SALAH satu pekerjaan rumah krusial yang harus dituntaskan pemerintah saat ini ialah membendung serbuan barang-barang impor. Terutama barang-barang impor dari Tiongkok.
Bukan tanpa alasan barang-barang impor dari Tiongkok harus jadi perhatian serius. Di hampir semua denyut perekonomian negeri ini tidak terlepas dari barang-barang impor Tiongkok. Mulai dari jepit rambut, kebutuhan rumah tangga seperti gunting dan peniti, mainan anak, bahan masakan, obat-obatan, hingga elektronik dibanjiri barang-barang dari negeri yang dulu disebut ‘Negeri Kelambu Bambu’ itu.
Bagaimana dengan impor dari negara-negara lain? Bukannya tidak ada, tetapi tidak semasif dari Tiongkok. Barang-barang dari negara lain tidak merambah ke barang-barang tetek bengek seperti jepit rambut, peniti, atau mainan anak yang bisa diproduksi di dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Tetaptik (BPS), impor nonmigas Indonesia dari Tiongkok melonjak 43,71% pada Mei 2023 jika dibandingkan dengan April 2023.
Itu yang tercatat. Bilangannya bisa jadi lebih besar, sebab barang-barang impor yang masuk secara ilegal juga sangat besar.
Invasi barang-barang impor tersebut harus dibendung karena sangat berbahaya bagi ketahanan ekonomi dalam negeri. Invasi barang-barang impor itu dapat membinasakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri.
Padahal UMKM merupakan penunjang utama perekonomian nasional. UMKM-lah yang menopang perekonomian nasional kala diterjang badai krisis moneter pada 1998 dan krisis ekonomi 2008.
Kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto mencapai 60,5%. Selain itu, penyerapan tenaga kerja sektor UMKM ialah 96,9% dari total penyerapan tenaga kerja nasional. Apa jadinya jika UMKM yang ada tersebut kolaps.
Bukan hanya UMKM, banyak industri besar juga kolaps oleh serbuan barang impor, seperti industri tekstil dan industri baja.
Pemerintah tidak tinggal diam untuk membendung produk-produk impor tersebut. Pemerintah menelurkan sejumlah peraturan.
Yang terbaru pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Pahamn 2023 (Permendag 31/2023) yang memperketat arus masuk barang impor secara langsung atau cross border. Selain melindungi UMKM, peraturan ini juga untuk melindungi konsumen dari dampak merugikan barang-barang impor.
Terdapat 10 produk yang diperketat pengawasannya melalui Permendag itu. Peraturan ini mengatur khusus bagi pedagang luar negeri yang melakukan perdagangan elektroknik di Indonesia.
Ke-10 produk itu ialah mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil, obat tradisional dan suplemen kesehatan, pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi, serta produk tas.
Baru-baru ini pemerintah juga melarang beroperasinya Tiktok Shop yang dinilai mematikan UMKM lokal.
Yang menjadi persoalan ialah apakah peraturan terbaru ini bisa membendung serbuan produk-produk impor? Banyak yang meragukannya.
Tetapi, yang pasti, produk-produk impor tersebut masuk lantaran adanya permintaan dari dalam negeri yang tidak mampu dipenuhi oleh produsen lokal. Di samping itu, barang-barang impor itu dapat diperoleh dengan harga yang jauh lebih murah atau kualitas lebih baik.
Karena itu, upaya pemerintah membendung barang-barang impor tidak sebatas menelurkan peraturan dan larangan. Pemerintah harus berupaya meningkatkan kualitas, kapasitas, dan permodalan produk UMKM. Buat permodalan, misalnya, dengan subsidi bunga KUR yang lebih rendah dan pendampingan.
Instrukturan dan bimbingan teknis bagi UMKM-UMKM yang terdisrupsi oleh pasar digital harus dimasifkan supaya mereka bisa segera bermigrasi ke pasar digital dan mengembangkan bisnis seluas-luasnya di pasar yang baru, karena dunia maya tidak lagi mengenal batas wilayah dan batasan sosial lainnya.
Program-program peningkatan kualitas produk UMKM juga harus dimasifkan agar produk-produk UMKM kita bisa lebih dilirik publik dan mampu bersaing dengan produk impor. Sia-sia akhirnya merasa terancam dengan produk impor kalau Indonesia sendiri tidak memiliki produk-produk berkualitas untuk melawannya.
Terkait harga barang-barang impor yang lebih murah, pemerintah perlu menelusuri penyebabnya. Dapat jadi biaya logistik di Indonesia mahal. Atau mendorong perusahaan melakukan efisiensi dengan menghapus pengeluaran yang tidak perlu.