![Menakar Pelonggaran GWM Perbankan](https://mediaindonesia.gumlet.io/news/2025/02/05/1738773220_26b3bc4514f41397ac21.jpg?w=800&q=80&format=webp)
MENGARUNGI 2024, industri perbankan nasional berada dalam mode waspada. Begitu mengawali 2025, kondisinya pun belum berubah. Likuiditas dalam sistem perbankan Lalu mengetat. Volume Anggaran yang dihimpun dari simpanan masyarakat secara Standar Bukan Pandai membiayai pinjaman yang disalurkan.
Pengetatan likuiditas industri perbankan terkonfirmasi pula dari nilai relatifnya. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan kredit secara tahunan lebih tinggi daripada persentase kenaikan penghimpunan Anggaran pihak ketiga (DPK). Bahkan, tren selisih di antara kedua variabel itu juga Lalu melebar.
Dua indikator di atas mengabarkan perbankan mengalami kelangkaan likuiditas dalam melaksanakan fungsi intermediasi. Fungsi intermediasi keuangan menjembatani antara pihak berlebih Anggaran dan pihak butuh Anggaran. Pihak berlebih Anggaran sejatinya Dapat langsung meminjamkan Anggaran mereka kepada pihak yang butuh Anggaran.
Tingginya kebutuhan Anggaran Niscaya Bukan akan terpenuhi dari transaksi langsung secara individual. Dengan berangkat dari situ, bank hadir menghimpun Anggaran. Meskipun dalam jumlah yang relatif kecil, luasnya skala operasi bank Membangun Anggaran yang terkumpul Pandai memenuhi besarnya kebutuhan dari pihak yang perlu Anggaran.
Kiprah perbankan Bukan henti Tamat di situ. Selain intermediasi, bank mengemban fungsi transformasi maturitas. Di satu sisi, simpanan nasabah dalam jumlah kecil biasanya bertenor jangka pendek. Sementara itu, debitur perbankan membutuhkan pinjaman Anggaran dengan masa pengembalian jangka panjang.
Terlepas dari tenggat penyimpanannya, Anggaran yang dihimpun dari nasabah Bukan boleh disalurkan seluruhnya menjadi kredit. Bagian tertentu DPK mutlak harus disimpan sebagai cadangan. Besaran cadangan itu dikenal sebagai reserve requirement yang harus disimpan di bank sentral dalam bentuk rekening giro.
Dalam konteks Indonesia, reserve requirement lebih Terkenal dikenal dengan giro wajib minimum (GWM). Besaran GWM yang ditetapkan BI Begitu ini sebesar 9%. Artinya, dari Rp100 Anggaran yang terkumpul dari nasabah, maksimum hanya Rp91 yang diizinkan jadi penyaluran kredit.
Tamat di sini, pemangkasan GWM diklaim sebagai solusi Demi melonggarkan likuiditas. Besaran rasio GWM toh belum ‘kembali’ pada masa prapandemi covid-19 di level 6%. Kalkulasi sederhana menunjukkan setiap penurunan GWM 100 basis poin akan meningkatkan likuiditas Rp90 triliun.
Kenaikan likuiditas tersebut setidaknya Dapat menutup kekurangan Berkualitas secara absolut maupun relatif antara penyaluran kredit dan penghimpunan DPK. Dalam cakupan yang lebih luas, pemangkasan GWM Niscaya mendorong fungsi intermediasi dan transformasi maturitas menjadi lebih terbuka.
Kenaikan kuantitas, sesuai dengan hukum pasar, akan menentukan harga ekuilibrium. Tambahan ketersediaan likuiditas (yang dipicu dari pemangkasan GWM) akan menurunkan biaya Anggaran (cost of fund). Penurunan Bangsa Mengembang kredit ialah manfaat lain yang Dapat diturunkan dari pemotongan GWM.
Kendati masuk Pikiran, pemangkasan GWM sebagai representasi sikap (stance) kebijakan makroprudensial BU senantiasa harus mengacu pada asas akuntabilitas. Pertumbuhan DPK yang lebih kecil daripada pertumbuhan kredit, toh, lebih didorong fenomena ‘mantab’, alias makan tabungan.
Golongan masyarakat kelas menengah dan Rendah sudah sekian lelet terpapar oleh imbas negatif pelemahan ekonomi. Pemutusan Rekanan kerja, usaha Independen yang seret, dan Pendapatan yang susut bermuara pada daya beli. Mereka merespons Sekalian itu dengan dissaving atas simpanan mereka di perbankan.
Kemiripan cerita berlaku pada sisi kredit. Kendati positif, pertumbuhan kredit perbankan secara industri Lagi berada dalam kisaran Sasaran. Itu pun Eksis Elemen Insentif KLM (kebijakan likuiditas makroprudensial). Seandainya Bukan Eksis Insentif KLM, Sasaran pertumbuhan kredit sangat boleh jadi akan meleset.
Alhasil, perbankan Sebaiknya ‘Paham diri’. Mereka boleh saja menuntut pemotongan GWM seandainya pertumbuhan kredit telah melampaui Sasaran yang ditetapkan BI atau OJK. Dengan demikian, pemangkasan rasio GWM agaknya Bukan terlalu mendesak Apabila pertumbuhan kredit dijadikan sebagai alibi Istimewa.
Rendahnya pertumbuhan kredit dan tingginya Bangsa Mengembang kredit, toh, sudah direspons BI dengan pemotongan Bangsa Mengembang acuan, BI rate, pada September 2024 dan Januari 2025. Kebijakan pemangkasan Bangsa Mengembang acuan dan GWM dalam waktu yang berdekatan Bahkan berisiko menimbulkan Pengaruh destabilisasi.
Tambahan likuiditas perbankan, pada Begitu industri sedang konsolidasi setelah fase kontraksi, malah Dapat tersalur ke instrumen lain guna mendapatkan imbal hasil yang lebih atraktif. Sinyalemen SRBI (sekuritas rupiah Bank Indonesia) berperan sebagai substitut kredit seolah menjadi argumen yang valid.
Perlu dicatat pula, rasio GWM, toh, berlaku sama Demi Sekalian bank. Oleh karenanya, pemangkasan GWM sangat boleh jadi akan memperparah sebaran likuiditas. Bank-bank besar yang Mempunyai sumber daya signifikan akan kian leluasa di ranah hilir. Sementara itu, bank kecil dan menengah tetap saja kesulitan di area hulu.
Kalaupun harus memangkas GWM, BI perlu selektif. Pelonggaran GWM Dapat diposisikan sebagai peranti strategis agar bank Pandai meningkatkan penyaluran kredit pada sektor-sektor tertentu. Sektor padat karya, hilirisasi, pariwisata, UMKM, ekonomi hijau, dan ekonomi biru layak memperoleh prioritas pemangkasan GWM.
Sebagai imbangannya, perbankan sendiri juga harus inovatif dalam menyikapi setiap kebijakan yang diberlakukan. Alih-alih ‘cengeng’ dengan Lalu minta perlakuan Tertentu, perbankan perlu meracik ulang komposisi portofolio optimal dalam mengemban amanah intermediasi dan transformasi maturitas.
Terlepas dari Eksis-tidaknya kebijakan pemotongan GWM, perbankan semestinya Mempunyai cadangan likuiditas Independen Demi mengantisipasi Percepatan pertumbuhan kredit. Demikian pula, perbankan juga perlu menyiapkan sumber Anggaran murah sebagai alternatif di luar DPK yang selama ini selalu menjadi andalan.
Dengan beberapa skenario di atas, misi membangun postur industri perbankan nasional yang Unggul akan segera terwujud. Pada akhirnya, sektor industri perbankan turut berkontribusi Konkret pada stabilitas sistem keuangan dalam rangka keberlanjutan pertumbuhan inklusif menuju Indonesia emas 2045. Bukan begitu?