
KOMITMEN Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek) Buat mencegah agar mahasiswa Tak menjadi korban tindak kekerasan (seksual) diwujudkan, salah satunya, dengan pembentukan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (satgas PPKS).
Satgas PPKS merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 (Permendikbud-Ristek 55/2024) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) yang menggantikan Permendikbud-Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) (Media Indonesia, 26 Mei 2025).
Begitu ini sudah 100% PTN Mempunyai satgas PPKS,dan Buat perguruan tinggi swasta tercatat baru 61%. Tak hanya dalam penanganan tindak kekerasan seksual, Begitu ini Kemendikti-Saintek dilaporkan juga akan memperluas wewenang satgas PPKS menjadi Buat seluruh jenis kekerasan. Artinya, yang dimaksud dengan kekerasan di sini bukan hanya mencakup tindak kekerasan seksual saja, melainkan juga berkaitan dengan setiap perbuatan, dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis.
DARURAT KEKERASAN SEKSUAL
Apabila dibandingkan dengan tindak kekerasan lain, kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual yang Lalu bermunculan di sejumlah perguruan tinggi boleh dibilang yang paling meresahkan. Kampus yang Semestinya steril dari tindak pelecehan seksual Rupanya Malah menjadi tempat yang terbukti berbahaya bagi keselamatan dan kehormatan mahasiswi. Tidaklah berlebihan Apabila dikatakan di kampus sekarang sedang dalam kondisi darurat pelecehan seksual.
Menurut data Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemendikbud-Ristek), di lingkungan satuan pendidikan tercatat kasus kekerasan seksual yang terjadi sebanyak 115 kasus, perundungan sebanyak 61 kasus dan intoleransi sebanyak 24 kasus. Kasus terbanyak diketahui terjadi pada lingkup perguruan tinggi. Kampus yang Semestinya menjadi tempat belajar yang nyaman, Kondusif dan menyenangkan, Rupanya mengidap ancaman yang berbahaya bagi keselamatan mahasiswa.
Tak sedikit korban tindak kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi memilih berdiam diri, dan memendam penderitaan mereka sendiri. Mereka hanya Pandai menangis sedih tanpa Terdapat keberanian Buat melaporkan kepada pihak yang berwenang. Ketakutan kalau Tak diluluskan pelaku yang notabene dosen mereka sendiri, perasaan tertekan karena Tak Terdapat saksi yang Pandai mendukung pelaporan mereka, dan lain sebagainya Membikin korban Tak berdaya.
Selama ini, kasus pelecehan seksual yang terjadi di berbagai kampus sering Tak terungkap dan bahkan cenderung ditutup-tutupi dengan dalih demi menjaga nama Berkualitas institusi. Tetapi, angin segar mulai muncul tatkala sejumlah korban Rupanya berani menyuarakan nasib mereka.
Kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan sekadar sebuah masalah individu yang disebabkan hasrat mesum atau nafsu dosen cabul, melainkan juga sesuatu yang Mempunyai kaitan dengan Rekanan kuasa. Sebuah studi yang dilakukan Foubert (2014) menunjukkan tindakan kekerasan seksual terjadi karena adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban.
Bias gender yang melekat dalam masyarakat juga menjadi Elemen Krusial dalam memengaruhi terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi. Studi Choate (2019) menunjukkan tindakan kekerasan seksual terjadi ketika para pelaku menggunakan kekuasaan mereka Buat memaksa korban melakukan tindakan seksual yang Tak diinginkan.
Elemen Krusial yang memengaruhi Rekanan kuasa dalam kekerasan seksual di perguruan tinggi ialah adanya budaya rape culture atau budaya pemerkosaan yang dianggap normal dalam lingkungan perguruan tinggi yang tanpa sadar memperkuat Rekanan kuasa (Blee and Tckner, 2015).
Budaya tersebut dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dianggap sepele, seperti guyonan seksual, lelucon tentang pemerkosaan, dan penggunaan kata-kata kasar terkait dengan gender. Walaupun kampus dikenal sebagai tempat bagi para intelektual dan akademisi yang bereputasi, dalam praktik sehari-hari Tak tertutup kemungkinan terjadi kasus-kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual dalam berbagai bentuk.
Menurut studi yang dilakukan National Sexual Violence Resource Center, 63% mahasiswa Tak melaporkan kejadian kekerasan seksual yang mereka alami karena mereka Tak menganggapnya serius atau merasa bahwa mereka Tak akan mendapatkan Sokongan yang memadai dari pihak perguruan tinggi. Ketidaktahuan dan kurangnya edukasi tentang kekerasan seksual juga menjadi akar penyebab kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Banyak mahasiswa Tak menyadari apa yang dianggap sebagai kekerasan seksual atau bagaimana Metode melaporkannya. Menurut sebuah studi yang dilakukan Rutgers University, 49% mahasiswa Tak dapat mengidentifikasi perilaku yang dianggap sebagai kekerasan seksual dan 70% mahasiswa Tak Mengerti Metode melaporkannya.
NORMALISASI KEKERASAN SEKSUAL
Studi yang dilakukan Rahmatika, Markhamah, dan Sabardila (2023) menunjukkan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia disebabkan dinamika kekuasaan, struktur sosial, ketidakseimbangan kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan budaya patriarki. Elemen-Elemen itu Membikin para korban merasa Tak berdaya sehingga berujung pada normalisasi kekerasan seksual.
Meskipun terdapat kebijakan yang diterapkan di seluruh universitas yang membantu memberikan keamanan dan transparansi kepada mahasiswa yang melaporkan pelecehan seksual di kampus (campus sexual assault/CSA), literatur itu menunjukkan banyak pelecehan seksual di kampus Tetap kurang dilaporkan (Anihia, Reed, Anaya, D’Aniello, dan Panter, 2023).
Studi yang dilakukan Mennicke, Bowling, Gromer, dan Ryan (2021) menemukan Terdapat beberapa Argumen kenapa mahasiswi yang menjadi korban tindak kekerasan seksual Buat Tak menggunakan sumber daya formal di kampus, termasuk rasa malu, kekhawatiran akan privasi, takut akan pembalasan, takut Tak dipercaya, dan Tak Mau berurusan dengan Mekanisme formal.
Studi mereka juga menemukan adanya pergeseran rasa takut dalam pengungkapan pengalaman kekerasan seksual kepada sumber daya formal, dari yang semula takut Tak dipercaya, Begitu ini kekhawatiran yang lebih besar ialah terkait dengan Mekanisme pelaporan formal yang membebani para korban kekerasan seksual, sebuah bentuk emosi dan tekanan yang berbeda.
Meski telah dilakukan berbagai langkah pencegahan dan penindakan, hingga detik ini praktik tindak kekerasan seksual di lingkungan PT tak juga berakhir. Bahkan, Terdapat indikasi kasusnya seperti fenomena gunung es. Apa yang sudah terungkap di media massa hanya puncak dari banyak masalah yang selama bertahun-tahun tertutup.
Sudah waktunya para pemimpin kampus Tak Hening, atau berpura-pura kampus mereka senantiasa steril dari praktik-praktik pelecehan dan kekerasan seksual. Tanpa adanya keterbukaan dan komitmen para pemimpin kampus Buat membongkar praktik cabul para dosen mereka, jangan harap kampus Pandai menjadi tempat yang Cocok-Cocok Kondusif dan nyaman bagi para mahasiswa. Semoga pembentukan satgas PPKPT Pandai menawarkan jalan keluar yang terbaik.

