Menerungku Silfester

KATANYA di negeri ini setiap Anggota negara sama kedudukannya di depan hukum. Faktanya? Konon, di Republik ini Bukan Eksis satu pun yang kebal hukum. Kenyataannya?

Menurut ayat konstitusi, negara ini ialah negara hukum. Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, hukum kerap dilanda anomali. Kasus Silfester Matutina yang kembali mengemuka, misalnya. Silfester ialah pendukung garis keras mantan Presiden Joko Widodo. Ketua Standar Solidaritas Merah Putih itu die hard-nya Jokowi, dulu dan kini. Ketika berbagai serangan mengarah kepada sang junjungnya, dia berdiri paling depan.

Nyaris tiada hari tanpa Silfester di layar kaca belakangan ini. Dia selalu gigih membela habis-habisan Jokowi yang setelah tak menjadi presiden diserang sana-sini. Tuduhan ijazah Bajakan, misalnya. Upaya Buat memakzulkan sang putra, Wapres Gibran Rakabuming Raka, amsalnya. Di situlah Silfester unjuk posisi. Siapa pun dia hadapi, dalam situasi apa pun dia begitu percaya sediri. Semuanya demi membela Jokowi.

Tak perlu kiranya kita mempersoalkan Silfester punya sikap. Itu urusan pribadi. Hak dia sepenuhnya Buat Lalu menjadi pendukung, loyalis, atau bahkan mungkin pemuja Jokowi. Yang perlu dipersoalkan ialah status Silfester. Status yang belakangan disorot tajam lantaran Rupanya dia seorang terpidana.

Cek Artikel:  Senator Uhuy

Terpidana harusnya berada di penjara sesuai dengan durasi hukumannya. Terpidana semestinya tak bebas ke mana-mana seperti halnya orang-orang bebas lainnya. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, terlebih Kalau putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap. Istilahnya Belandanya in kracht van gewijsde.

Tetapi, Silfester Bukan. Dia belum tersentuh oleh hukuman. Padahal, dalam kasasi, Mahkamah Mulia (MA) memvonisnya 1 tahun 6 bulan penjara. Putusan Nomor 287 K/Pid/2019 itu dibacakan 20 Mei 2019 dengan hakim ketua Andi Arang Ayyub Saleh serta hakim Member Eddy Army dan Gazalba Saleh.

Perkara yang menimpa Silfester merupakan perkara Lamban. Pada Mei 2017, dia dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama Berkualitas eks Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di pengadilan tingkat pertama hingga kasasi, dia dinyatakan bersalah. Akan tetapi, ya itu tadi, setelah enam tahun putusan inkrah, dia belum juga dieksekusi. Dia Tetap bebas. Bebas beraktivitas, bebas membela Jokowi dari serangan sejumlah kalangan.

Pertanyaan besarnya, ke mana saja kejaksaan sebagai eksekutor selama ini? Katanya mereka punya tim tabur, tangkap buron. Begitu sulitkah Silfester Buat ditahan? Begitu licinkah dia Buat dieksekusi? Atau jangan-jangan Eksis orang begitu besar di belakang Silfester sehingga nyali kejaksaan mengerut menjadi sangat kecil?

Cek Artikel:  Kisah Orang Hilang

Silfester berdalih, dia sudah berdamai dengan JK. Dia bilang dua atau tiga kali Bersua dengan JK. Dalih yang kemudian disanggah mentah-mentah juru bicara Wapres Ke-10 dan Ke-12 RI itu, Husain Abdullah. ‘’Silfester Bukan pernah Bersua Pak JK. Pak JK pun Bukan mengenal dia,’’ ujar Husain.

Putri JK, Muchlisa Kalla, bahkan menyebutnya pembohong. Bukan Eksis pertemuan. Bukan Eksis perdamaian. Nah!

Begitulah, Silfester kiranya tak Dapat berkelit Kembali. Kejaksaan memastikan akan segera mengeksekusinya. Menerungkunya. Mereka menyatakan, meski sudah berdamai dengan JK sekalipun, dia tak mungkin lepas dari hukuman karena sudah Eksis putusan inkrah. Akan tetapi, Kembali-Kembali persoalannya ialah kenapa eksekusi baru akan dilakukan ketika putusan kasasi sudah enam tahun lewat. Wajar, sangat wajar, tagar dan seruan penegakan hukum yang setegak-tegaknya kembali menggema di media sosial. Normal, sangat normal, publik mempertanyakan Kembali Buat siapa sebenarnya hukum kita?

Eksis yang serupa dengan Silfester. Status Ade Armando dipersoalkan Kembali. Kebetulan keduanya pendukung fanatik Jokowi. Kalau Silfester terpidana, Ade disebut-sebut sebagai tersangka, tapi sama-sama tak Terang penuntasan kasusnya. Mandek bertahun-tahun. Dapat jadi penegak hukum punya prinsip bahwa publik Lamban-Lamban akan lupa. Bukankah bangsa ini memang gampang lupa? Tetapi, rupanya mereka kali ini salah perkiraan. Kasus Ade kembali diungkap. Integritas dan kredibiltas Polri digugat.

Cek Artikel:  Komodo Gemuk Rakyat Stunting

Ade dilaporkan Johan Khan pada 2016 atas cicitannya yang dinilai menistakan Religi Islam. Oleh Polda Metro Jaya, Januari 2017, dia ditetapkan sebagai tersangka.

Tetapi, Direktorat Reserse Kriminal Tertentu kemudian menerbitkan SP3, surat perintah penghentian penyidikan. Karena tak terima, pelapor mengajukan praperadilan. Hasilnya, pada 4 Sepetember 2017, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Aris Bawono Langgeng memutuskan SP3 itu tak Absah.

Kendati begitu, penyelesaian perkara tersebut tetap gelap hingga sekarang meski pihak Ade menyatakan status tersangka sudah luruh. Kalau kejaksaan berupaya sigap meski sangat terlambat, demikian pula polisi semestinya. Rakyat, termasuk saya, butuh kepastian dalam penanganan hukum. Terlebih Silfester dan Ade ialah komisaris BUMN. Amat tak patut orang yang dibayar negara tersangkut dalam kasus hukum. Tak rela rasanya kami menggaji besar terpidana atau Kalau Betul memang tersangka.

Lebih dari itu, rakyat Mau agar prinsip Sekalian orang sama di mata hukum tak Lalu-terusan menjadi Ungkapan Hampa. Hukum harus bermuara pada keadilan, kesetaraan. Bukan seperti yang Martin Luther King Jr bilang bahwa penegakan hukum tanpa keadilan ialah bentuk penindasan.

Mungkin Anda Menyukai