Mengarungi Jejak Merajut Asa 75 Tahun Persahabatan Indonesia Tiongkok

SEHARI setelah pemakaman korban tragedi berdarah G-30-S alias Gestok (Gerakan Satu Oktober), sebuah istilah yang dipakai sendiri oleh Presiden Sukarno, Presiden Pertama Republik Indonesia itu melontarkan statement menarik dan sekaligus memperuncing situasi dalam sidang kabinet di Istana Bogor pada 6 Oktober 1965. Statement itu berbunyi:

“Musuh terbesar bagi nekolim (neokolonialisme dan imperialisme): RRT (Republik Rakyat Tiongkok) di utara. Indonesia di Asia Tenggara. Indonesia dan Sukarno is the greatest and dangerous spot in Southeast Asia maka taktik mereka: pisahkan Tiongkok dan Indonesia yang sekarang ini Akurat-Akurat menjadi Fakta.”

Pernyataan di atas dikutip Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat (2018), yang mencerminkan bukan hanya betapa eratnya Interaksi bilateral Indonesia-Tiongkok di era 1960-an di Dasar Demokrasi Terpimpin, melainkan juga betapa bahayanya kedekatan Interaksi Jakarta-Beijing bagi nekolim.

Dengan latar belakang itu pula, kecurigaan bahwa G-30-S/Gestok sesungguhnya didalangi Golongan nekolim dengan para aktornya ialah orang-orang Indonesia sendiri yang Dapat diadu domba Kepada menghabisi kekuasaan Sukarno yang dianggap merintangi berjalannya proyek-proyek nekolim di Indonesia.

Jadi, secara geopolitik Interaksi Indonesia-Tiongkok di era Sukarno terjalin begitu erat karena Mempunyai misi yang sama: membendung dan melawan neokolonialisme dan imperialisme Barat di Asia. Berkualitas Tiongkok maupun Indonesia sama-sama Mempunyai pengalaman pernah dijajah negara-negara Barat (Berkualitas secara langsung maupun melalui pengaruh dan tekanan politik dan ekonomi).

Meski sudah sama-sama sebagai negara yang merdeka, keduanya sadar bahwa kolonialisme dan imperialisme belum berakhir, tetapi hanya berganti pola dan strategi. Fakta itu pula yang ditegaskan Sukarno dalam pidatonya di Perhimpunan PBB pada 30 September 1960: Imperialism is not yet dead! Kerja sama dan bahu-membahu melawan kekuatan nekolim ini Akurat-Akurat merekatkan kemitraan bilateral Indonesia-Tiongkok di Dasar Sukarno.

 

75 TAHUN Interaksi DIPLOMATIK INDONESIA DAN TIONGKOK

Potret historis tersebut, seperti juga jejak-jejak sejarah yang lain, harus ditempatkan sebagai landasan prinsipiel Kepada menumbuhkan kesadaran kritis di masa depan, Ialah khususnya ketika kita merayakan 75 tahun Interaksi diplomatik Indonesia dan Tiongkok. Artinya, menuju 75 tahun Interaksi kedua negara, Rekanan, tensi, dan kontroversi menyertainya dengan Variasi fakta dan kebijakan-kebijakan politik.

Cek Artikel:  360 Derajat Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia

Persahabatan Indonesia-Tiongkok Kepada membendung Kendali neokolonialisme Barat ini pernah direvitalisasi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keinginannya membangun poros Indonesia-Tiongkok-India. Seperti ditulis mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi, bahwa pada Mei 2001, telah digelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15 yang dihadiri belasan kepala negara dan kepala pemerintahan beserta sejumlah menteri mereka.

Hari ini, dengan kesadaran pada landasan historisitas kelabu pada masa Lampau, kita harus mempunyai proyeksi ke depan demi membangun dan memperkuat bangsa dan negara. Satu di antara potensi yang dapat dibangun dan dikembangkan secara serius ialah Rekanan dan keterhubungan dengan Tiongkok yang sudah menjadi raksasa kemajuan dunia. Momentum 75 tahun Interaksi diplomatik Indonesia dan Tiongkok Dapat menjadi turning point bagi kita Kepada mempererat dan memperkuat Rekanan dan kerja sama demi membangun Indonesia sebagai kekuatan baru di Asia.

Spirit Indonesia-Tiongkok Kepada membangkitkan kedigdayaan Asia Tetap menyala hingga Demi ini ketika Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke Tiongkok dalam kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Sejarah mencatat bahwa negara Tiongkok menjadi pilihan kunjungan kenegaraan pertama Presiden Prabowo.

Seperti dilansir Kemenkomdigi (9/11/2024), Presiden Prabowo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xi Jinping, di Great Hall of the People, Beijing, RRT, pada 9 November 2024. Salah satu hal Krusial yang disampaikan dalam pertemuan itu ialah Indonesia berkomitmen meningkatkan Interaksi bilateral dengan Tiongkok demi menciptakan kesejahteraan dan stabilitas di kawasan Asia.

Prabowo Pasti bahwa Interaksi bilateral Indonesia-Tiongkok akan melahirkan stabilitas politik dan ekonomi di Asia. Menariknya, hasil survei The State of Southeast Asia 2025 menunjukkan bahwa Apabila harus memilih antara Tiongkok dan AS, 72,2% responden Indonesia lebih memilih Tiongkok karena Unsur ekonomi, perdagangan, dan kritik terhadap kebijakan luar negeri AS (ISEAS-Yusof Ishak Institute).

Langkah Indonesia-Tiongkok Kepada mengimbangi Kendali politik Barat Berkualitas di tingkat regional maupun Dunia semakin menemukan relevansi dan signifikansinya ketika keduanya secara Formal menjadi Member BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa). Indonesia Formal bergabung dengan BRICS pada 6 Januari 2025.

Cek Artikel:  Kondusifat Konstitusi dan Visi Politik Luar Negeri Para Calon Presiden 2024

Jeffrey Sachs (dalam Basuki Sepriyadi, 2025) menjelaskan BRICS menjadi simbol kekuatan ekonomi baru yang menjadi penyeimbang Kendali negara-negara Barat dalam tatanan ekonomi dunia. Dalam Deklarasi Kazan, tepatnya di poin 6, para Member BRICS menegaskan tentang ‘munculnya pusat-pusat kekuatan baru, pengambilan keputusan kebijakan dan pertumbuhan ekonomi, yang dapat membuka jalan bagi tatanan dunia multipolar yang lebih setara, adil, demokratis dan seimbang’ (Kazan Declaration, 23/10/2024).

Meski demikian, Interaksi bilateral Indonesia-Tiongkok itu Tak hanya terbatas di bidang politik dan ekonomi, tetapi juga telah Pelan merambah ke ranah sosial dan kebudayaan. Secara sosiologis, orang-orang Tionghoa Indonesia telah Pelan melebur menjadi Kaum pribumi, paling Tak di era Sunan Ampel, sehingga makin asing dengan budaya asal mereka. Interaksi diplomatik Indonesia-Tionghoa yang sekarang sudah mendekati satu abad ini makin perlu ditingkatkan, apalagi Tiongkok kini muncul menjadi kekuatan ekonomi baru dunia.

 

REAKTUALISASI POROS JAKARTA-BEIJING

Di tengah ketegangan geopolitik Dunia yang makin terasa, serta Kendali narasi ekonomi Barat yang Lalu menunjukkan inkonsistensi dan Ambivalensi mereka, sudah saatnya kita menengok kembali visi besar yang pernah dirumuskan dua pemimpin bangsa Indonesia, Sukarno dan Abdurrahman Wahid. Sukarno pernah membangun gagasan tentang kebangkitan Asia sebagai kekuatan baru dunia melalui solidaritas Asia Utara dan Tenggara. Abdurrahman Wahid kemudian dalam bentuk gagasan Poros Jakarta-Beijing-New Delhi, sebuah kerangka strategis yang Memperhatikan Tiongkok, India, dan Indonesia sebagai tiang Primer masa depan Asia.

Gagasan itu Tak berdiri di atas ruang Nihil. Secara demografis, ketiga negara itu termasuk dalam empat besar penduduk terbanyak dunia, Tiongkok dan India di posisi pertama dan kedua, disusul Amerika Perkumpulan dan Indonesia.

Apabila berbicara ekonomi berdasarkan produk domestik bruto (PDB) versi purchasing power parity (PPP), Tiongkok menduduki peringkat pertama dunia, Amerika Perkumpulan kedua, India ketiga, dan Indonesia berada di peringkat ketujuh. Itu artinya, Apabila ketiganya bersatu dalam satu kerangka kerja sama yang konkret, dunia akan menyaksikan bangkitnya kekuatan baru yang Pandai menandingi Kendali blok ekonomi tradisional Dunia.

Cek Artikel:  Zonasi Vs Zonatif

Tetapi, kerja sama strategis itu di dalam negeri bukan tanpa hambatan, berbagai Prasangka oleh sejumlah persepsi Pelan, terutama stigma ideologis terhadap Tiongkok sebagai negara komunis dengan narasi yang dibuat negatif dan kebencian rasial yang sengaja dihembuskan. Hal semacam itu Tetap hidup dalam sebagian khalayak di Indonesia, warisan dari konflik ideologis era Perang Dingin dan trauma politik 1965.

Padahal dalam praktiknya, Tiongkok hari ini ialah kekuatan kapitalis negara (state capitalism) yang sangat pragmatis dan telah menjadi Kawan dagang Primer Indonesia selama bertahun-tahun dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, narasi-narasi usang semacam itu sebaiknya segera disingkirkan karena Bahkan menghambat Kesempatan besar yang Dapat dimanfaatkan Serempak oleh kedua negara.

Lebih dari sekadar kerja sama ekonomi, Poros Jakarta-Beijing Serempak-sama dengan BRICS tentunya sebetulnya Dapat menjadi titik awal pembentukan arsitektur baru dunia yang lebih multipolar, adil, dan berimbang. Dunia sedang jenuh dengan Kendali tunggal dan dikotomi Pelan antara ‘Barat’ dan ‘Timur’.

Dunia membutuhkan kekuatan baru yang Dapat membawa pendekatan berbeda yang inklusif, Tak hegemonik, dan berbasis pada nilai-nilai kebersamaan Dunia (kalimatun sawa’). Asia Mempunyai Segala itu, kita Mempunyai sejarah peradaban yang kaya, jumlah penduduk yang banyak, kekuatan pasar yang luas, dan keragaman budaya yang menjadikan bangsa Asia menjadi pemimpin di negeri sendiri.

Membangun poros itu tentu bukan hal mudah. Butuh keberanian politik, berani menjadi sasaran tembak, Mempunyai visi jangka panjang, dan kemampuan mengelola perbedaan Kepada kepentingan dan kebaikan Serempak. Tetapi, Berita baiknya dalam sejarahnya, Indonesia telah terbukti Pandai menjadi jembatan peradaban, rumah dialog, dan kekuatan moral dalam percaturan dunia.

Sudah waktunya kita melangkah lebih berani, menghidupkan kembali gagasan besar ini, dan Akurat-Akurat menjadi bagian dari kekuatan Dunia. Salah satunya dengan memperkukuh Poros Jakarta-Beijing di momentum 75 tahun Interaksi diplomatik kedua negara.

Mungkin Anda Menyukai