BENAR, sesuai dengan judul di atas, Anies Baswedan tidak mengenal saya meskipun saya pernah mengontaknya via telepon dan surat saat saya menjadi koordinator tim penulis buku Jujur Bersuara-Proses Kreatif Penulisan Editorial Media Indonesia.
Naskah tersebut diterbitkan Media Indonesia Publishing saat koran Media Indonesia memperingati hari jadinya yang ke-40 di 2010. Waktu itu Anies menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina. Meskipun saya sebagai praktisi jurnalistik pernah mengajar di kampusnya selama dua tahun, saya yakin Anies juga tidak mengenal saya. Apalagi saya mengajar di universitas tersebut saat Nurcholis Madjid menjadi rektor di sana.
Waktu itu Anies sudah sangat populer. Dialah yang mencetuskan gerakan Indonesia Mengajar. Ia terlibat langsung menyelesaikan persoalan pendidikan di Indonesia. Gerakannya menginspirasi banyak orang. Pada 2014 ia juga pernah menulis buku Merajut Tenun Kebangsaan: Cerminan Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan Pendidikan.
Dilatarbelakangi Anies sebagai seorang pendidik seperti itulah, kami menganggap penting dan perlu, Anies Baswedan memberikan pengantar di buku yang saya dan kawan-kawan susun.
Saya pun mengontak Anies via telepon. Tanpa basa basi, ia bersedia. Surat resmi permohonan untuk memberikan pengantar, kami layangkan. Anies sangat responsif. Kurang dari sepekan, ia sudah mengirimkan naskah pengantar untuk buku yang akan kami terbitkan. ‘Boleh juga nih Anies,’ pikir saya.
Sebagai ucapan terima kasih, kami tidak memberikan imbalan uang kepadanya, tapi lukisan karikatif wajahnya. Saya yakin lukisan itu pasti disimpan atau dipajang di rumahnya.
Di 2014 saat pilpres, saya dan kawan-kawan bareng bersamanya di markas pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, di Jl Cemara 19 Menteng, Jakarta Pusat. Waktu itu rumah di sini digunakan sebagai Media Center Jokowi-JK.
Kembali-lagi Anies saya jamin tidak mengenal saya, sebab posisi saya hanya sebagai ‘orang pinggiran’. Ke markas tersebut, Anies hanya sesekali saja singgah saat ada urusan penting sebagai juru bicara Jokowi-JK. Atau ketika kami kontak untuk keperluan pembuatan siaran pers manakala ada isu penting pendidikan.
Begitu berada di markas Media Center Jokowi-JK, kalau tidak ditanya, dia lebih banyak diam. Bicara seperlunya. Dia bukan tipe orang yang hahaha, hehehe. Santun.
Tempat yang salah
Oleh sebab itu saya sungguh terheran-heran ketika ia dipercaya untuk mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta pada 2017. Saya menyimpulkan Anies bukan seperti Anies yang saya kenal meskipun ia tidak mengenal saya.
Menurut saya, saat Anies bernafsu menjadi DKI-1, ia kejeblos ke tempat yang salah. Orang baik ini dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani Anies.
Tagline ‘merajut tenun kebangsaan’ yang dikumandangkannya seolah tiada lagi berarti. Saya pernah menulis, Anies salah masuk kamar saat maju sebagai gubernur Jakarta. Iba, meskipun ia mungkin menikmatinya.
Jenisnya nasib baik terus menghampirinya. Tak ingin pilkada DKI tercopy-paste dalam Pilpres 2024, Partai NasDem- Anies salah seorang deklarator organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat- merangkul, bahkan memeluk Anies sebagai bakal calon presiden untuk hajatan Pilpres 2024. Sebuah kepercayaan yang luar biasa.
Tak cuma merangkul Anies, NasDem juga merangkul Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada 2017 ikut mengantarkan Anies menjadi gubernur DKI Jakarta.
Belakangan, guna menjadikan Anies (maaf) kembali ke jalan yang benar, Partai NasDem juga merangkul Muhaimin Iskandar (Partai Kebangkitan Bangsa) untuk mendampingi Anies sebagai bakal calon wakil presiden.
Sejak Partai NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden dan ditambah Cak Imin- panggilan akrab Muhaimin Iskandar- sebagai bakal calon wakil presiden, tanpa disadari kubu kampret dan cebong, juga politik identitas, tidak mengemuka dalam Pilpres 2024. Anda merasakan, kan?
Disayangkan, antarpartai nasionalis justru yang saling berseteru. Kita harapkan ini tidak berlangsung lama. Semoga setelah pendaftaran capres/cawapres, semuanya menyambut Pilkada Serentak 2024 dengan riang gembira.
Kembali ke soal Anies yang tidak mengenal saya. Kemarin saya mencoba membuka-buka kembali buku Jujur Bersuara-Proses Kreatif Penulisan Editorial Media Indonesia yang kami susun. Saya penasaran apa yang Anies tulis di pengantar buku tersebut?
Mengomentari karakter Editorial Media Indonesia, Anies menulis, “Satu hal yang harus diingat adalah bahwa kebiasaan kita untuk menutupi keinginan dengan bahasa halus dan berputar-putar tidak menafikan bahwa masyarakat kita memiliki keinginan, kegelisahan-kegelisahan, protes-protes, dan bahkan kemarahan-kemarahan.
Editorial Media Indonesia, masih menurut Anies, sudah mengingatkan dengan lugas. “Kini giliran seluruh komponen bangsa memanfaatkan kelugasan itu untuk terbuka, untuk sadar dan untuk mau menjalankan solusi-solusi objektif bagi kemajuan bangsa Indonesia,” tulisnya.
Waktu demi waktu terus menorehkan jejak dan sejarah. Hari ini, Kamis 19 Oktober 2023, Anies, orang baik yang pernah salah kamar itu, bersama dengan Cak Imin didaftarkan oleh Partai NasDem, PKS, dan PKB, masing-masing sebagai calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024.
Tetap dalam buku yang kami susun, Anies terkesan dan mengutip Editorial Media Indonesia tertanggal 1 Juli 2007 yang berjudul Jangan Biarkan Indonesia Maju Meluruh.
Demikian kutipannya: “Bangsa ini harus diingatkan, tanpa kecintaan dan komitmen kebangsaan yang kuat, negeri ini suatu saat bisa tinggal nama …”
Halo Anies, kelak jika Anda terpilih menjadi presiden, kecintaan dan komitmen kebangsaan Anda tetap kuat, kan? Jangan sampai gara-gara kepemimpinan Anda kelak, negeri ini cuma tinggal nama. Selamat berjuang dan berkontestasi demi negeri tercinta, Indonesia.