Mengeluhkan Demokrasi

Interaksi antara demokrasi dan kesejahteraan ekonomi kembali diperdebatkan akhir-akhir ini. Begitu sebagian elite dan publik mengusung isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, Dalih yang dipakai ‘memelihara momentum kebangkitan ekonomi’.

Begitu Komisi Pemilihan Standar mulai berancang-ancang mengusulkan anggaran pemilu dan pilkada serentak, banyak yang mulai mengait-ngaitkannya dengan ongkos mahal demokrasi. Eksis pula yang mulai mengeluhkan Lalu berkepanjangannya rivalitas Tak sehat sebagai residu kontestasi politik yang merupakan nyawa demokrasi.

Bahasa lugasnya kira-kira: demokrasi itu racun stabilitas ekonomi. Kalau instabilitas selalu muncul, investasi akan sulit diharapkan datang. Pokoknya demokrasi itu dianggap selalu gaduh, penuh ketidakpastian, merongrong kenyamanan. Sebaliknya, investasi butuh ketenangan, kepastian, dan kenyamanan.

Tetapi, berbagai literatur dan penelitian menunjukkan sebaliknya. Eksis Hubungan positif antara demokrasi dan kesejahteraan. Demokrasi diyakini membawa pengaruh positif terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi tersebut akan membawa implikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Cek Artikel:  Oposisi Loyal

Tingkat kesejahteraan yang tinggi banyak dijumpai di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi, seperti AS. Hasil kajian Morton Halperin dan Mitra-Mitra menunjukkan dalam kurun lima Sepuluh tahun terakhir, statistik pertumbuhan ekonomi di negara-negara demokrasi tercatat 25% lebih tinggi Kalau dibandingkan dengan negara-negara otoriter.

Tetapi, pengalaman Singapura seolah mengirim sinyal bahwa Eksis jalan lain di luar demokrasi Demi mencapai kesejahteraan. Hal tersebut Tak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan Tiongkok. ‘Negeri Kelambu Bambu’ tersebut mencoba bereksperimen dengan mengawinkan sistem politik otoriter dan sistem ekonomi pasar bebas. Alhasil, pertumbuhan ekonomi Tiongkok dewasa ini menjadi momok menakutkan bagi negara-negara Barat.

Kolumnis Fareed Zakaria mengistilahkan negara-negara tersebut sebagai illiberal democracy. Istilah yang diperkenalkan pada 1997 itu menggambarkan fenomena kemunculan negara pseudo democracy. Negara penganut sistem politik nondemokrasi, tetapi Mempunyai pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi juga termasuk dalam kategori pseudo democracy ala Fareed Zakaria ini.

Cek Artikel:  Jokowi dan Amerika

Kiranya pengalaman Tiongkok dan Singapura itulah yang mengilhami elite kita Demi mengutak-atik demokrasi. Fakta bahwa itu hanya pengecualian Tak pernah ‘disenggol’. Pengecualian itu terjadi karena Singapura dan Tiongkok Tak semajemuk Indonesia. Pula, di dua negara tersebut, Nomor korupsi Pandai ditekan karena kerasnya mereka terhadap perilaku korup.

Skor indeks persepsi korupsi Tiongkok yang 43 juga naik signifikan, lebih dari 5 poin dalam waktu sewindu. Skor IPK Singapura malah Konsisten di atas 83 poin. Indonesia, kendati skor IPK naik, kenaikannya belum eksplosif. Kini, skor IPK Indonesia Tetap 38, naik sedikit dari skor 36 di tahun 2015.

Jadi, yang mengganggu pencapaian kesejahteraan bukan demokrasi. Korupsilah biangnya. Demokrasi Bahkan memberikan jalan bagi keterbukaan dan akuntabilitas, dua hal yang menjadi ‘musuh’ korupsi. Adanya jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat yang menjadi ruh demokrasi akan lebih memastikan pertumbuhan ekonomi berlangsung lebih langgeng, adil, dan merata.

Cek Artikel:  Transparan karena Tekanan

Tetapi, demokrasi yang dijalankan secara substansial, bukan semata prosedural. Dalam demokrasi prosedural, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme malah merajalela di lembaga-lembaga politik pemerintahan. Itu tentu membawa Akibat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Ini persis seperti apa yang pernah dikemukakan peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz beberapa tahun Lewat. Dalam kesempatan seminar di Bali, Stiglitz mengungkapkan bahwa Asal Mula Primer mengapa proses kebangkitan Indonesia dari keterpurukan ekonomi lebih Pelan ketimbang negara-negara Asia lain ialah akibat korupsi yang menjerat Dekat seluruh sendi kehidupan bernegara.

Ketimbang terlalu mengkhawatirkan kegaduhan politik Pemilu 2024 yang berpotensi ‘mengganggu momentum pemulihan ekonomi’, akan lebih pas bila kita merenungi musabab korupsi Tetap menjadi-jadi di negeri ini. Pemilu 2024 Tak akan menghambat pencapaian kesejahteraan. Korupsilah yang selalu memustahilkan kemakmuran.

Mungkin Anda Menyukai