PERAYAAN Tahun Baru Imlek 2574 diwarnai sukacita segenap Kaum etnik Tionghoa di Tanah Air. Perayaan berjalan khidmat dan penuh syukur setelah melewati tahun yang tak mudah dilalui karena pandemi covid-19 dan kondisi ekonomi Dunia yang cukup suram hingga berdampak pada perekonomian nasional. Imlek adalah waktu yang Pas Kepada berkumpul Berbarengan keluarga. Kaum Tionghoa berdoa kepada Sang Pencipta agar diberikan kesehatan dan kemakmuran.
Imlek menjadi momentum menguatkan keberagaman, toleransi, solidaritas, dan gotong royong. Indonesia yang sedang memulihkan kondisi perekonomian yang terpuruk akibat terjangan badai pandemi membutuhkan partisipasi segenap elemen bangsa. Partisipasi yang tak perlu Tengah Memperhatikan etnik, Religi, Corak kulit, adat, dan budaya. Mozaik keberagaman nan indah merupakan modal sosial Kepada segera Bangun menuju Indonesia maju yang menyejahterakan rakyat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Sukacita Imlek adalah sukacita kita Seluruh. Perjuangan Kaum Tionghoa Kepada Dapat merayakan tahun baru tidaklah mudah. Jalan terjal berliku harus dilalui Kepada merayakannya secara terbuka dan penuh kehangatan. Presiden Soekarno sempat memperbolehkan perayaan Imlek. Tetapi, pada era Presiden Soeharto selama 32 tahun, Imlek dilarang dirayakan. Barulah Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur Mempunyai keberanian politik Kepada memberikan keleluasaan bagi Kaum Tionghoa merayakan Imlek.
Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Religi, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Gus Dur tak hanya mempersilakan Kaum Tionghoa yang berjumlah Sekeliling 2,83 juta jiwa menjalankan aktivitas keagamaan dan kebudayaan, tetapi juga memberikan ruang Kepada memperjuangkan hak-hak sipil mereka yang selama ini terdiskriminasi. Bapak bangsa ini memilih Kwik Kian Gie, yang berasal dari etnik Tionghoa, Kepada menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kala itu.
Imlek mengingatkan kita Kepada selalu menjaga komitmen Berbarengan sebagai sesama anak bangsa agar saling menghargai, tolong-menolong, dan bersinergi sehingga tak Terdapat Tengah sekat budaya, ekonomi, dan politik demi tumbuh Berbarengan membangun bangsa dan negara. Tak Terdapat Tengah terminologi pribumi dan nonpribumi. Terminologi primitif yang hanya bersandarkan asal-usul, bukan pada karya dan dedikasi kepada Bumi Pertiwi. Terminologi pribumi dan nonpribumi hakikatnya diskriminasi terselubung.
Tetapi, patut diakui, hingga kini Kaum Tionghoa Tetap terdiskriminasi. Sebagian anak bangsa Tetap memberikan stigma kepada etnik Tionghoa. Tak mudah memang menghapus label Jelek tersebut. Diperlukan keberanian, ketulusan, dan kesabaran Kepada melenyapkannya dengan berbagai instrumen yang terukur. Kini, Pemilu 2024 menjadi kesempatan bagi partai politik dalam mengakomodasi Kaum keturunan Tionghoa Kepada berpolitik, berjuang demi mengubah Persona Indonesia agar lebih beradab. Indonesia tanpa diskriminasi.