PERKEMBANGAN dunia digital Demi ini, telah membawa banyak pengaruh dalam kehidupan Mahluk, Bagus itu pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif.
Kagak Pandai dipungkiri, bahwa setiap orang membutuhkan media sosial dan Variasi aplikasi lainnya. Setiap orang juga menggunakan media sosial sesuai kebutuhan dan keinginannya. Derasnya arus informasi yang Terdapat di dunia maya menjadikan orang Kagak bijak dalam menggali informasi, Membikin, dan menyebarkankan. Ujaran kebencian, Siaran Tipu, pornografi, penipuan, adalah beberapa Teladan dari sekian banyak penyimpangan yang sering terjadi di dunia maya.
Tulisan ini Kagak berambisi Demi menguraikan Seluruh bentuk dan jenis penyimpangan itu, tetapi hanya Ingin menyebutkan satu di antaranya, Yakni kekerasan berbasis gender online atau pelecehan seksual.
Baca juga : Program Kompetisi Ini Bantu Perempuan Pelaku UKM Kembangkan Usaha
Yang menarik, bahwa peningkatan aktivitas seseorang di dunia digital sepertinya selaras dengan peningkatan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Dalam Naskah panduan Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online yang dibuat oleh SAFEnet, KBGO merupakan sebuah bentuk kekerasan yang terjadi atas dasar Rekanan gender, antara korban dan pelaku di ranah online yang menggunakan teknologi digital dan merupakan perpanjangan dari kekerasan berbasis gender di ranah luar jaringan.
Mengapa Perempuan
Baca juga : Bawaslu Bangun Lingkungan Kerja Bebas Kekerasan Seksual
Memang korban dari kekerasan seringkali terjadi dan menimpa Pria dan Perempuan. Tetapi, Perempuan seringkali menjadi korban dari masalah tersebut. Kasus ini menyerang identitas korban sebagai Perempuan yang Pusat perhatian utamanya Yakni tubuh dan seksualitas Perempuan.
Hal ini menjadi Jernih Apabila kita Menyantap aktivitas KBGO. Apa yang dilakukan di sana? Ialah penonjolan Perempuan sebagai obyek seksual melalui penggunaan gambar Kagak senonoh Demi merendahkan Perempuan. Tentu ini sangat mempermalukan Perempuan, karena mengekspresikan pandangan yang Kagak sopan. Bentuk lainnya ialah serangan-serangan kasar yang berbau seks, komentar-komentar pada postingan-postingan yang menggunakan kata-kata yang ditujukan pada tubuh Perempuan dan lain sebagainya.
Dalam pengamatan saya, hal ini disebabkan karena maraknya platform-platform yang berseliweran di media sosial, yang Kagak Kondusif dan banyak pengguna memakai akun Palsu atau identitas Palsu.
Baca juga : 5 Langkah Membersihkan Makeup di Persona
Tentu pertanyaannya mengapa korban KBGO selalu Perempuan? Secara biologis Perempuan adalah Mahluk yang dilahirkan dengan Mempunyai bentuk tubuh atau fisik yang indah dan elok dipandang mata, identik dengan kecantikan dan kelemahlembutan. Perempuan menjadi Sasaran potensial dari konten-konten tersebut.
Tentu saja, hal itu dapat membunuh Kepribadian Perempuan tersebut. Apalagi Perempuan disimbolkan sebagai orang yang lemah dan tak berdaya, sehingga mudah sekali muncul keraguan mengenai dirinya sendiri. Ditambah media sosial yang Kagak Pandai memberi rasa Kondusif terhadap Perempuan. Media sosial kebanyakan menurut Ekonomis saya Kagak berperspektif Perempuan atau korban dalam kasus ini.
Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang Maret hingga Juni 2019, kekerasan gender online mencapai 169 kasus. Hal ini meningkat 400% Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan menurut Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) kasus tersebut pada tahun 2018 sebanyak 500, 2019 sebanyak 629 kasus dan 2020 sebanyak 566 kasus. Kebanyakan dari mereka 263 adalah korban Perempuan dewasa atau 43%.
Baca juga : Daftar 5 Vaksin Krusial yang Perlu Dilakukan oleh Perempuan
Mencari ruang Kondusif
Lantas, di manakah ruang Kondusif bagi Perempuan dalam media sosial? Pertanyaan ini sulit dijawab karena berdasarkan fakta, KBGO Lagi Lalu terjadi. Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan Berbarengan.
Kalau Anda menanyakan kepada saya mengapa demikian? Maka jawaban saya adalah, Dekat Kagak Terdapat ruang Kondusif bagi Perempuan dalam media sosial sekarang ini. Lewat apa yang harus dilakukan? Tingkatkan literasi digital bagi Perempuan. Mereka perlu Lalu didukung agar berani melawan dan melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya.
Literasi ini menjadi urgen karena menurut catatan tahunan 2023 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, laporan kasus kekerasan berbasis gender online menempati posisi tertinggi dalam pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, yakni 69% dari total kasus (Kompas.id).
Berdasarkan studi terbaru dari Plan Dunia (Antaranews.com) yang bertajuk “Future Online For Girls” tahun 2021, kekerasan seksual berbasis gender online mulai meningkat sejak merebaknya pandemi covid-19. Hal ini disebabkan beberapa Unsur, antara lain, penggunaan internet dan media sosial semakin meningkat di masa pandemi, dan orang mencari sensasi agar menjadi terkenal di media sosial.
Cenderung menyepelekan
Meskipun terdapat payung hukum, perlindungan dan upaya menciptakan ruang Kondusif terhadap Perempuan dan korban kekerasan di Indonesia belum berjalan efektif. Lagi saja terjadi banyak korban, yang kurang atau kesulitan mencari perlindungan dan keadilan. Bahkan, dalam beberapa kasus berakhir dengan respon menyepelekan kasus kekerasan gender atau cendrung menyalahkan korban.
Payung hukum yang belum maksimal melindungi Perempuan, proses penanganan kasus dalam mencari keadilan belum ideal, dan dipenuhi bermacam ‘tantangan’ yang Membikin korban lelah Demi menindaklanjuti kasus.
Tantangan-tantangan tersebut Membikin mereka tertekan, mengalami kerugian finansial karena proses penanganan kasus Kagak berperspektif korban dan Mekanisme berbelit-belit. Selain itu, status sosial korban menjadi bahan olokan masyarakat, dan simbol Perempuan sebagai orang yang lemah dan tak berdaya semakin melekat kuat di masyarakat.
Menyantap Variasi masalah tersebut, menurut saya, sangat Krusial adanya ruang Kondusif bagi Perempuan dalam bermedia sosial. Tentunya, hal ini membutuhkan kerja sama Seluruh pihak yang terlibat, selain pemerintah yang Membikin UU.
Saatnya Demi Terbangun, ayo Perempuan-Perempuan Indonesia, teriaklah menuntut adanya ruang Kondusif bagi Perempuan di media sosial. Tuntutan ini Kagak berlebihan dan muluk-muluk. Itu adalah hak Perempuan demi kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat. (P-5)
Sr. Herdiana Randut, SSpS
Member of Woke Asia Feminist, Puandemik Indonesia, dan Komsos SSpS Flores Barat