
DANY Rodrick, seorang guru besar dan ekonom terkenal dari International Political Economy at Harvard Kennedy School, dalam tulisannya di Project Syndicate, 7 Mei 2025, berjudul “Mercantilism isn’t All Bad, but Trump’s Version is the Worst”. Rodrick barangkali sedang menumpahkan kekesalannya terhadap Trump, dengan lugas ia mengupas buruknya kebijakan perdagangan yang sedang dijalankan Presiden Donald Trump. Merkantilisme yang dijalankannya mengandung Sekalian kelemahan terburuknya.
Merkantilisme adalah sebuah paham ekonomi yang muncul di Benua Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-18, sebelum lahirnya teori ekonomi dan perdagangan modern yang dipelopori Adam Smith (1790) dan David Ricardo (1823). Kata merkantilisme sendiri berasal dari kata merchant yang mempunyai Maksud penjual atau pedagang. Gagasan awal merkantilisme dikenalkan seorang filsuf Prancis Jean Bodin (1596). Bertambahnya Doku dari perdagangan luar negeri dapat menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang.
Dalam perkembangannya, para pemikir merkantilisme mengharuskan setiap negara yang Mau maju melakukan kegiatan perdagangan Dunia dengan negara lain. Mereka berkeyakinan, sumber kekayaan suatu negara ialah hasil dari perdagangan luar negeri. Menjadikan Doku sebagai surplus perdagangan sekaligus Kepada mempertahankan kekuasaan. Pada akhirnya, merkantilisme melahirkan kebijakan proteksionisme Kepada mempertahankan neraca perdagangan luar negeri yang menguntungkan.
Senada dengan itu, Trump dalam setiap pidatonya selalu menyatakan bahwa defisit perdagangan telah mendera perekonomian Amerika Perkumpulan selama bertahun-tahun, menyebabkan kerugian besar bagi perekonomian Amerika, dan harus segera diakhiri. Trump berkeyakinan bahwa kebijakan tarif ialah jalan keluar Kepada membantu Amerika keluar dari permasalahan mereka, menggunakan tarif sebagai landasan Kepada menciptakan lebih banyak lapangan kerja, mengurangi defisit anggaran negara, menurunkan harga makanan.
Pandangan Trump terhadap defisit perdagangan dalam konteks perekonomian modern Dapat dikatakan Kagak Tengah sesuai dengan perkembangan ekonomi Dunia. Defisit perdagangan yang menunjukkan kerugian ekonomi mencerminkan pemikiran merkantilisme. Meski begitu, kebijakan tarif Trump tetaplah berjalan sesuai dengan keinginannya.
Dimulai pada 1 Februari 2025, Trump menyatakan national emergency terhadap narkoba dan menggunakan Argumen tersebut Kepada mengimplementasikan 25% tarif ke Kanada dan Meksiko dan 10% tarif ke Tiongkok.
Tarif trump Lanjut berlanjut, mulai menyasar banyak negara. Pada 2 April 2025, atau yang disebut sebagai Liberation Day, Trump mengeluarkan dua tarif utamanya, universal dan reciprocal tariff. Tarif pertama akan memberlakukan bea masuk sebesar 10% Kepada seluruh barang impor dari Sekalian negara di dunia. Sementara itu, Kepada reciprocal tariff, AS akan mengenakan bea masuk kepada 60 negara yang selama ini telah Membangun Amerika mengalami defisit perdagangan.
Kebijakan tersebut telah menimbulkan kegaduhan bagi negara yang terkena oleh Akibat tarif yang tinggi. Tiongkok melakukan retaliasi, Merukapan melakukan pembalasan dengan mengenakan tarif impor tambahan pada barang-barang dari AS sebagai respons terhadap tarif impor yang dikenakan AS pada barang-barang Tiongkok. Banyak negara, termasuk Indonesia, memilih jalan Kepada melakukan negosiasi dengan pemerintah Amerika Perkumpulan.
MELAWAN MERKANTILISME ALA DONALD TRUMP
Pilihan Kepada melakukan negosiasi yang diambil pemerintah Indonesia terhadap kebijakan tarif Trump tentunya Dapat dipahami sebagai kebutuhan jangka pendek, Kepada menyelamatkan ekspor Indonesia ke Amerika Perkumpulan serta surplus neraca perdagangan. Ekspor Indonesia ke Amerika Perkumpulan mencapai Bilangan 8% dari total ekspor Indonesia, tapi kontribusinya mencapai 45% terhadap total surplus neraca perdagangan. Kebijakan negosiasi menjadi kebijakan paling Terjamin yang Dapat ditempuh.
Setelah negosiasi selama Sekeliling tiga bulan penuh yang ujungnya melibatkan langsung Presiden Prabowo, akhirnya Presiden Donald Trump sepakat menurunkan besaran tarif impor resiprokal atas produk-produk Indonesia yang masuk ke AS. Tarif dipangkas dari 32% menjadi 19%. Sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia juga diharuskan membeli produk Daya dari AS senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan 50 pesawat produk Boeing 777.
Kebijakan merkantilisme ala Trump yang diterapkan Amerika mengubah tata kelola perdagangan Dunia dari yang bersifat multilateral menjadi unilateral, mengabaikan peran WTO sebagai regulator Istimewa perdagangan Dunia. Kondisi itu memunculkan kembali gagasan paham autarki ekonomi, sebuah negara harus Pandai berkembangan secara Berdikari, memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa bergantung pada negara lain. Indonesia Mempunyai modal yang kuat Kepada Dapat mengantisipasi kebijakan ‘koboi’ merkantilisme yang sedang dijalankan Trump.
Pertama, sebagai negara yang Mempunyai sumber daya alam melimpah sudah sepatutnya Mempunyai kemampuan Kepada menghasilkan kebutuhan hidupnya secara Berdikari, tanpa harus bergantung pada negara lain. Dengan kata lain, kebijakan swasembada pangan selalu menjadi Sasaran pembangunan yang hendak dicapai, semenjak pemerintahan Orde Baru. Bahkan Presiden Prabowo menargetkan Kagak hanya swasembada pangan, tapi juga Daya sehingga kita Dapat mencukupi kebutuhan pangan dan Daya dalam negeri secara Berdikari.
Kedua, pilihan kebijakan hilirisasi di Indonesia sudah Cocok. Hal itu sebagai upaya Kepada meningkatkan nilai tambah ekonomi dari sumber daya alam dengan mengolahnya menjadi produk yang lebih bernilai sebelum diekspor. Hilirisasi diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, mendorong pertumbuhan industri manufaktur, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara. Tumbuhnya industri dalam negari akan memperkuat kebijakan subsitusi impor. memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB).
Ketiga, pentingnya langkah diversifikasi Rekanan perdagangan Indonesia dengan berbagai negara Kenalan Krusial Kepada dilanjutkan. Starategi itu sebagai upaya Kepada memperluas cakupan perdagangan dan investasi Dunia jangka panjang di tengah lanskap Dunia yang penuh ketidakpastian. Pemerintah perlu Lanjut mengoptimalkan kerja sama Dunia melalui berbagai Perhimpunan ekonomi besar seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA). Selain itu, mengoptimalkan peran BRICS sebagai aliansi strategis negara-negara di luar blok ekonomi tradisional, Kepada mendorong reformasi tata kelola Dunia yang lebih inklusif.
Di akhir tulisannya, Rodick menulis kebijakan tarif Trump yang kacau dan Kagak terorganisasi Kagak banyak membantu meningkatkan investasi Krusial dan strategis di Amerika Perkumpulan. Merkantilismenya Kagak akan bermanfaat karena Bahkan merupakan kelemahan terburuk yang dimilikinya. Jadi, sesungguhnya Indonesia Mempunyai modal yang kuat dan kesempatan Kepada mengantisipasi buruknya praktik merkantilisme yang sedang dijalankan Trump.

