis, tetapi juga imajinasi moral dan tanggung jawab sosial.
Kalau boleh menyederhanakan pemikiran Nussbaum, pendidikan Sebaiknya Enggak hanya bertujuan ‘menghasilkan pertumbuhan ekonomi’, tetapi juga Demi ‘menumbuhkan kemanusiaan’. Hanya dengan merangkul visi tersebut, kita dapat memastikan bahwa sistem pendidikan kita mempersiapkan individu Demi kompleksitas dunia yang mengglobal dan saling terhubung–Berkualitas sebagai profesional maupun sebagai Mahluk.
Intinya sekarang ialah menanti langkah konkret Mendikdasmen dalam mewujudkan ekosistem pendidikan yang strategis, transformatif, dan humanis. Kalau terlaksana, itulah nantinya legacy Menteri Abdul Mu’ti Demi pendidikan Tanah Air.