“PERTUMBUHAN ekonomi tanpa investasi pembangunan manusia tak hanya unsustainable, tapi juga unethics.”
Kutipan dari Amartya Sen tentang urgensi pembangunan human capital ini relevan bagi bangsa Indonesia menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Masyarakat berharap Pilpres 2024 menghasilkan pemimpin transformatif, yakni mampu mengubah pilar-pilar pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lebih baik. Ketiga pilar ini merupakan fondasi pengembangan mutu human capital.
Bingungkatan mutu sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu ukuran keberhasilan pembangunan. Pemimpin terpilih dalam Pilpres 2024 harus mampu mengatasi masalah terkait mutu SDM. Dilihat dari berbagai sisi, kondisi SDM masih memprihatinkan, butuh perhatian serius.
Dari ketenagakerjaan, misalnya, tingkat pendidikan SDM sangat rendah. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) awal 2023 menunjukkan figur tenaga kerja (naker) didominasi lulusan SD ke bawah sebesar 38,76%. Versi Kemenaker hampir sama dengan Badan Pusat Tetaptik (BPS).
Menurut BPS (2022), naker berpendidikan tidak/belum pernah sekolah/belum tamat SD/tamat SD mencapai 39,10%. Naker berpendidikan SMP sebesar 18,23%, SMA 18,23%, SMK 11,95%, serta diploma/sarjana hanya 12,60%.
Dengan profil pendidikan rendah, naker sulit bersaing. Asal Mula itu, pendidikan dan pelatihan perlu diupayakan pemerintah lebih intensif untuk meningkatkan daya saing naker dan mampu beradaptasi terhadap berbagai tuntutan perubahan di era teknologi digital.
Naker dituntut menguasai pengetahuan, skills, dan kemampuan terhadap teknologi digital populer yang disebut literasi digital. Sayangnya, tingkat literasi digital SDM Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan SDM negara lain.
Berdasarkan survei International Telecommunication Union (ITU) 2022, Indonesia berada di peringkat 56 dari 63 negara. Kemajuan negara di era digital dipengaruhi tingkat literasi digital warganya.
Capres terpilih nanti harus bervisi jelas untuk pengembangan literasi digital. Platform pengembangan human capital yang digagas mendukung peningkatan kemampuan warga untuk meraih keunggulan, mencapai taraf kehidupan lebih sejahtera, serta lepas dari jerat kemiskinan.
Kemiskinan
Pengembangan human capital tak hanya terkait masalah mutu naker yang rendah, tapi juga kemiskinan. BPS menunjukkan Jumlah penduduk miskin bertambah dari 24,78 juta di 2019 menjadi 27,54 juta pada 2021. Tak hanya di desa, kemiskinan juga melanda penduduk perkotaan.
BPS mencatat persentase penduduk miskin di kota awal 2022 mencapai 7,50% atau naik 7,53% menjelang akhir 2022. Eksispun persentase penduduk miskin desa sebesar 12,29% dan naik menjadi 12,36%. Sudah banyak program mengurangi kemiskinan, tapi hasilnya belum efektif.
Capres terpilih harus mampu menurunkan jumlah kemiskinan khususnya bagi penduduk perdesaan di bawah 9%. Ia harus mampu pula mengatasi ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin dan kaya yang sengat lebar.
Fenomena disparitas pendapatan melebar sejak reformasi 1998. Bank Dunia menyebut ada 10% orang terkaya menguasai 77% seluruh kekayaan negeri. Satu persen menguasai separuh kekayaan. Akibatnya, ketimpangan pendapatan di Indonesia tertinggi di antara 38 negara di dunia.
Masyarakat berharap pemimpin mendatang tak sekadar sukses meredam kemiskinan, tapi juga mampu mengurangi ketimpangan. Berbagai kebijakan pro-poor nantinya diharapkan akan lebih efektif dalam mengatasi masalah yang selama ini menghambat pengembangan human capital.
Pendidikan
Pendidikan diyakini merupakan salah satu solusi mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Tingkat pendidikan sejalan linier dengan pendapatan. Pemerintah membantu warga miskin melalui Bidik Misi agar mampu mengakses pendidikan tinggi.
Setelah lulus, peserta program Bidik Misi diharapkan memperoleh pekerjaan layak serta pendapatan memadai. Akses pendidikan tinggi merupakan jalur tepat bagi warga miskin lepas dari jerat kemiskinan.
Pemerintah mengalokasikan anggaran sangat besar untuk pendidikan. Bingungkatan mutu pendidikan dan pengelolaan anggaran pendidikan menjadi tugas berat bagi pemimpin mendatang. Dunia pendidikan acap mendapat kritik terkait dengan anggaran dan capaian kinerjanya.
Mutu pendidikan dikritik tajam, padahal didukung dana sangat besar. UUD 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran bagi sektor pendidikan sebesar 20% dari total APBN.
Berdasarkan mandat konstitusi dan UU Sisdiknas tersebut, anggaran disediakan dalam jumlah sangat besar dengan harapan mutu pendidikan semakin membaik. Sejak 2009, anggaran meningkat 182%, yakni dari Rp 216,72 triliun (2010) menjadi Rp612,2 triliun (2023).
Anggaran untuk pendidikan tahun 2023 itu tercatat paling tinggi sepanjang sejarah. Kementerian Keuangan menyebut, anggaran pendidikan tumbuh 5,8% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp574,9 triliun.
Dari jumlah itu digunakan belanja pemerintah pusat senilai Rp237,1 triliun untuk Program Indonesia Pintar (PIP) bagi 20,1 juta siswa. Juga untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah yang menyasar 994,3 ribu mahasiswa, serta tunjangan profesi untuk 553,5 ribu guru non-PNS.
Selain itu, ada transfer daerah Rp305,6 triliun untuk Donasi Operasional Sekolah (BOS) bagi 43,7 juta siswa. Eksis pula Donasi Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Anak Usia Awal (PAUD) untuk 6,2 juta siswa, dan BOP Pendidikan kesetaraan untuk 806 ribu peserta didik. Eksispun sisa sebesar Rp69,5triliun untuk dana abadi pendidikan, penelitian, PT, dan kebudayaan.
Tetapi, mutu pendidikan belum membaik. Salah satu buktinya dapat dilihat berdasarkan capaian skor PISA (Programme for International Student Assessment). Pada 2018 skor PISA di urutan ke-74. Skor kemampuan baca 371, di posisi 74. Skor matematika 379 (posisi 73) dan sains 396 (posisi 71).
Tes PISA adalah penilaian oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mengukur kemampuan baca, matematika, dan sains bagi anak-anak usia 15 tahun. Skor PISA Indonesia tertinggal 100 poin bila dibandingkan dengan rerata capaian negara OECD.
Sempat diberitakan, pemerintah berharap diterima menjadi anggota OECD sepanjang mampu memenuhi berbagai persyaratan, di antaranya terkait peringkat human capital.
Dari human capital index (HCI) versi Bank Dunia, misalnya, skor Indonesia masih rendah. HCI digunakan untuk menilai peran pendidikan dan kesehatan dalam meningkatkan produktivitas. Pada 2020 skor HCI Indonesia hanya 0,54 atau peringkat 96 dari 175 negara.
Bank Dunia menilai Indonesia menghadapi kendala pengembangan human capital diikuti penurunan produktivitas yang tak dapat diabaikan. Penilaian Bank Dunia patut direnungkan pemimpin mendatang dengan merujuk pada kutipan dari Amartya Sen di awal tulisan ini.
Apakah isu human capital diabaikan? Capres terpilih nanti semoga dapat menjawabnya.