Menakar Uji Klinis Vaksin Covid-19 di Indonesia

Menakar Uji Klinis Vaksin Covid-19 di Indonesia
(Dok. Pribadi)

MENURUT data WHO, saat ini sudah tercatat kurang lebih 165 kandidat vaksin dikembangkan para ilmuwan di dunia dengan rincian 26 kandidat vaksin telah memasuki uji klinis dan 139 kandidat vaksin dalam uji preklinis pada manusia.

Penelitian dan pengembangan vaksin covid-19 sejatinya telah diinisiasi sejak awal Maret 2020, di saat para ilmuwan dunia berhasil mengurai susunan materi genetik dari virus SARS-CoV-2 pada Januari 2020.

Para ilmuwan berhasil mencapai lompatan yang signifi kan karena saat ini uji klinis dari beberapa kandidat vaksin telah memasuki uji klinis fase III. Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia melalui PT Biofarma telah menerima vaksin covid-19 yang dikembangkan perusahaan biofarmasi Sinovac Biotech Ltd dari Tiongkok. Vaksin yang diberi nama coronavac ini merupakan vaksin pertama di Indonesia yang direncanakan sebagai pilot project uji klinis fase III.

Watakistik vaksin covid-19

Pengembangan vaksin ialah proses yang kompleks dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, yang berbeda dari pengembangan obat-obatan konvensional.

Lazimnya, periode pengembangan vaksin membutuhkan waktu minimal 12-15 tahun. Waktu ini relatif pendek karena studi jangka panjang yang sesungguhnya pada manusia jarang dilakukan (biasanya dalam hitungan dekade).

Prinsip dasar dari semua jenis vaksin ialah memperkenalkan mikroorganisme patogen (antigen) baik itu virus maupun bakteri pada tubuh manusia. Dengan demikian, sistem imunitas tubuh mampu dirangsang di antaranya memproduksi antibodi memori yang spesifik terhadapnya.

Antibodi memori inilah yang nantinya akan bekerja ketika terjadi infeksi sesungguhnya oleh kuman patogen. Tujuan dan fokus dari uji klinis vaksin ialah menilai efektivitas vaksin untuk mencegah penyakit dengan efek samping minimal.

Oleh karena itu, dibutuhkan uji preklinis yang menitikberatkan pada non-human clinical trial (percobaan pada sel dan hewan coba) dan uji klinis fase I hingga IV.

MI/Seno

Ilustrasi Vaksid Covid-19.

 

Beberapa kriteria umum yang harus dipenuhi dalam memproduksi dan mengembangkan vaksin covid- 19. Pertama, faktor keamanan vaksin, yakni ketika digunakan, vaksin tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi pemakainya mengingat vaksin akan digunakan pada orang yang sehat atau tidak memiliki kontraindikasi medis.

Cek Artikel:  Milenial di Pusaran Istana

Kedua ialah kemampuan vaksin untuk merangsang respons imun tubuh secara efektif. Dengan terbentuknya respons imun yang adekuat setelah pemberian vaksin, virus SARS-CoV-2 yang dikenali dengan cepat pada saat pajanan infeksi diharapkan akan tereliminasi secara sempurna di dalam tubuh.

Ketiga, vaksin mampu bertahan pada suhu lingkungan sekitar sehingga ketika akan digunakan masih dalam kondisi yang baik. Enggak jarang vaksin ketika akan digunakan sudah tidak potensial karena telah terkontaminasi oleh lingkungan sekitarnya atau telah terurai komposisinya pada saat proses penyimpanan dan transportasi. Preparat vaksin sangat dipengaruhi suhu (rantai dingin/cold chain) yang ketat dan kelembapan udara agar tetap terjamin kualitasnya.

Uji klinis Sinovac

Pemerintah Indonesia memutuskan turut ambil bagian dalam uji klinis fase III vaksin covid-19 Sinovac/coronavac. Keputusan ini bisa jadi tepat. Tetapi, masyarakat seharusnya mendapatkan informasi yang jelas dan akurat mengenai alasan keikutsertaan Indonesia dalam uji klinis ini dan mengapa memilih Sinovac di antara kandidat vaksin lainnya.

Selain Indonesia, Sinovac Biotech Ltd juga menggandeng Instituto Butantan yang merupakan biofarmasi terbesar Brasil dalam pelaksanaan uji klinis fase III ini. #Terdapat beberapa alasan saintifi k yang mendukung pemilihan vaksin Sinovac. Pertama, vaksin Sinovac merupakan satu dari enam kandidat vaksin yang berhasil melewati uji klinis fase I/II di Tiongkok.

Dengan mengikutsertakan 743 responden, vaksin Sinovac memberikan hasil yang signifikan. Artinya berdasarkan data yang juga dipublikasikan, vaksin Sinovac memiliki profil aman dan tidak memiliki efek samping yangmembahayakan manusia dalam penggunaannya.

Apabila pada uji klinis fase I dan II lebih menitikberatkan pada penilaian jumlah dosis vaksin dan seberapa besar imunogenisitas (kemampuan sistem imun dalam respons terhadap vaksin), uji klinis fase III ialah cara untuk menginvestigasi dan melihat apakah responden yang mendapatkan vaksin lebih baik daripada mereka yang tidak.

Uji ini dilakukan secara acak dan menggunakan kelompok kontrol placebo (responden yang tidak mendapatkan vaksin).

Uji coba fase III ini juga dirancang untuk mendeteksi apabila terdapat efek samping langka dari penggunaan vaksin dan merupakan langkah terakhir sebelum vaksin disetujui penggunaannya untuk umum. Dengan demikian, untuk mendapatkan data yang bermakna secara statistik, uji coba fase III biasanya mencakup beberapa ratus hingga 10 ribu responden.

Cek Artikel:  Perppu No 2 Mengertin 2017 Ancaman Demokrasi

AFP

Vaksin Sinovac.

 

Setelah uji coba fase III selesai, otoritas Food Drug Administration (FDA) AS akan mengumpulkan panel ilmuwan independen untuk meninjau data tersebut. Panel memutuskan, berdasarkan bukti keberhasilan dan prevalensi efek samping, jika manfaat yang ditunjukkan melebihi risiko yang cukup untuk menyetujui penggunaannya secara luas. Menurut FDA, hanya sekitar 25%-30% dari total uji coba fase III yang diajukan disetujui.

Argumen kedua ialah vaksin Sinovac menggunakan bahan dasar inactivated virus atau virus mati. Strategi pemilihan bahan dasar virus sangatlah krusial karena akan memengaruhi respons imun tubuh yang berujung pada efektivitas dan efek samping vaksin.

Dari enam kandidat vaksin covid-19 yang telah mencapai uji klinis fase III, tiga di antaranya menggunakan virus utuh yang telah diinaktivasi (biasanya dengan cara kimiawi atau radiasi).

Menurut teori, vaksin dengan virus inactivated lebih aman, mudah diproduksi, dan tidak potensial menimbulkan penyakit sehingga dapat diberikan pada orang dengan status imun tubuh yang lemah (immunodefi ciency). Tetapi demikian, respons imun yang dihasilkan vaksin dengan bahan dasar virus mati sangat bervariasi dan tidak sekuat vaksin dengan bahan dasar virus yang dilemahkan (attenuated).

Oleh sebab itu, dibutuhkan dua kali dosis pemberian vaksin Sinovac, yakni pada hari ke-0 dan hari ke-14 untuk menghasilkan respons imun yang optimal. Apabila dibandingkan dengan kandidat vaksin Universitas Oxford/Astrazeneca yang menggunakan bahan dasar vektor virus rekombinan dan vaksin RNA yang dikembangkan perusahaan biofarmasi Moderna/NIAD (AS) dan Biontech/Pfizer (Jerman/AS), vaksin Sinovac memilki perbedaaan.

Respons imun yang dihasilkan pada vektor virus rekombinan dan vaksin RNA memang lebih kuat jika dibandingkan dengan vaksin virus mati. Akan tetapi, vaksin jenis ini memiliki limitasi dalam proses produksi (manufaktur vaksin dan biaya produksi). Kelemahan lainnya ialah efek samping virulensi yang mungkin ditimbulkan lebih besar jika dibandingkan dengan virus mati.

Cek Artikel:  Membaca Arah Kabinet Jokowi Jilid II

Kemudian alasan ketiga, pemilihan Sinovac juga terkait dengan transfer teknologi yang akan dilakukan PT Biofarma. Teknologi dan pengalaman PT Biofarma Indonesia memproduksi vaksin dalam negeri dipercaya mampu mendukung pengembangan vaksin Sinovac dalam jumlah yang besar dan cepat di Indonesia.

Waspada risiko potensial

Pengembangan dan pembuatan vaksin covid- 19 adalah masalah mendesak, tetapi keamanan vaksin (vaccine safety) ialah prinsip yang paling utama dari suatu produk vaksin. Jangan lantas penggu naan vaksin pada orang sehat nantinya justru akan memperparah atau membuat lebih rentan terinfeksi virus SARS-CoV-2.

Terdapat beberapa risiko potensial yang harus diwaspadai pada vaksin covid-19 yang menggunakan inactivated virus, terutama terkait dengan efek samping sistemis penggunaanya. Pertama munculnya reaksi ADE (antibody dependent enhancement), yakni ikatan kompleks antigen (vaksin)-antibodi yang terbentuk oleh sel imun justru akan membantu virus SARS-CoV-2 menjadi lebih mudah menginfeksi sel tubuh.

Hal itu bisa terjadi karena kegagalan antibodi untuk menetralisasi virus akibat reaksi silang antibodi (antibody cross-reaction) yang sifatnya tidak spesifi k, lemahnya ikatan (afi nitas) antara antigen-antibodi, dan konsentrasi antibodi netralisasi yang terbentuk tidak optimal.

Kedua ialah timbulnya VAERD (vaccine-associated enhanced respiratory disease), yakni penyakit pernapasan yang lebih berat pascavaksinasi. VAERD bisa dipicu akibat banyaknya antibodi terbentuk, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menetralisasi virus. Kapasitas berlebih (overload) produksi antibodi kemudian membentuk reaksi imun kompleks dan deposit komplemen sistem imun yang bisa memicu reaksi alergi dan peradangan.

Edukasi masyarakat terkait dengan faktor risiko dan keuntungan dari uji klinis fase III seharusnya dijelaskan melalui platform yang sesuai agar tidak terjadi misinterpretasi dan ketidakpercayaan publik yang berlarut-larut sehingga berdampak pada hasil penelitian yang bias.

Perlu dihindari anggapan bahwa responden ialah bagian dari kelinci percobaan uji klinis vaksin. Enggak ada jaminan bahwa akan ada vaksin SARS-CoV-2 yang berhasil, tetapi berbagai upaya komunitas ilmiah dalam mengembangkan vaksin yang sesuai dengan metode ilmiah ialah jalan terbaik sebagai preseden untuk masa depan.

Mungkin Anda Menyukai