Menangis untuk Bisnis

SETIAP orang pasti pernah menangis. Eksis yang menangis karena duka atau kelewat gembira, ada pula yang mengucurkan air mata lantaran meratapi nasib sang idola.

Psikolog Belanda Ad Vingerhoets dari Universitas Tilburg menyatakan manusia ialah spesies yang menangis karena alasan emosional. Memang, pernah ada pendapat bahwa gajah juga bisa menangis ketika bersedih, tetapi pendapat ini gugur ketika diteliti lebih jauh.

Menangis hal yang jamak. Begitu lahir, bayi langsung menangis, bahkan dokter atau perawat berupaya membuatnya menangis jika dia tak menangis. Anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, laki-laki, perempuan juga menangis. Dalam lagunya bertitel Air Mata, Dewa 19 menulis lirik: Menangislah bila harus menangis… Karena kita semua manusia… Mahluk bisa terluka… Mahluk pasti menangis….

Yang barangkali membedakan ialah seberapa sering, segampang apa, seseorang menangis. Dilansir dari Healthline, sebuah penelitian pernah menunjukkan wanita menangis rata-rata 5,3 kali sebulan, sedangkan pria 1,3 kali sebulan.

Menangis tentu tak serta-merta. Eksis penyebab kenapa mata manusia membasah. Orang bisa menangis berlama-lama antara lain karena depresi, cemas, atau pengaruh pseudobulbar (gangguan saraf). Orang pun bisa menangis sesaat karena sedih, atau bersukacita yang luar biasa. Menangis sesaat itulah yang belakangan menghebohkan negeri ini.

Cek Artikel:  Pemilu Minus Eksisb

Itu aneh nan mengejutkan. Tak hanya satu dua orang, tangisan sesaat ini massal. Melanda banyak orang. Di TikTok dan platform lainnya, para user mengunggah video mereka tengah menangis. Mayoritas perempuan. Tak sedikit anak muda generasi Z.

Pemantik tangisan berjemaah itu ialah debat edisi kedua capres pada Minggu (7/1). Kok, bisa? Ya, mereka yang mengklaim pendukung Prabowo Subianto menangis karena sedih, tak tega, iba, capres idolanya diserang habis-habisan oleh Anies Baswedan dan Ganjar Prabowo di perdebatan. Mereka merasa serangan itu keterlaluan. Sama dengan perasaan Prabowo bahwa Anies dan Ganjar menyerang secara personal.

Fenomena ini sungguh membagongkan. Baru kali ini ada begitu banyak orang kompak menangis ketika jagoannya kedodoran di panggung debat pilpres. Kesedihan mereka luar biasa, empati mereka di luar takaran hingga tangisan pecah, sampai air mata tumpah.

Betulkah tangisan itu genuine, tidak palsu? Hanya mereka yang tahu. Yang pasti, menangis tak selamanya asli. Itulah kenapa leluhur kita membuat kiasan air mata buaya untuk menggambarkan tangisan seseorang karena pura-pura bersedih, bukan sedih beneran.

Tangisan bisa dibuat-buat. Itulah antara lain pekerjaan aktor dan aktris andal ketika membintangi film atau sinetron yang perlu adegan menangis. Tangisan mereka tak murni. Sekadar akting.

Cek Artikel:  Warisan Pak Lurah

Menangis bahkan bisa menjadi komoditas bisnis. Meski unik dan nyeleneh, ia menjanjikan keuntungan bagi orang yang ahli mengobral air mata. Di Asia Timur, bisnis pelayat profesional untuk menangis dalam acara perkabungan berkembang masif karena terkait dengan tradisi.

Pebisnis di sektor ini salah satunya perempuan Taiwan bernama Liu Chun-Lin. Dia laris manis diundang ke prosesi kematian untuk menangisi dan mendoakan jenazah. Mau tahu bayarannya? Tak kurang US$600 atau sekitar Rp9 juta. Lebih dari lumayan.

Eksis pula Dingding Mao, wanita Tiongkok yang awalnya hidup miskin karena terkena PHK berubah kaya karena dagang tangisan. Bahkan, ada event organizer khusus untuk menyebar banyak orang ke acara pemakaman. Cuan yang didulang pun tak main-main, bisa Rp300 jutaan.

Bisnis tangisan palsu juga merambah Inggris. Perintisnya Ian Robertson yang mendirikan perusahaan Rent-a Mourner. Dia mempekerjakan sekitar 20 pelayat jadi-jadian untuk menangis saat pemakaman.

Di Jepang, bisnis jasa menangis tak ketinggalan. Salah satunya dibesut Hiroki Terai. Bedanya, bisnis ini tak fokus pada urusan perkabungan, tapi mengajak orang lain meluapkan tangis dan menyediakan pria tampan untuk menghapus air mata mereka. Bisnis rui-katsu (mencari air mata) ini populer di kalangan wanita yang ingin meredakan stresnya.

Cek Artikel:  Pensiunan Akbar

Setahu saya, di negara kita, Indonesia, belum ada bisnis menangis baik untuk ritual kematian ataupun guna meredakan stres seseorang. Ndak tahu kalau demi politik elektoral. Jangan-jangan bisnis rekayasa tangisan untuk mengkampanyekan calon tertentu seolah dianiaya, seakan dizalimi, itu sudah ada. Bukankah masih banyak rakyat kita yang gampang terpedaya politik iba lalu memilih seseorang lantaran kasihan?

Saya juga ndak tahu apakah tangisan massal pendukung Prabowo di medsos buah dari setingan, skenario, rekayasa, atau bahkan bisnis. Mereka jelas dan pasti menyatakan tidak. Itu wajar-wajar saja, sah-sah saja. Sama sahnya, sama wajarnya, jika ada yang terheran-heran, terkaget-kaget, lalu mempertanyakan orkestrasi tangisan dan dramatisasi kesedihan itu.

Pun wajar dan sah ketika ada yang menyebut tujuan menangis ramai-ramai itu gagal total setelah Prabowo mengumbar amarah, mengumpat, pascadebat. Salah satu netizen, misalnya, menyorot perubahan perilaku Prabowo. Dia menulis, ”Berawal dari gemoy boy…Kemudian sad boy…Now..angry Boy!” Nah!

Mungkin Anda Menyukai