
BANYAK orang berasumsi luar angkasa Sepatutnya sangat terang. Pasalnya, terdapat miliaran bintang yang memancarkan Sinar di galaksi kita, dan jumlah galaksi di alam semesta pun mencapai miliaran. Apabila Seluruh itu Betul, mengapa langit luar angkasa Malah tampak begitu gelap? Pertanyaan ini telah Pelan menjadi Asrar bagi para ilmuwan.
Selama ratusan tahun, para astronom mempertanyakan mengapa Sinar dari begitu banyak bintang Tak Bisa menerangi alam semesta secara merata. Pada abad ke-18 hingga ke-19, para ilmuwan meyakini bahwa alam semesta itu Tak terbatas, bersifat seragam, dan Hening alias Tak berubah. Apabila Betul demikian, Sepatutnya seluruh langit malam kita dipenuhi bintang yang terang benderang, tanpa celah gelap sedikit pun. Tetapi kenyataannya, yang kita lihat adalah kegelapan yang nyaris menyeluruh, hanya diselingi titik-titik Sinar dari bintang-bintang tertentu.
Paradoks Sinar: Olbers’ Paradox
Pertanyaan mengapa luar angkasa tetap gelap meskipun Eksis Surya dan begitu banyak bintang dikenal sebagai Paradoks Fotometrik Olbers, atau lebih singkatnya Olbers’ Paradox. Astronom asal Jerman, Heinrich Wilhelm Olbers, mengajukan dugaan bahwa ruang antar bintang sebagian dipenuhi materi seperti debu antarbintang yang menyerap Sinar. Berdasarkan hipotessa, materi gelap ruang angkasa menghalangi Sinar bintang Demi Tamat ke Bumi.
Tetapi teori ini dipatahkan oleh hukum pertama termodinamika. Apabila materi antarbintang Betul-Betul menyerap Sinar, maka ia akan memanas dan pada akhirnya memancarkan Sinar juga. Dengan demikian, Sepatutnya ruang angkasa tetap bercahaya.
Paradoks ini menemukan titik terang pada abad ke-20. Ketika itu ilmuwan menemukan alam semesta berkembang Lanjut menerus. Sinar dari galaksi-galaksi yang bergerak menjauh dari kita mengalami pergeseran spektrum ke arah gelombang panjang seperti inframerah, ultraviolet, dan gelombang radio semuanya Tak dapat dilihat oleh mata Mahluk. Artinya, Apabila mata kita Bisa Menonton gelombang mikro, maka seluruh ruang angkasa akan tampak bercahaya. Prinsip serupa juga memungkinkan kita “mendengar” Bunyi-Bunyi dari luar angkasa melalui konversi gelombang ke bentuk audio.
Sinar dari Masa Lampau
Cobalah lihat Pemandangan pusat galaksi Bima Sakti yang begitu cerah dan indah. Gambar tersebut diambil dari gabungan data teleskop sinar-X Punya NASA, Chandra X-ray Observatory, dan teleskop radio MeerKAT di Afrika Selatan. Meski begitu, bahkan dengan teknologi paling mutakhir, kita tetap Tak Dapat Menonton Seluruh bintang.
Ini karena Sinar Mempunyai batas kecepatan: 300.000 kilometer per detik. Sinar dari bintang yang sangat jauh Dapat memerlukan waktu jutaan tahun Demi mencapai mata kita. Artinya, ketika kita Menyantap bintang tersebut, yang kita lihat adalah Sinar dari masa Lampau. Dapat jadi bintang itu sebenarnya sudah Tewas, Tetapi cahayanya Lagi dalam perjalanan menuju Bumi.
Mengapa Bumi Terang, Tapi Luar Angkasa Gelap?
Fenomena ini dapat dijelaskan hanya dengan dua kata: atmosfer Bumi. Ruang angkasa Nyaris merupakan ruang hampa (vakum), yang artinya sangat sedikit gas atau debu di dalamnya. Tanpa atmosfer, Sinar Tak Dapat tersebar; ia hanya akan bergerak lurus Tamat mengenai suatu objek. Setelah menyentuh objek dan memantul, barulah atmosfer bertugas menyebarkan Sinar ke segala arah sehingga Dapat dilihat oleh mata Mahluk.
Karena Bumi berputar pada porosnya, bagian yang Tak terkena sinar Surya akan mengalami kegelapan sementara, yang kita kenal sebagai malam hari. Di siang hari, partikel udara seperti molekul, atom, dan debu atmosfer berinteraksi dengan foton Sinar, menyebabkannya menyebar Ketika memasuki lapisan atmosfer yang makin padat menuju permukaan.
Atmosfer Bumi paling banyak menyebarkan Sinar biru karena panjang gelombangnya yang pendek. Inilah sebabnya langit siang hari tampak biru. Atmosfer Mars sangat tipis, Sekeliling 100 kali lebih tipis dari Bumi. Kondisi itu Membangun langit terlihat Serbuk-Serbuk kebiruan. Ketika terjadi badai debu di Mars, Corak langit dapat berubah menjadi kemerahan.
Tetapi, Apabila seseorang berada di planet atau satelit tanpa atmosfer atau dengan atmosfer yang sangat tipis, seperti di Bulan atau di Merkurius, maka langit akan tetap tampak hitam pekat, Bagus siang maupun malam. Apabila Anda Menonton foto-foto dari misi Apollo di Bulan, Anda akan Menonton langit hitam meskipun permukaan Bulan diterangi Sinar Surya. Fenomena ini menjelaskan mengapa ruang angkasa tetap gelap meskipun Surya bersinar di sana.
Kegelapan yang Menyadarkan
Meski Tak membahayakan secara langsung, kegelapan luar angkasa menjadi pengingat keras tentang betapa rapuhnya kehidupan di Bumi. Perubahan iklim yang dipicu oleh polusi udara, pencemaran air, dan emisi gas rumah kaca kini mengancam atmosfer kita, selaput tipis yang memisahkan kita dari kehampaan dan kegelapan Kekal ruang angkasa.
Aktor legendaris William Shatner, pemeran Primer dalam serial TV Star Trek, menggambarkan secara dramatis pengalamannya Berjumpa langsung dengan kegelapan luar angkasa. Pada 13 Oktober 2022, Shatner Berbarengan lima penumpang lainnya melakukan perjalanan ke batas luar angkasa (garis Karman) menggunakan kapal Blue Origin New Shepard. Perjalanan ini hanya berlangsung selama 11 menit. Tetapi dalam bukunya yang baru, Shatner mengungkapkan bahwa momen tersebut terasa lebih seperti sebuah upacara pemakaman ketimbang perayaan.
“Saya sangat mencintai Asrar alam semesta… Bintang-bintang yang meledak bertahun-tahun Lampau, cahayanya baru Tamat sekarang; lubang hitam yang menyerap Kekuatan; satelit yang memperlihatkan galaksi di tempat yang dulu dianggap Nihil… Seluruh itu selama ini membuatku terpukau. Tapi ketika Saya Menyantap ke arah sebaliknya, ke ruang angkasa yang hitam pekat itu, tak Eksis Asrar. Tak Eksis keagungan yang menakjubkan… yang kulihat hanyalah Mortalitas,” tuturnya.
Shatner mengaku bahwa hanya setelah menyaksikan langsung hitamnya luar angkasa, sesuatu yang “tak mirip apa pun di Bumi” dan “menyelimuti segalanya” ia Betul-Betul merasakan betapa hangat dan berartinya kehidupan di Bumi. Ia pun menyadari betapa umat Mahluk belum sepenuhnya menghargai karunia ini, dan Malah Lanjut merusaknya lewat berbagai aktivitas merusak lingkungan.
“Itu membuatku merinding dan takut. Perjalanan ke luar angkasa itu Sepatutnya menjadi perayaan. Tapi yang kurasakan Malah seperti menghadiri pemakaman,” tulis Shatner. (orbitaltoday/Z-2)

