Mencoblos dengan Nurani

Mencoblos dengan Nurani
(MI/Seno)

RAGAM ujian demokrasi telah menempatkan Pemilu 2024 di persimpangan jalan, yakni antara integritas dan manipulasi. Sederet indikasi intervensi menghantui ruang publik, menerbitkan kegelisahan dan bahkan sinisme tentang masa depan demokrasi di Indonesia.

Informasi-berita mengenai penyalahgunaan sumber daya negara, intimidasi tokoh dan pemilih, serta penggunaan aparat sipil dan militer terus bermunculan. Bisik-bisik intervensi tidak lagi hanya di bilik-bilik kekuasaan, tetapi telah mewujud di ruang publik, mengganggu akal budi dan nurani kolektif kita.

Ketika para aparat justru menjadi alat untuk memengaruhi pilihan, ketika mereka seharusnya melayani dan melindungi hak setiap warga untuk memilih secara bebas dan adil, maka terjadi pengkhianatan terhadap mandat konstitusi. Penggunaan sumber daya negara dalam kampanye politik—seolah-olah kas negara adalah dompet pribadi—terang benderang merupakan cermin bagaimana kekuasaan dapat memerkosa demokrasi.

Baca juga : Serempak Niscayakan Perubahan

Singkat kata, intervensi-intervensi ini tentu bukan lagi sekadar pelanggaran terhadap hukum, tetapi juga telah menjadi serangan langsung terhadap fondasi demokrasi kita: nilai-nilai etis-kolektif di atas mana konstitusi dibangun.

Tetapi, di tengah kekecewaan dan kepahitan ini, tetap kita berharap pada akal budi dan hati nurani pemilih. Karena, itu adalah benteng terakhir yang diandalkan akan mampu mengatasi berbagai intervensi eksternal sehingga demokrasi kita bertahan dan berkonsolidasi.

 

Baca juga : Potret Suram Perwasitan Asia

Self-efficacy

Self-efficacy , atau keyakinan pada kemampuan diri untuk mengambil tindakan dan mencapai hasil yang diinginkan, menjadi sangat penting dalam konteks ini. Dengan efikasi-diri, seseorang menjadi berani dan dan mampu memilih dengan akal budi atau hati nurani.

Cek Artikel:  Jihad Ekonomi dan Persoalan Kemandirian

Dalam konteks pemilu, efikasi-diri pemilih menjadi krusial dalam memastikan bahwa mereka mampu menentang tekanan eksternal—seperti intimidasi atau politik uang—dan membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan pribadi mereka. Dengan demikian, ketika sebagian besar pemilih percaya bahwa suaranya memiliki kekuatan, bahwa tindakannya di bilik suara dapat mengubah nasib bangsa, maka itu berarti demokrasi tetap mendapatkan tempat di negeri ini.

Baca juga : Orkestrasi Moral

Efikasi-diri diandaikan meningkat melalui empat sumber utama: pengalaman langsung, pengalaman pengamatan (modeling), persuasi sosial, dan kondisi emosi. Pertama, dalam konteks pemilu, pengalaman langsung dari pemilu sebelumnya, di mana integritas dan kebebasan dipertahankan, dapat meningkatkan keyakinan pemilih dalam kemampuan mereka untuk berkontribusi pada hasil yang adil.

Kedua, pengamatan terhadap individu, atau kelompok yang berhasil menentang intimidasi dan politik uang memberikan model perilaku yang dapat ditiru. Ketiga, persuasi sosial, seperti kampanye kesadaran yang menekankan pentingnya suara setiap individu, dapat memperkuat keyakinan ini.

Eksispun yang keempat, kondisi emosi positif, yang diperkuat oleh lingkungan yang mendukung dan bebas dari intimidasi, akan meningkatkan kepercayaan pemilih pada efikasi pribadi mereka.

Baca juga : Greenflation dan Kompleksitas Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Empat pemilu terdahulu di Indonesia—2004, 2009, 2014, dan 2019—menjadi contoh pertama dan paling relevan dalam diskusi ini.

Kesemua pemilu menawarkan bukti konkret bagaimana pemilih, melalui proses demokrasi, telah menunjukkan keberanian untuk memilih berdasarkan akal budi dan hati nurani, mengatasi berbagai bentuk intervensi dan manipulasi.

Keempat pemilu ini menegaskan bahwa, meskipun tantangan demokrasi selalu ada, betapa kemajuan dan konsolidasi demokrasi dapat dicapai ketika pemilih bergerak berdasarkan keyakinan pada nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.

Cek Artikel:  Presiden Rakyat

Baca juga : Menunggu Persembahan Terakhir Juergen Klopp

Kita juga bisa melihat di beberapa negara lain. Misalnya, dalam pemilu India, sering kali terdapat laporan tentang politik uang dan ‘serangan fajar’. Tetapi, banyak pemilih menunjukkan keberanian moral dengan menerima bantuan yang diberikan tetapi tetap memilih sesuai dengan hati nurani mereka di bilik suara.

Fenomena serupa juga tercatat di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin, meskipun ada tekanan dan upaya manipulasi pemilu, pemilih berani memilih kandidat yang benar-benar mereka percayai, bukan mereka yang memberikan insentif material. Di Filipina, selama Pemilu 1986 yang mengakhiri kekuasaan Ferdinand Marcos, warga negara yang termotivasi oleh keinginan kuat untuk perubahan memilih Corazon Aquino meskipun menghadapi ancaman dan manipulasi.

 

Baca juga : Kondusifat Konstitusi dan Visi Politik Luar Negeri Para Calon Presiden 2024

Legitimasi

Kalau pemilih berhasil mengatasi rasa takut dan godaan materiel, yakni memilih atas dasar akal budi dan hati nurani, maka barulah kita berharap pada hasil pemilu yang legitimate , bahwa hasil pemilu bukan sekadar formalitas administratif, tetapi menjadi nyawa dari demokrasi itu sendiri. Karena, tanpa kepercayaan publik pada integritas hasil pemilu, seluruh struktur demokrasi pasti terancam.

Demi legitimasi ini, para petugas pemilu dan aparat keamanan tentu saja juga memerlukan efikasi-diri. Mereka juga harus sampai pada keyakinan bahwa mereka memegang peranan krusial dalam menjamin proses pemilu yang adil dan jujur, dan berani menghadapi segala karena amanah negara di pundak mereka.

Cek Artikel:  Penilaian, Proses Penalaran dari Bukti

Baca juga : Daya Juang

Mereka juga harus diyakinkan, betapa akal budi dan hati nurani dalam melaksanakan tugas bukan hanya tuntutan profesi, melainkan panggilan untuk menjadi bagian dari sejarah demokratisasi Indonesia. Keberanian untuk bertindak sesuai dengan prinsip keadilan dan kejujuran akan menjadi dasar bagi legitimasi dan keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Demikian pula dengan masyarakat sipil. Keberanian untuk mengalahkan egosentrisme dan memenangkan nurani kolektif akan membawa kalangan terdidik untuk aktif dalam mengawal proses pemungutan, penghitungan, dan pengesahan hasil pemilu sampai di tingkat nasional.

Observasi, pemantauan, dan pelaporan yang independen dan objektif oleh masyarakat sipil merupakan salah satu benteng terkuat terhadap upaya manipulasi dan kecurangan. Ini akan menjadi manifestasi dari partisipasi demokrasi yang sebenarnya, bukan hanya di bilik suara, tapi juga dalam memastikan bahwa setiap tahapan pemilu dilaksanakan dengan integritas.

Baca juga : Dewan Keamanan PBB dalam Konflik Israel-Palestina

Terakhir, kita semua berharap dan berdoa agar proses pemilu, dari awal hingga akhir, berlangsung dalam keadaan aman dan damai. Kita menginginkan pemilu yang tidak hanya menciptakan pemenang, tapi juga memperkuat fondasi demokrasi dan kesatuan sosial.

Pemilu 2024 ini akan menjadi cermin bagi kita terkait nilai-nilai demokrasi yang tertera dalam konstitusi—kebebasan, keadilan, dan gotong royong. Atau, bisa jadi juga, di tengah ragam intervensi yang bisa meluluhlantakkan akal sehat, ia akan menjadi titik balik, momentum bagi retransisi dan pengerdilan demokrasi.

 

Mungkin Anda Menyukai