Mengapa Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Perlu Dihentikan

Mengapa Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Perlu Dihentikan?
(MI/Duta)

SEJARAH itu seperti foto diri. Kita hadir dalam lakon pemotretan itu, merasakan silau lampu dan arahan sang juru kamera. Tetapi, tatkala cetakan foto hadir di tangan, kita Malah raib dari sana. Barangkali terpinggirkan oleh guntingan fotografer yang Bengis atau mungkin memang sengaja dienyahkan demi sebuah komposisi yang dianggap lebih elok. Metafora ini sekadar menggambarkan betapa di sana paradoks mengintai: kita adalah bagian dari yang diabadikan, tapi tak terjejak dalam keabadian itu sendiri. Sebuah ironi yang menggelayuti setiap narasi tentang masa Lewat.

Kegelisahan ini seakan mendapatkan jawabannya melalui kesalahan fatal Menteri Kebudayaan yang terang-terangan mengatakan bahwa Tragedi Mei 1998 yang mana pemerkosaan massal terhadap Perempuan etnik Tionghoa itu hanya rumor belaka. Tentu saja ini sontak menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan terutama Grup Perempuan.

Kita sudah lelet Paham, sejarah dalam hakikatnya bukanlah sekadar deretan tahun dan nama dan bukan sekadar deretan fakta yang beku, melainkan sebuah jalinan narasi yang senantiasa hidup, berdialog dengan waktu, dan membentuk kesadaran kolektif. Ia adalah cermin yang memantulkan identitas sebuah bangsa sekaligus medan pertarungan atas Arti dan ingatan.

Dalam pusaran inilah muncul pertanyaan mendasar: siapa yang berhak mengukir kisah masa Lewat dan sejauh mana sebuah narasi tunggal dapat mengeklaim kebenaran yang final? Lantas, apa Arti penolakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) terhadap penulisan Doku sejarah Formal Indonesia itu?

Pertanyaan ini kembali mengemuka di tengah polemik seputar rencana penyusunan ulang ‘sejarah Formal Indonesia’ oleh Kementerian Kebudayaan, sebuah inisiatif yang alih-alih merajut ingatan Malah memicu perdebatan sengit tentang hakikat sejarah itu sendiri tentang kebebasan menafsir dan tentang jiwa sebuah bangsa yang Lanjut mencari dirinya dalam lintasan waktu.

Isu ini menyoroti betapa sensitifnya penulisan sejarah bagi sebuah bangsa karena sejarah bukan hanya catatan masa Lewat, melainkan juga fondasi identitas dan pemahaman kolektif suatu bangsa. Oleh karena itu, setiap upaya Demi merevisi atau menulis ulang sejarah Formal selalu menjadi perhatian serius bagi banyak pihak.

 

ANATOMI SEBUAH PROYEK: 10 JILID DAN KEKOSONGAN YANG TERSEMBUNYI

Proyek penyusunan ulang sejarah Formal Indonesia ini, yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan, merupakan sebuah upaya monumental yang direncanakan akan terwujud dalam sepuluh jilid dan ditargetkan selesai pada Agustus 2025 Betul Indonesia berusia 80 tahun.

Skala ambisius ini mencakup rentang waktu yang luas dengan jumlah bab bervariasi di setiap jilidnya. Beberapa jilid, seperti jilid 2 dan hilid 8, dirancang paling ringkas dengan empat bab, sementara jilid 9 menjadi yang terpanjang dengan delapan bab. Tetapi, di balik rancangan ini, terkuaklah narasi-narasi yang terputus, kekosongan yang mencolok, dan pilihan-pilihan yang memicu tanda tanya besar.

Cek Artikel:  Indonesia Sudah Merdeka, Identitas Pesawat Udara Kok Tetap Negara Jajahan?

Konsentrasi perhatian banyak pihak tertuju pada jilid 9, yang bertajuk Orde Baru dan mencakup periode krusial 1976-1998. Delapan bab yang menyusun jilid ini meliputi: lahirnya Orde Baru; pembangunan ekonomi, pembangunan demokrasi pancasila; pendidikan; pembangunan dan perubahan sosial; wawasan Nusantara dan NKRI; reaksi terhadap pembangunan; serta kebudayaan.

Tetapi, di sinilah kejanggalan mulai tampak. Dalam bab ketujuh, yang membahas ‘reaksi terhadap pembangunan’ hanya tercantum dua peristiwa: insiden Tanjung Priok 1984 dan Peristiwa Talangsari Lampung 1989. Narasi tentang reaksi terhadap pembangunan ini, secara mengejutkan, ‘berhenti Tiba di situ’.

Keanehan semakin kentara ketika bab kedelapan, yang Sepatutnya menjadi penutup jilid ini, beralih ke topik-topik budaya seperti kongres kebudayaan, festival Gambar hidup Indonesia, sastra, seni, pers, dan media massa. Akibatnya, periode yang sangat menentukan dalam sejarah modern Indonesia, Ialah krisis moneter 1997, aksi mahasiswa, tuntutan dan agenda reformasi, peristiwa kerusuhan anti-China, hingga momen krusial turunnya Soeharto pada 1998, sama sekali Kagak ditemukan dalam jilid ini. Ini adalah sebuah peniadaan yang mencolok, terutama Apabila dibandingkan dengan Naskah teks sejarah yang Begitu ini digunakan di sekolah-sekolah yang secara eksplisit membahas peristiwa-peristiwa tersebut.

Upaya Demi mencari narasi yang hilang ini pada jilid 10 pun berujung pada kekecewaan. Jilid 10 dalam draf naskah tersebut Malah dimulai dengan pemerintahan BJ Habibie pada 1999, secara efektif melompati seluruh periode transformatif 1997-1998. Menteri Kebudayaan memang telah mengonfirmasi bahwa kementeriannya tengah mengerjakan updated version sejarah Indonesia. Tetapi, pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa periode yang begitu Mendasar bagi identitas dan perjalanan bangsa ini Malah diabaikan dalam sebuah narasi Formal?

Penghapusan peristiwa-peristiwa Krusial seperti krisis moneter 1997, gerakan Reformasi, dan transisi kekuasaan 1998 dari jilid 9 dan 10 bukan sekadar kelalaian, melainkan sebuah tindakan yang secara strategis membungkam titik balik krusial. Peristiwa-peristiwa ini menandai keruntuhan rezim Orde Baru, gelombang protes publik yang meluas, dan pelanggaran hak asasi Mahluk yang signifikan.

Kehilangannya dari narasi Formal mengisyaratkan upaya disengaja Demi membersihkan, meremehkan, atau menghapus kisah akhir yang bergejolak dari sebuah rezim. Hal ini dapat dipandang sebagai sebuah usaha Demi menghindari konfrontasi dengan kebenaran yang Kagak nyaman mengenai kekuasaan negara, salah urus ekonomi, dan kerusuhan sosial sehingga berpotensi melegitimasi warisan Orde Baru atau menghindari pertanggungjawaban atas kegagalannya.

Cek Artikel:  Merayakan Kemerdekaan Kehidupan Berkota

Lebih jauh, ketidaksesuaian antara narasi yang diusulkan ini dan Naskah teks sejarah yang Begitu ini digunakan di sekolah-sekolah menciptakan sebuah diskoneksi yang signifikan. Peristiwa-peristiwa yang dihilangkan tersebut secara eksplisit Eksis dalam kurikulum yang diajarkan kepada generasi muda.

Perbedaan ini berpotensi menimbulkan disonansi kognitif di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda yang telah mempelajari versi peristiwa yang berbeda. Ini memunculkan pertanyaan tentang tujuan sebuah sejarah ‘Formal’ Apabila ia bertentangan dengan narasi yang diterima secara luas atau diajarkan.

Upaya Demi menggantikan narasi yang Eksis dengan yang lebih selektif menunjukkan adanya agenda Demi membentuk kembali ingatan kolektif. Ini bukan hanya tentang akurasi historis, melainkan juga tentang mengendalikan persepsi publik dan berpotensi memengaruhi wacana politik di masa depan dengan mendefinisikan ulang masa Lewat.

 

POIN-POIN PENOLAKAN: MENGGUGAT INGATAN, MENIMBANG NARASI

Mengapa AKSI menolak proyek ambisius ini? Penolakan itu muncul karena beberapa kekhawatiran yang mana dalam proses atau substansinya mengandung problematika serius. Di antaranya: pertama, hilangnya sejumlah peristiwa Krusial. Salah satu kritik Primer adalah kekhawatiran bahwa versi baru sejarah Formal akan menghilangkan atau mengurangi Bagian pembahasan mengenai peristiwa-peristiwa krusial. Gerakan Mahasiswa 1998 dan momen-momen yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di masa Lewat sering disebut-sebut sebagai Teladan peristiwa yang dikhawatirkan akan ‘dihilangkan’ atau ‘dikecilkan’ perannya.

Kedua, sentralisasi narasi. Eksis kekhawatiran bahwa penulisan ulang ini bertujuan menyentralisasi narasi sejarah yang diinginkan pemerintah yang berpotensi mengabaikan perspektif dan pengalaman Berbagai Ragam dari berbagai Grup masyarakat. Hal ini yang akan menghilangkan perspektif yang Berbagai Ragam dalam sejarah.

Proyek pemerintah ini Malah menegaskan adanya motif tersembunyi yang dikhawatirkan berujung pada penyeragaman narasi, bahkan menghilangkan fakta-fakta yang Kagak sesuai dengan kepentingan tertentu. Kalau tujuannya hanya melengkapi, hal itu Dapat dilakukan melalui penerbitan Naskah-Naskah sejarah alternatif, riset, atau bahkan penambahan bab.

Tetapi, Apabila namanya ‘penulisan ulang sejarah nasional’, ini memberikan kesan akan Eksis pemaksaan narasi tunggal yang berpotensi membelokkan sejarah demi kepentingan kekuasaan. Sejarah Kagak pernah berhenti ditulis dan diteliti oleh para sejarawan dan akademisi secara Lanjut-menerus. Intervensi-Intervensi baru, perspektif yang berkembang, itu Segala sudah menjadi bagian dari dinamika historiografi.

Ketiga, kurangnya keterbukaan dan partisipasi. Proses penyusunan yang dianggap kurang transparan dan minim partisipasi publik dari berbagai Ahli sejarah independen, akademisi, dan masyarakat sipil juga menjadi sorotan. Kritik ini menyuarakan perlunya keterbukaan sejarah dan melibatkan lebih banyak pihak dalam proses penyusunannya. Narasi trauma, dari Peristiwa 65 hingga Reformasi adalah esensi kebenaran dlm sejarah kekerasan kita. Apabila pemerintah mencoba memasukkannya ke dalam ‘proyek sejarah’ dengan narasi ‘kemalangan’ yg menyingkirkan faktualitas, itu bukan sekadar penulisan ulang, itu adalah penghapusan fakta secara paksa (factual disappearance).

Sebagai pengamat militer yang menginginkan TNI profesional, saya Memperhatikan ini sebagai ancaman serius. Militer yang profesional hanya Dapat terbentuk di atas fondasi kebenaran dan akuntabilitas. Apabila trauma sejarah ini didistorsi atau dihilangkan, itu sama saja dengan membiarkan luka lelet membusuk tanpa penanganan sekaligus memutarbalikkan tanggung jawab. Ini akan semakin menyulitkan upaya membangun TNI yang Kudus dan berintegritas karena bayang-bayang masa Lewat yang belum terselesaikan akan Lanjut menghantui.

Cek Artikel:  Mengembalikan Kredibilitas Fiskal

Keempat, motif politik. Pertanyaan yang perlu diajukan ialah siapakah pihak yang paling diuntungkan dari proyek penulisan ulang sejarah Formal ini ?Apakah rezim yang berkuasa, pihak-pihak yang Mempunyai agenda politik tertentu, atau rakyat? Sudah menjadi rahasia Lazim bahwa sejarah sering kali menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Dengan menguasai narasi sejarah, mereka Dapat membentuk pemahaman publik sesuai yang diinginkan, menjustifikasi tindakan, atau bahkan ‘memutihkan’ Imej dari kesalahan masa Lewat. Ini bukan tentang keilmuan sejarah, melainkan tentang penguasaan narasi demi kepentingan politik. Sebagian pihak menduga bahwa penulisan ulang ini Mempunyai motif politik tertentu, terutama dalam upaya ‘meluruskan’ atau ‘mengamankan’ Imej pihak-pihak tertentu pada masa Lewat, atau Demi kepentingan narasi kekuasaan Begitu ini. Kecenderungan ini sulit disangkal Apabila mencermati muatan narasi yang Eksis dalam draf pemerintah, misalnya menghilangnya 10 pelanggaran HAM berat masa Lewat dari daftar 12 pelanggaran HAM berat yang sudah diakui oleh rezim sebelumnya.

 

PENOLAKAN: SEBUAH ALARM DARURAT, SEBUAH Jarak Demi Cerminan

Penolakan ini pada dasarnya bukanlah jaminan akan adanya solusi konkret yang instan, melainkan sebuah tuntutan Mendasar Demi Cerminan. Ia berfungsi sebagai rem darurat, memaksa laju proyek Demi dihentikan agar memberikan ruang bagi Penilaian ulang yang mendalam. Ia adalah seruan Demi menimbang kembali arah, tujuan, dan implikasi dari sebuah narasi sejarah yang berpotensi menyesatkan, bahkan hingga pada pertimbangan Demi membatalkan proyek itu sendiri demi menjaga integritas ingatan kolektif bangsa.

Dalam menatap cermin sejarah, kita kerap menemukan pantulan pelajaran berharga dan glorifikasi berlebihan yang dengan sengaja menyingkirkan narasi kekalahan dan duka. Hal itu bukan hanya melukai integritas ingatan kolektif kita, melainkan juga menjebak kita dalam ilusi yang berbahaya, sebuah bangsa yang enggan berhadapan dengan bayang-bayang masa lalunya, dan karenanya tak pernah Betul-Betul belajar dari dalamnya.

Penolakan proyek penulisan ulang sejarah Formal Indonesia oleh sebagian besar masyarakat sipil perlu dilihat sebagai sebuah alarm agar dihentikan dan sebuah Jarak Demi Cerminan.

 

Mungkin Anda Menyukai