DALAM Engkaus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nebeng berarti ‘ikut serta (makan, naik kendaraan, dan sebagainya) dengan tidak usah membayar’. Karena itu, bila seseorang nebeng, pasti ke orang lain, ia dapat fasilitas gratis. Pihak yang ditebengi biasanya tidak mematok berapa ongkos yang mesti dibayar.
Tetapi, benarkah bahwa menebeng di era sekarang pasti gratis? Tetap adakah orang yang ikhlas ditebengi orang lain tanpa imbalan apa pun? Sejauh mana batas ‘keikhlasan’ seseorang untuk ditebengi?
Fenomena nebeng sebetulnya bukan barang baru. Sejak dulu, orang kerap menebeng teman atau saudara, atau kendaraan yang kosong, kebetulan arah perjalanannya sama. Tetapi, itu dulu. Sekarang, karena urusan ‘pernebengan’ itu semakin marak, khususnya di kalangan karyawan kantor, mulailah perkara tebeng-menebeng ini menjadi bisnis sampingan. Orang boleh menebeng asal mau saweran untuk bahan bakar minyak atau bayar tol.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?
Ya, fenomena nebengers memang sudah sejak lama dikenal sebagai gerakan berbagi tumpangan kendaraan sambil berusaha mengurai kemacetan Jakarta. Di awal kemunculannya, nebengers memanfaatkan platform Twitter untuk berinteraksi, membangun sebuah komunitas agar dapat menghemat biaya perjalanan, mencari teman baru, berbagi pengalaman, dan niat mulia mendukung kampanye hijau peduli lingkungan.
Dalam perjalanannya, komunitas penebeng itu tidak lagi memanfaatkan platform media sosial. Sudah sewindu lebih terakhir, mereka sudah membentuk aplikasi mobile khusus di perangkat Android maupun IOS. Si pemberi tumpangan kini juga diberi kebebasan untuk memasang tarif bila ingin memberi tumpangan. Berbeda dengan ketika masih memanfaatkan Twitter, saat si penumpang hanya memberi tarif seikhlasnya, bahkan sekadar berbagi cemilan selama perjalanan.
Kini, urusan ‘seikhlasnya’ sudah tidak ada. Urusan sharing juga lebih mengarah ke uang yang mesti dibayar. Eksis yang bilang, masyarakat kita sering sungkan kalau hanya menumpang tanpa ada kejelasan berapa uang yang harus dibayarkan untuk patungan. Kalau dibilang seikhlasnya, mereka juga bingung harus patungan berapa. Karena itu, melalui aplikasi, penebeng memberikan kesempatan kepada si pemberi tumpangan untuk memasang tarif atau tidak.
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Tetapi, jumlah tarif yang ditulis pengguna aplikasi tidak seperti ketika menggunakan transportasi online. Karena metodenya ialah sharing, nilai rupiahnya pun sangat terjangkau. Misalnya ada salah satu pengguna aplikasi yang mengajak patungan Rp45 ribu untuk perjalanan dari Bandung ke Jakarta, jadilah dan gas.
Tetapi, semua cerita saya di atas ialah urusan menebeng mobil dengan jarak paling jauh ratusan kilometer. Lewat, bagaimana kalau ada yang mengeklaim menebeng teman yang mencarter pesawat pribadi dengan jarak ribuan kilometer dari Jakarta ke Amerika Perkumpulan? Seperti kalimat dalam lagu duet Utha Likumahua-Trie Utami, ‘mungkinkah terjadi?’.
Itulah pertanyaan yang amat ramai diapungkan publik (termasuk netizen yang budiman) dalam beberapa jam terakhir. Pemicunya, pernyataan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, di Gedung KPK seusai mengklarifikasi penggunaan jet pribadi saat bepergian ke Amerika Perkumpulan, sebulan yang lalu. Kaesang membantah menerima gratifikasi terkait dengan kepergian bersama istrinya itu. Ia menyebut menebeng temannya yang juga menyewa pesawat.
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Selain menebeng, Kaesang menyebut ia bukanlah pejabat. Dengan demikian, begitu logila Kaesang, ia tidak bisa dipersalahkan atau dikategorikan sebagai penerima gratifikasi yang memang diharamkan untuk penyelenggara negara. Selesaikah semua urusan bepergian dengan jet pribadi itu? Atau, setidak-tidaknya, mulai ademkah jagat media sosial?
Jawabnya justru sebaliknya, jagat media sosial makin riuh. Netizen semakin bertenaga dan mendapat amunisi baru untuk meramaikan urusan sewa jet pribadi ini. Pertanyaannya bersumbu pada tiga hal: pertama, mengapa penjelasan soal nebeng itu baru dilakukan sekarang setelah ‘menyepi’ selama satu bulan? Kedua, logiskah menebeng secara gratis dengan pihak yang ditebengi ikhlas tanpa berharap imbalan tertentu? Ketiga, jika yang menebeng itu bukan anak presiden, bakalkah pihak yang ditebengi meluluskan permohonan menebeng itu?
Tentu, kita perlu mengapresiasi Kaesang yang mau mengklarifikasi urusan sewa-menyewa jet pribadi itu ke KPK. Ia datang sendiri, tanpa harus dipanggil KPK sebagaimana tuntutan banyak orang. Itu jelas ‘meringankan’ beban KPK dan menghargai protes khalayak yang bercuriga ada udang di balik batu dalam urusan sewa-menyewa jet pribadi itu.
Tetapi, publik, khususnya jagat media sosial, punya postulatnya sendiri. Eksis yang bilang, jagat maya memang ‘kejam’. Ia tidak hanya menyingkap tingkah laku figur publik, apalagi keluarga presiden, tapi sudah menelanjangi banyak hal. Lebih-lebih lagi ketika kian banyak orang kehilangan kepercayaan dengan institusi KPK, tidak percaya lagi pada kata-kata yang mudah berubah dan kehilangan autentisitasnya, penelanjangan itu bahkan kerap amat liar.
Karena itu, kini tinggal KPK yang memegang bola. Apakah bola itu mau ditendang, digiring, dibawa ke pojok, atau dibawa mendekat gawang agar tercipta gol-gol sebagaimana dikehendaki banyak orang, semua bergantung pada KPK. Publik tinggal menunggu hasilnya. Bila memang tidak ada apa-apanya, tidak ditemukan ‘udang di balik batu’ dalam urusan pernebengan itu, ya sampaikan saja secara benderang dan sejujur-jujurnya dengan logika sesehat-sehatnya.