Mengembalikan Daya Melawan Korupsi

DI tengah krisis kewibawaan yang akut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) periode 2023 mengungkapkan risiko korupsi di sektor pemerintahan masih sangat tinggi. Sebanyak 197 lembaga publik di level pusat dan daerah masuk kategori sangat rentan, 221 lembaga masuk kategori rentan, 129 masuk kategori waspada, dan 82 lembaga dalam kategori waspada.

Dengan total dari 629 lembaga publik yang disurvei dan hanya 82 yang masuk kategori terjaga, berarti hanya 13% lembaga yang masuk kategori berintegritas. Hal itu kemudian ditambah pada periode tersebut KPK menetapkan 9 orang kepala kementerian dan daerah sebagai tersangka, termasuk 2 orang menteri atau wakil menteri, 1 orang gubernur, 5 orang bupati atau wali kota, dan 1 kepala lembaga.

Jikapun demikian, hingga saat ini, KPK belum mau mengungkapkan detail hasil SPI 2023 tersebut termasuk perbandingan dengan tahun sebelumnya. Tetapi, sebagai gambaran, berdasarkan data yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebanyak 36,81% dana Proyek Strategis Nasional (PSN) lari ke kantor aparat sipil negara (ASN).

Cek Artikel:  Berkurban untuk Berkorban

Secara kasatmata, apa yang diungkapkan KPK terhadap perilaku korup lembaga publik di negara kita tidak berbeda dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat saat ini. Jikapun publik menyaksikan banyaknya poster zona antikorupsi di gedung lembaga pemerintahan, korupsi sepertinya menjadi bagian melekat dari birokrasi yang sulit diberantas.

Apalagi kemudian salah satu menteri senior di Kabinet Indonesia Maju (KIM) sempat mengeluarkan pernyataan yang mengecam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK yang justru terkesan membiarkan praktik korup yang dilakukan aparat birokrasi. Hal itu semakin menunjukkan bahwa korupsi yang berdampak pada rendahnya kualitas layanan publik dan merugikan masyarakat semakin sulit ditangani.

Yang semakin membuat miris, pola pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK selama beberapa tahun belakangan ini seperti jalan di tempat atau bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran. Ungkapan KPK bahwa lembaga ini mengutamakan pencegahan ketimbang penindakan ternyata tidak mengurangi hasrat para koruptor untuk melakukan tindakan tercela tersebut.

Cek Artikel:  Spirit Damai Perayaan Natal

Apalagi belakangan, KPK mendapat sorotan publik karena cenderung melakukan tebang pilih dalam penindakan kasus korupsi di Tanah Air. Belum lagi kemudian muncul berbagai tuduhan pelanggaran pidana dan etika yang terjadi di KPK yang menimpa pegawai dan pimpinannya, yang kian meruntuhkan kepercayaan publik.

Kondisi itu semakin diperparah ketika Presiden Joko Widodo menyetujui revisi Undang-Undang KPK yang membuat lembaga ini berada di bawah kekuasaan presiden. Akibatnya, masyarakat sipil dan aktivis antirasuah seperti semakin kehilangan harapan melihat situasi pemberantasan korupsi di negeri ini.

Karena itu, ketika capres Anies Baswedan dan capres Ganjar Pranowo menyebutkan bakal mengembalikan muruah lembaga antirasuah itu dengan membuatnya kembali menjadi independen, publik masih mempunyai harapan baru. Apalagi selama beberapa waktu belakangan, publik menyaksikan perilaku pimpinan KPK seperti menjadi alat politik untuk menggebuk lawan politik penguasa.

Cek Artikel:  Ujian Baru Muruah MK

Dengan membuat KPK lebih independen, lembaga ini tentu bisa lebih bebas untuk menindak siapa pun tersangka koruptor tanpa pandang bulu. Termasuk, tanpa harus berpikir panjang apakah yang mesti ditekuk itu elite penguasa maupun kawan atau saudaranya.

Publik tentu ingin KPK kembali bertaji dan menjadi lembaga yang ditakuti seluruh koruptor maupun calon koruptor yang ada di Republik ini. Termasuk para birokrat korup yang saat ini berkeliaran di lembaga publik yang disurvei KPK tersebut. KPK memang berhak menyebut hanya 13% lembaga pemerintah yang andal dari godaan korupsi. Akan tetapi, jangan-jangan KPK tidak termasuk di dalamnya.

Mungkin Anda Menyukai