Mengembangkan Masyarakat Handal Covid-19

Mengembangkan Masyarakat Tangguh Covid-19
Siswanto Analis Kebijakan Spesialis Penting, Mantan Kepala Badan Litbangkes Kemenkes RI(Dok.Kemenkes)

DENGAN adanya pandemi covid-19, kita banyak melihat perumahan dan kampung yang dipasangi portal. Juga sering ada tulisan ‘Area Memakai Masker’. Di pintu masuk gang juga sering tersedia sarana cuci tangan. Upaya-upaya berbasis inisiatif masyarakat ini tentu sangat bagus dan patut diapresiasi sebagai upaya pencegahan penularan covid-19.

Berkali-kali, diutarakan oleh ketua gugus tugas dan juga para pakar epidemiologi di berbagai kesempatan, bahwa strategi terdepan perang melawan pandemi covid-19 ialah masyarakat dan keluarga.

Secara epidemiologis pendekatan ini sangat tepat. Karena, pada dasarnya virus korona berkembang biak di tubuh manusia sebagai host yang berada di tengah-tengah masyarakat. Jadi, manusianya sendiri yang harus berupaya memutus rantai penularan. Penularan dari satu manusia ke manusia lainnya haruslah terhenti dan terputus.

Secara prinsip terpadat tiga pilar utama dalam penanggulangan pandemi covid-19. Pilar pertama ialah pencegahan penularan di tingkat komunitas. Pilar kedua, implementasi surveilans yang terstruktur dan sistematis. Pilar ketiga ialah penguatan pelayanan kesehatan untuk perawatan penderita covid-19. Tentu ada pilar lainnya, yakni vaksinasi, untuk memperoleh kekebalan spesifik. Vaksin yang efektif dan aman sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia, termasuk dunia.

Dalam pilar pencegahan penularan di tingkat komunitas, kita sudah sepakat menggunakan pendekatan protokol kesehatan 3M. Protokol 3M tersebut mencakup memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Ini juga sudah sesuai dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait dengan pencegahan penularan covid-19 di tingkat komunitas.

Belakangan, Kepala BNPB meluncurkan slogan Terjamin, Iman, Imun. Terjamin, bahwa masyarakat harus menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak). Iman, bahwa masyarakat harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME dengan berdoa dan bersabar. Imun, bahwa masyarakat harus menjaga daya tahan tubuh, misalnya makan seimbang, olahraga teratur, kurangi stres, dan istirahat cukup.

Pilar surveilans pada dasarnya ialah penguatan 3T, yakni test, trace, dan treat. Atau, ungkapan mudahnya tes, lacak, isolasi (TLI). Dalam prinsip surveilans, pelaksanaan tes harus menyasar kelompok sasaran yang tepat, yakni orang kontak erat dengan pasien terkonfirmasi dan juga orang yang menunjukkan gejala.

Sebagaimana diketahui, gejala utama covid-19 ialah demam, batuk, sesak napas. Yang harus diperhatikan tidak hanya meningkatkan proporsi tes terhadap jumlah penduduk, tapi juga ketepatan sasaran yang dites menjadi penting, yakni orang kontak erat dan orang dengan gejala.

Panduan WHO mengatakan setidak-tidaknya 80% kasus yang terkonfirmasi positif harus mempunyai peta epi-link dari siapa dia tertular, dan atau kepada siapa dia telah menularkan. Tentu, dari hasil tes yang menunjukkan positif harus diisolasi supaya tidak menular kepada orang lain. Bisa isolasi mandiri bila tidak bergejala. Akan tetapi, harus diisolasi/dirawat di rumah sakit untuk yang bergejala.

Cek Artikel:  Benci Asing

Secara prinsip, yang positif diperbolehkan interaksi dengan orang lain lagi setelah tidak ada potensi menularkan virus. Bisa dinilai dari uji swab dengan hasil negatif atau setelah lewat masa inkubasi (lewat 14 hari).

Pilar penguatan pelayanan rumah sakit menjadi penting untuk perawatan yang terkonfirmasi positif, khususnya yang secara klinis memerlukan perawatan. Ibarat perang, tentu pilar ini dapat dikatakan sebagai garda belakang.

Garda depan adalah ketangguhan masyarakat dalam menerapkan 3M, sementara pilar surveilans adalah divisi intelijen/telik sandi. Bila garda depan dan telik sandi mengalami kegagalan/kerapuhan, lawan akan mampu menerobos mengenai sasaran (banyak orang tertular dan akhirnya positif).

Memperhatikan uraian sederhana tadi, maka penguatan garda depan, yakni membangun masyarakat tangguh covid-19, merupakan strategi jitu penanggulangan covid-19. Pertanyaannya, bagaimana membangun masyarakat tangguh covid-19 yang terstruktur, sistematis, dan efektif?

 

Masyarakat tangguh covid-19

Sudah sering kali disampaikan di berbagai media bahwa dengan adanya pandemi covid-19 masyarakat dituntut melakukan adaptasi kebiasaan baru (ABK). Sudah banyak survei dilakukan terhadap perilaku masyarakat terkait ABK, yakni perilaku 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak).

Secara umum, hasil temuan survei menunjukkan masih ada gap (kesenjangan) antara yang diharapkan dan kenyataan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, berbagai survei juga menunjukkan adanya gap antara pengetahuan dan perilaku masyarakat.

Masyarakat tahu dan paham bahwa 3M mampu mencegah penularan covid-19, tapi tidak konsisten untuk berperilaku 3M. Survei BPS pada awal September 2020 menggali pandangan masyarakat terhadap efektivitas penerapan protokol kesehatan untuk pencegahan penularan covid-19.

Hasilnya, untuk masker 94,5% warga menyatakan efektif, untuk hand sanitizer 89,4% warga menyatakan efektif, untuk cuci tangan dengan sabun 93,3% warga menyatakan efektif, untuk tidak berjabat tangan 94,2% warga menyatakan efektif, dan untuk jaga jarak 92,6% warga menyatakan efektif.

Meski demikian, bila ditanyakan tentang perilakunya, 94,8% warga selalu menggunakan masker, 83,6% menggunakan hand sanitizer, 80,1% mencuci tangan dengan sabun, 87,2% menghindari jabat tangan, dan 77,5% menjaga jarak. Data ini menunjukkan masih ada gap antara pemahaman dan perilaku.

Dalam cara pandang antropologi, adaptasi kebiasaan baru (ABK) adalah perubahan dari ‘budaya lama’ menuju ‘budaya baru’, yakni budaya ‘nonpandemi’ menjadi ‘budaya pandemi’. Secara perilaku adalah budaya masker, budaya hand sanitizer, budaya cuci tangan, budaya tidak jabat tangan, dan budaya jaga jarak. Secara antropologis, budaya-budaya ini harus menjadi nilai baru, norma baru, dan keyakinan baru, yang terejawantahkan ke dalam berperilaku sehari-hari.

Dengan mengambil pandangan Giddens tentang ‘strukturasi’ sosial, mengubah budaya masyarakat di era pandemi covid-19, prinsipnya adalah mengubah ‘struktur masyarakat nonpandemi’ menjadi ‘struktur masyarakat pandemi’.

Pada struktur masyarakat baru, yakni struktur masyarakat pandemi, harus terjadi perubahan dalam norma, nilai, keyakinan, dan legitimasi, yang terejawantahkan dalam pola interpretasi makna, pola komunikasi, pola interaksi, dan pola penerapan sanksi yang baru, sesuai dengan budaya pandemi covid-19.

Cek Artikel:  Optimisme Publik Menatap Indonesia 2021

Pola interaksi baru ini harus mengendap dan terlembagakan dalam hati sanubari masyarakat untuk menjadi budaya baru. Setelah menjadi budaya baru, maka setiap anggota masyarakat akan menjaga model tatanan baru tersebut, tanpa paksaan, bahkan akan tumbuh sistem sanksi oleh kelompok masyarakat sendiri.

Dari berbagai studi, modal sosial (social capital) yang kuat dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Ini bisa dipergunakan sebagai pintu masuk untuk membangun budaya baru pandemi covid-19. Tiga komponen utama dalam modal sosial ialah kepercayaan, norma, dan jaringan. Pada masyarakat Indonesia, banyak terdapat kelompok masyarakat, seperti karang taruna, dasa wisma, rukun tetangga, kelompok pengajian, kelompok arisan, kelompok sepeda ontel, pramuka, pesantren, kantor, pabrik, dan sebagainya yang mempunyai modal sosial yang kuat.

Di sisi lain, juga terdapat kelompok sosial temporer, seperti pasar, tempat wisata, supermarket, pelabuhan, bandara, dan seterusnya. Meski modal sosialnya tidak sekuat dari kelompok yang pertama, tetapi juga bisa, dan harus dipergunakan sebagai pembudayaaan tatanan baru.

Demi memudahkan, kesemuanya kita sebut saja sebagai unit tatatan masyarakat (UTM). UTM inilah sebagai unit-unit kelompok masyarakat yang harus diubah tatanannya menjadi tatanan budaya baru, yakni tatanan pandemi covid-19.

 

UTM tangguh covid-19

Banyak provinsi di Indonesia sudah mengembangkan masyarakat tangguh covid-19 melalui pendekatan desa/kelurahan/RW/RT tangguh covid-19. Sebut saja, Provinsi Jawa Tengah telah mengembangkan program Jogo Tonggo. Di beberapa provinsi lain juga sudah, dan sedang dikembangkan desa/kelurahan tangguh covid-19 guna pembudayaan perilaku 3M dan penguatan TLI (tes, lacak, isolasi).

Dalam perspektif sosiologis, peluang untuk membangun masyarakat tangguh covid-19 tentu tidak hanya melalui UTM kepemerintahan (desa/kelurahan/RW/RT). Tetapi, harus diperluas kepada setiap UTM yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam analisis ini, UTM adalah merujuk pada adanya suatu sistem yang mengatur perilaku pada setiap entitas unit tatanan masyarakat.

Demi memudahkan bahasan, kita dapat membagi UTM ini menjadi dua jenis, yakni UTM langgeng dan UTS temporer. UTM langgeng adalah UTM yang struktur dan keanggotaannya relatif stabil dan jelas sepanjang waktu. Sebut saja, RT, RW, kelompok pengajian, kelompok arisan, kelompok hobi, kantor, sekolah, pabrik, dan sejenisnya.

Sementara itu, UTM temporer adalah UTM yang struktur dan keanggotaannya tidak langgeng, dinamis, dan berubah setiap saat. Sebut saja pasar, mal, gedung bioskop, tempat wisata, bandara, dan sejenisnya. Dalam membangun masyarakat tangguh covid-19, maka baik UTM yang langgeng maupun yang temporer, keduanya harus diberi tanggung jawab dalam membangun masyarakat tangguh covid-19.

Secara metodologis, kita bisa melakukan pendekatan 4S, yakni membangun struktur, membangun sistem, mengembangkan staff, dan mengembangkan stuff (sarana dan instrumen). Taatp entitas UTM ini harus mempunyai struktur penanggung jawab penanggulangan covid-19 (unsur pimpinan/tokoh dalam entitas kelompok sosial), mempunyai metode untuk deteksi covid-19 kepada anggota entitas kelompoknya, dan melaporkannya pada sistem surveilans yang ada (puskesmas). Selanjutnya, mempunyai personel/anggota kelompok yang peduli pada pencegahan dan deteksi covid-19, dan akhirnya mempunyai sarana untuk pencegahan dan deteksi covid-19 (alat thermogun, penyediaan masker, hand sanitizer).

Cek Artikel:  Memuliakan Hak Prerogatif Presiden

Dari pengamatan fakta lapangan, UTM formal seperti sekolah, kantor, pabrik, dan sejenisnya sudah mempunyai sistem yang baik terkait upaya pencegahan dan deteksi (protokol 3M dan skrining suhu). Tetapi, juga perlu dibangun sistem rujukannya kepada unit surveilans yang ada (puskesmas) agar seandainya diketemukan gejala (panas >37,3 derajat celsius dan/atau gejala lainnya) bisa ditindaklanjuti oleh sistem surveilans untuk dikonfirmasi lebih lanjut. Termasuk penguatan penyediaan logistik untuk pencegahan penularan (masker, hand sanitizer).

UTM lain yang juga perlu diperkuat sistem rujukannya dengan sistem survailans ialah UTM temporer terstruktur, seperti pasar, mal, tempat wisata, dan sejenisnya yang juga sudah mempraktikkan deteksi suhu.

Selanjutnya, untuk UTM nonformal, seperti kelompok arisan, kelompok pengajian, kelompok sepeda ontel, dan kelompok-kelompok informal lainnya, perlu juga didayagunakan sebagai UTM tangguh covid-19. Demi itu, perlu dilengkapi dengan tokoh/pimpinan yang bertanggung jawab, cara pencegahan dan deteksi, serta kelengkapan sarana dan prasarana (thermo gun, masker, hand sanitizer).

Membangun budaya baru, yakni budaya pencegahan pandemi covid-19, melalui entitas UTM ini akan berhasil apabila didukung oleh empat faktor pendukung. Pertama, harus menjadi gerakan masyarakat yang terstruktur dan sistematis. Kedua, harus mendapat dukungan baik secara kebijakan, pengembangan sistem, dan dukungan logistik (sarana pencegahan penularan covid-19 dan instrumen).

Ketiga, terbangunnya sistem pelaporan surveilans yang mudah dari penanggung jawab UTM kepada sistem survailans di fasyankes (puskesmas). Misalnya, melalui sistem aplikasi gadget (yang sederhana).

Keempat, menghilangkan stigmatisasi oleh masyarakat terhadap orang yang terkonfirmasi positif covid-19. Stigmatisasi oleh masyarakat terhadap orang yang terkonfirmasi positif covid-19 akan menghambat proses penemuan kasus (deteksi) secara transparan.

Oleh karena itu, perlu edukasi terus-menerus kepada masyarakat untuk menghilangkan stigmatisasi.

Dari uraian dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa sambil menunggu vaksin yang efektif dan aman, maka membangun masyarakat yang tangguh covid-19 melalui setiap entitas UTM adalah suatu inovasi pemberdayaan masyarakat yang mampu menurunkan indikator epidemiologi, seperti angka kesakitan, angka kematian, dan tingkat penularan (Rt).

Dengan menurunnya tingkat penularan di komunitas, maka diharapkan jumlah kasus terkonfirmasi positif akan melandai dan menurun secara bertahap. Pada ujungnya, pandemi covid-19 akan lebih terkendali. Semoga.

Mungkin Anda Menyukai