‘DEMOKRASI kita bisa bernapas lagi’. Begitulah komentar banyak orang ihwal kisah ‘sukses’ gerakan rakyat dari berbagai komponen dalam mengawal putusan Mahkamah Konstitusi. Gerakan yang sudah senyap dan tiarap dalam kurun waktu lima tahun itu (terakhir ialah aksi besar-besaran menolak revisi Undang-Undang KPK) mampu ‘memaksa’ DPR membatalkan revisi Undang-Undang Pilkada yang bakal menorpedo putusan MK.
Putusan MK soal penurunan ambang batas syarat pencalonan di pilkada dan penolakan mengubah ketentuan usia calon kepala daerah mestinya dipatuhi dan dijalankan. Tetapi, putusan yang bersifat final dan mengikat itu tadinya hendak disiasati agar tidak bisa berlaku secara penuh, bahkan seluruhnya.
Untunglah, gerakan mengawal putusan MK melalui peringatan darurat bergambar Garuda dengan latar warna biru itu menjalar cepat di media sosial tanpa bisa dicegah. Gerakan itu menemukan simpulnya dalam bentuk aksi bersama di gedung parlemen. Kompleks gedung wakil rakyat itu ‘dikepung’ dari dua penjuru: depan dan belakang, sebagai simbol perlawanan.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?
Suasana ‘sunyi, senyap, tiarap’ selama lima tahun pun pecah, Kamis, 22 Agustus, pekan ini. ‘Kanker keheningan’ pun bisa dihambat. Seperti penggalan lirik lagu The Sound of Silence milik Simon & Garfunkel: ‘Silence like a cancer grows. My words like silent raindrops fell. And echoed in the wells of silence‘ (Keheningan, seperti halnya kanker, tumbuh. Kata-kata seperti tetes hujan yang jatuh tanpa suara. Dan bergema di sumur-sumur kesenyapan).
Gerakan rakyat di negara demokratis ini hendak dihipnosis penguasa agar terus diam dan membenarkan yang seolah-olah benar, dan menganggap demokratis segala yang seolah-olah demokratis padahal tidak. Itulah kekuasaan yang berubah menjadi despotik, tapi bukan depotisme klasik, melainkan despotisme baru.
Melalui media sosial, kekuasaan bercorak despotisme baru itu hendak merayu agar banyak kelompok sipil ‘tegak lurus’ dengan sejumlah tindakan kekuasaan yang cenderung antidemokrasi. Sebagian malah menunggu ‘arahan’ untuk bersikap.
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Saya lalu teringat dengan pernyataan guru besar University of Sydney dan Wissenschaftszentrum Berlin, John Keane, empat tahun lalu. Pada 2020, profesor di bidang politik dan kajian demokrasi itu memperingatkan akan bahaya new despotism, alias despotisme baru di sejumlah negara.
Dalam despotisme lama, seperti yang terjadi di era Orde Baru, siapa yang berbeda suara tidak mendapat tempat. Berbeda dengan Orde Baru yang tindakan antidemokrasinya selalu ditantang kekuatan sipil, despotisme baru berhasil menghipnosis banyak pihak untuk alih-alih diam, justru membela tindakan antidemokrasi itu.
Maka, despotisme baru itu bukan saja mengancam kelangsungan demokrasi, melainkan juga mengganggu kehidupan sipil. Keane menggambarkan dunia masa depan yang didominasi despotisme baru, yakni ‘sebuah pemerintahan pseudodemokratis jenis baru yang dipimpin para penguasa yang ahli dalam seni memanipulasi dan mencampuri kehidupan masyarakat’.
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Para pemegang kendali kuasa itu mengumpulkan dukungan luas publik, dan menang dengan kepatuhan publik. Despotisme baru ditandai dengan kekayaan dan perluasan kekuasaan eksekutif dengan mengendalikan peradilan dan melemahkan supremasi hukum.
Dalam despotisme baru, pemilu terus berlangsung. Perlindungan konstitusional terkait dengan pemisahan kekuasaan politik dan peradilan juga dijalankan. Pula, kesetaraan warga negara di hadapan pemerintah tetap dipertahankan. Tetapi, semuanya semu. Segalanya serbaseolah-olah. Sepertinya demokratis, padahal yang dijalankan justru antidemokrasi.
Jadi, dalam despotisme baru, meskipun ketidakadilan ada di depan mata, kebebasan berekspresi dikekang, kekuasaan mulai memainkan hukum, prinsip rule of law diganti rule by law, rezim tetap mampu memuaskan rakyat. Mereka tetap mendapatkan ‘persetujuan’ rakyat yang tecermin, salah satunya, pada sikap diam dan pembelaan pada tindakan antidemokrasi.
Maka, penyiasatan hukum bertubi-tubi itulah yang memantik peringatan darurat dari beragam elemen rakyat agar despotisme baru tidak terus-menerus menuju puncak. Rakyat berharap, apa yang terjadi akhir-akhir ini bisa membuka kesadaran jalan menuju despotisme baru sedang terus dirintis.
Terlalu mahal harganya bagi negeri ini bila kesepakatan bersama kita memilih jalan demokrasi diputarhaluankan ke arah antidemokrasi atas nama ‘ketenangan’, ‘kenyamanan’, ‘keberlanjutan’, atau atas nama apa pun itu.