MARTABAT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian jelas berada pada titik nadir. Bukannya menunjukkan prestasi, lembaga antirasuah itu justru terus-menerus dan konsisten memproduksi rentetan kontroversi memalukan. Integritas KPK kini seolah runtuh di masa kepemimpinan periode ini.
KPK seperti telah kehilangan teladan dalam hal integritas. Bukan main-main, sejumlah pemimpin mereka secara bergilir diterpa beragam kasus, mulai etik hingga pidana korupsi. Pimpinan yang harusnya berada di garda terdepan untuk menumpas rasuah justru seperti ikut menggembosi pemberantasan korupsi.
Kasus Lili Pintauli selaku Wakil Ketua KPK yang menerima gratifikasi fasilitas mewah serta tiket menonton Moto-GP Mandalika secara gratis memulai kontroversi memalukan bagi insan KPK. Selain melanggar etik, Lili terindikasi melanggar pidana. Lili akhirnya mengundurkan diri.
Lewat, kasus puluhan pegawai rutan KPK yang melakukan pungutan liar (pungli) menjadi cerminan bahwa persoalan integritas di tubuh KPK juga menjangkiti level bawah. Total transaksi pungli tersebut mencapai Rp6,1 miliar. Sebanyak 66 pegawai KPK yang terlibat kasus itu kini telah dipecat.
Puncak kebobrokan itu menyeruak ke publik ketika mantan Ketua KPK Firli Bahuri, saat masih menjadi pucuk pimpinan, melakukan dugaan tindak pidana pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Firli telah ditetapkan menjadi tersangka dan dari fakta persidangan diketahui, ada permintaan uang sebesar Rp50 miliar oleh Firli kepada Syahrul Yasin.
Rentetan skandal di internal KPK itu jelas tidak hanya membuat lembaga antirasuah kehilangan keteladanan, tapi juga merosotnya kepercayaan dari masyarakat. KPK kini ibarat sapu kotor berlumur masalah yang dipakai untuk membersihkan korupsi.
Publik tentu berharap, era kepemimpinan KPK yang jauh dari harapan itu dapat segera diamputasi. Proses pergantian pimpinan KPK tahun ini harus mampu menjadi momentum untuk mengembalikan muruah lembaga antikorupsi tersebut.
Momentum mengembalikan lembaga itu pada khitah mereka sebagai institusi pemberantasan korupsi yang tegak integritasnya mesti terus digaungkan. KPK tidak boleh lagi melenceng, miring, ataupun bengkok mengikuti kepentingan-kepentingan di luar pemberantasan korupsi. KPK mesti tegak lurus bahwa perang melawan korupsi pantang dinegosiasi atau dikebiri.
Momentum itu muncul saat pemerintah memulai proses pergantian pimpinan KPK yang bakal berakhir pada Desember mendatang. Presiden Joko Widodo telah memulai proses pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK. Istana menyebut pansel akan diisi sembilan juri, yakni lima dari pemerintah dan empat dari perwakilan publik.
Presiden Jokowi diharapkan untuk tidak lagi mengulangi kesalahan lima tahun lalu. Kini, Jokowi harus benar-benar selektif menentukan sembilan anggota pansel itu. Pilih pansel dari orang-orang yang kredibel agar jangan sampai pansel kembali kecolongan memilih figur serampangan dan bermasalah yang justru melemahkan pemberantasan korupsi.
Dengan pansel yang kredibel, akan terpilih calon pimpinan KPK yang kredibel pula. Mereka dipilih dari kalangan yang benar-benar berkeinginan memberantas praktik lancung korupsi yang sudah seganas kanker. Pansel yang kredibel tidak akan memilih pemimpinpemimpin dengan rekam jejak abu-abu serta sekadar punya kemauan menyediakan diri sebagai alat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan di luar kepentingan pemberantasan korupsi.
Pimpinan KPK periode selanjutnya juga akan menjadi warisan bagi Presiden Jokowi yang bakal lengser Oktober mendatang. Di sinilah juga nanti publik akan menilai komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Kalau pansel yang dibentuknya digawangi figur-figur berintegritas, rakyat pasti angkat topi saat melepas kepemimpinan Jokowi.