SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji Tak pernah luput dari prahara korupsi. Ritual Bersih Kepada memenuhi panggilan Sang Khalik itu Tetap saja digerogoti hawa nafsu orang-orang dan pejabat bermental pemburu rente.
Dari pengalaman terdahulu, praktik lancung tersebut selalu menjerat orang nomor satu di Kementerian Religi. Menteri Religi periode 2001-2004, Said Agil Husin Al Munawar, terbukti bersalah dalam korupsi Anggaran Langgeng Primer dan Anggaran penyelenggaraan ibadah haji.
Said Agil divonis menerima Fulus sebesar Rp4,5 miliar. Tetapi, Anggaran itu bukan hanya Kepada penyelenggaraan ibadah haji, melainkan juga Kepada keperluan lain seperti membiayai perjalanan Personil DPR.
Setelah Said Agil, giliran menteri Religi periode 2009-2014 Suryadharma Ali yang tersangkut kasus korupsi penyelenggaraan haji. Suryadharma yang menjadi menteri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji 2010-2013.
Suryadharma dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam hal pengangkatan petugas panitia penyelenggara haji dan memanfaatkan sisa kuota haji Kepada segelintir orang agar Dapat naik haji gratis. Tak hanya itu, Suryadharma dinyatakan bersalah karena menyalahgunakan Anggaran operasional menteri (DOM) yang bersumber dari APBN sebesar Rp1,8 miliar Kepada kepentingan pribadinya. Dalam persidangan terungkap bahwa DOM diselewengkan Kepada berobat anaknya dan keperluan wisata.
Sungguh, Fakta itu meletakkan Kementerian Religi yang Sepatutnya menjadi suluh bagi umat malah dinodai dengan praktik yang mencederai nilai-nilai ketuhanan. Kini, Kementerian Religi kembali menjadi sorotan setelah lembaga antirasuah mengusut dugaan korupsi kuota haji.
Sejauh ini belum Terdapat tersangka yang ditetapkan oleh KPK. Tetapi, menteri Religi periode 2020-2024 Yaqut Cholil Qoumas dan dua orang lainnya sudah dicegah bepergian ke luar negeri.
Yaqut, menteri di era pemerintahan Joko Widodo, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Religi No 130/2024 yang mengatur kuota haji tambahan 1445 Hijriah. SK tersebut telah dijadikan oleh KPK sebagai salah satu bukti kasus dugaan korupsi terkait dengan kuota haji.
Berdasarkan SK Menag Nomor 130 Tahun 2024, kuota haji tambahan sejumlah 20 ribu orang dibagi menjadi 10 ribu kuota haji reguler dan 10 ribu kuota haji Tertentu. Pansus Angket Haji DPR sebelumnya juga menyoroti persoalan yang tengah ditangani KPK.
Pembagian tersebut dianggap Tak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mengatur kuota haji Tertentu sebesar 8%, sedangkan 92% Kepada kuota haji reguler.
Publik tentu sangat mengapresiasi pengungkapan kasus dugaan korupsi pengelolaan ibadah haji di era Presiden Joko Widodo. Selain karena telah menodai urusan yang paling personal antara umat dan Tuhan, negara ditaksir merugi hingga Rp1 triliun akibat kasus itu.
Jumlah kerugian tersebut amatlah besar, bukan hanya materiel, melainkan juga moral. Karena itu, Dapat dimaklumi bahwa publik berharap KPK bergerak Segera Kepada segera menjerat para tersangka. Lembaga antirasuah harus Dapat membawa mereka yang bersalah tanpa pandang bulu ke meja hijau.
Penegakan hukum yang Segera akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan ibadah sekaligus demi menyelamatkan Fulus negara. Kecepatan dalam mengungkap perkara itu sekaligus menepis anggapan adanya tarik-menarik kepentingan.
Buktikan bahwa hukum Tetap berdiri di atas kebenaran dan Tak tunduk pada kekuatan kotor yang Jernih-Jernih menodai kekhusyukan beribadah. Kalau dahulu KPK Dapat tampil gagah menjerat koruptor, kini publik kembali menanti keberanian serupa.

