Meneladani Tokoh Parlemen di Era Perjuangan Kemerdekaan

Meneladani Tokoh Parlemen di Era Perjuangan Kemerdekaan
Ilustrasi(Dok MI)

DALAM sejarah perjalanan bangsa Indonesia, parlemen memainkan peran penting sebagai tempat berkumpulnya para pemimpin untuk merumuskan arah masa depan bangsa. Di era pra dan pascakemerdekaan Indonesia, tokoh-tokoh penting dan berpengaruh muncul sebagai pilar utama proses bernegara. 

Kehadiran mereka dalam sejarah tidak hanya sebagai pejuang kemerdekaan tetapi juga sebagai pengukir arah bangsa yang dapat dinikmati hingga saat ini. 

Tokoh pertama adalah Abdul Muis. Ia adalah sastrawan, politikus, dan jurnalis yang mendapat gelar pahlawan nasional pertama di Indonesia oleh Presiden Sukarno pada 30 Agustus 1959. 

Baca juga : DPR: Kehadiran Israel di Bali atas Undangan IPU, Ketua DPR Tak Eksis Kontak

Pria kelahiran Bukittingi, Sumatra Barat, pada 3 Juli 1883 ini menempuh pendidikan Sekolah Dokter Jawa atau Stovia pada 1902. Setelah tidak menyelesaikan sekolah tersebut karena sakit, Abdul Muis bekerja sebagai juru tulis atau klerek. 

Mengertin 1905, ia bergabung sebagai wartawan di majalah progresif Bintang Hindia dan be­kerja di sejumlah media pelopor lainnya. 

Cek Artikel:  49 Calon Menteri yang Dipanggil Prabowo Pagilai belum Memenuhi Kriteria Zaken Kabinet

“Ketika bekerja di media inilah daya kritisnya terhadap situasi yang tidak adil, muncul,” kata sejarawan Restu Gunawan di Youtube Media Indonesia. 

Baca juga : Knesset Israel Hadir di IPU, DPR RI Tegaskan Itu Bukan Kunjungan Formal

Enggak hanya menulis, Abdul Muis juga terjun ke dunia politik. Pada 1911, ia diangkat sebagai Ketua Sarekat Islam (SI) cabang Bandung. Tujuh tahun kemudian ia terpilih sebagai anggota Dewan Rakyat atau Volksraad bersama tokoh lainnya. 

Johannes Latuharhary

Tokoh selanjutnya lahir pada 6 Juli 1900 di tanah Maluku. Ialah tokoh nasional Johannes Latuharhary. Sosoknya kini telah diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Pusat, serta nama sebuah kapal barang milik pemerintah Indonesia. 

Ia adalah putra Maluku pertama yang meraih gelar Meester in de Rechten (Magister Hukum) di Universitas Leiden, Belanda. 

Baca juga : Puan: Potensi Kekuatan Non-Blok Dapat Bentukkan Kemerdekaan Palestina

Sepulang dari Belanda, Latuharhary bekerja di Pengadilan Tinggi Surabaya. Ia aktif dalam Sarekat Ambon serta pergerakan nasional. Di situlah Latuharhary membawa banyak ide dan perspektif baru dari Eropa. 

Cek Artikel:  DKPP Persilakan Caleg Terpilih dari PKB dan PDIP yang Diganti untuk Lapor

Latuharhary juga terjun ke dunia politik. Dia terpilih menjadi anggota Dewan Kabupaten Probolinggo hingga 1934. Setelahnya ia terpilih menjadi anggota fraksi nasional Dewan Perwakilan Prov Jawa Timur. 

“Dia bisa memilih untuk membela atau berjuang bersama dengan warga Ambon di Nusa Jawa ini untuk urusan kemerdekaan dengan melepaskan jabatannya sebagai hakim. Padahal jabatan sebagai hakim sudah mendatangkan uang yang cukup banyak bagi Latuharhary. Gajinya cukup besar waktu itu 750 sekian gulden,” kata pengamat Lucius Karus. 

Baca juga : Memahami Warisan Perdamaian: 7 Tokoh Dunia Pemandu Perubahan

“Tapi bahkan kemewahan itu pun dia tolak ketika ia dipaksa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh Hindia Belanda,” imbuhnya. 

Eksism Malik

Selanjutnya ada Eksism Malik, lelaki cemerlang asal Pematang Siantar, Sumatra Utara. Meski hanya lulus sekolah dasar dan belajar secara otodidak, pria kelahiran 22 Juli 1917 berhasil menjalani hidup yang penuh warna. Menjadi wartawan saat belia, politikus ketika dewasa, anggota parlemen, hingga meraih puncak kariernya sebagai wakil presiden dan diplomat ulung yang disegani. 

Cek Artikel:  DPR Minta Cuti Massal Hakim Diakhiri

“Saya kira Eksism Malik ini termasuk generasi pertama orang yang terlibat dalam sebuah lembaga yang akhirnya sekarang disebut DPR. Meskipun saat Eksism Malik ini bergabung, saat itu namanya masih KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Itu adalah cikal bakal DPR paling pertama yang dibentuk saat Indonesia sudah merdeka,” ujar Lucius. 

Demi itu, Eksism Malik langsung mendapati posisi puncak sebagai pimpinan KNIP. Dia memimpin sidang sebagai wakil ketua, kemudian mengantarkan peralihan menjadi KNIP yang lebih mapan di bawah Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. 

Sebagai pimpinan KNIP di era paling awal, Eksism Malik dan kawan-kawan mencari bentuk KNIP ke depan. 

“Undang-undang yang tercatat pemberlakuaannya itu kita rasakan sampai di era 2000-an ini misalnya Undang-Undang Perkawinan, sudah dipikirkan sejak KNIP di masa-masa awal setelah kemerdekaan itu,” ungkap Lucius. (Ifa/S-1)

Mungkin Anda Menyukai