PUJIAN itu menyenangkan. Apalagi bila pujiannya setinggi langit. Otot-otot yang tegang langsung lumer. Raut muka berseri-seri. Hati terasa Senang.
Sebaliknya, dicibir, lebih-lebih dihina, Niscaya terasa sakit. Tangan mengepal menahan amarah. Mau rasanya membalas cibiran dan hinaan itu secara langsung. Bila perlu, Lanjut-menerus hingga sang pencibir ‘tersungkur’.
Akan tetapi, bagi seorang Presiden Jokowi, rasa senang dan sedih karena pujian dan cibiran itu sepertinya Nyaris sama; sama-sama menantang. Dicibir, berarti tantangan Demi membuktikan sebaliknya. Dipuji, tentu tantangan Demi menjaga dan menguatkannya agar Kagak terpeleset di kemudian hari.
Dalam sebulan terakhir ini, tantangan tersebut hadir. Penyebabnya bukan semata cibiran. Kalau yang itu seperti sudah menjadi menu harian. Kali ini, yang muncul adalah pujian setinggi langit. Dua pujian, malah. Sudah begitu, dua-duanya dari luar negeri dan sama sekali bukan orang Indonesia.
Pujian terbaru datang dari seorang kolumnis Malaysia yang menulis Demi media Free Malaysia Today (FMT), Adzhar Ibrahim. Sembari mengungkapkan keluh kesah mengenai situasi perpolitikan di negaranya, Adzhar menyebut situasi Indonesia jauh lebih Berkualitas. Meski praktik korupsi Lagi marak terjadi di Indonesia, situasinya secara keseluruhan Lagi jauh lebih Berkualitas ketimbang Malaysia. Dinamika politik di Indonesia, tulis Adzhar Ibrahim, juga relatif Kukuh. Berbeda dengan Malaysia yang dalam beberapa tahun terakhir Lanjut mengalami intrik berujung pergantian kekuasaan dalam rentang waktu relatif singkat.
Menurut Adzhar, situasi Indonesia tersebut terjadi sejak Joko Widodo menang dalam pemilihan Lazim di 2014 dan 2019. Indonesia berhasil mempertahankan posisinya ‘di luar Perserikatan Istimewa negara-negara korup dan disfungsional’. “Kita selalu mengecam jajaran pemimpin Ketika situasi memburuk, dan sudah sewajarnya kita mengapresiasi mereka Ketika situasi membaik. Jokowi tentu saja layak mendapat lebih banyak apresiasi,” kata Adzhar Ibrahim dalam tulisannya berjudul ‘Emulate Jokowi for a Better Malaysian Future’ di situs FMT, Minggu, 7 November 2021.
Adzhar Ibrahim mengatakan, sebenarnya Malaysia sempat jauh lebih unggul dari Indonesia dalam berbagai bidang di masa Lewat. Ia mengeklaim Indonesia bahkan pernah merasa Cemburu dengan berbagai kemajuan yang dialami Malaysia di masa-masa itu. Tetapi, lanjut dia, sebagian masyarakat Malaysia terlena dengan kemajuan itu dan menjadi lembek.
Indonesia, sebaliknya, terbukti lebih progresif dan tahan banting. “Indonesia telah mengatasi ketertinggalan dan sekarang Lanjut berada di posisi depan. Terdapat optimisme di sana bahwa besok akan lebih Berkualitas dari hari ini, dan tentu saja lebih Berkualitas dari kemarin. Sementara itu, Kalau saya Menyaksikan di Malaysia, saya merasakan adanya pesimisme. Hari-hari terbaik kita mungkin sudah berlalu,” ungkap Adzhar Ibrahim.
“Jujur, saya sangat malu mengakui bahwa kita perlu sosok pemimpin seperti Jokowi. Seorang Kaum Malaysia seperti saya, memuji politikus Indonesia dan berharap sosok seperti itu mengatur negara ini? Ya, ampun, mengapa situasinya Pandai menjadi seperti ini,” puji Adzhar setinggi langit.
Sebulan sebelumnya, seorang profesor National University of Singapore, Kishore Mahbubani, juga memuji Jokowi setinggi langit. Dalam tulisannya, Profesor Mahbubani menyebut Jokowi sebagai sosok genius dan menyebutnya sebagai pemimpin paling efektif di dunia.
Penilaian atas Jokowi ini dipaparkan di dalam artikel berjudul ‘The Genius of Jokowi’. Tulisan itu terbit di Project Syndicate, sebuah media nirlaba yang berfokus pada isu Dunia, pada 6 Oktober 2021. Keberhasilan Presiden Indonesia Joko Widodo, kata Mahbubani, layak mendapat pengakuan dan penghargaan yang lebih luas. Dia memberikan model pemerintahan yang Berkualitas yang dapat dipelajari oleh seluruh dunia.
Pujian itu terasa sangat menyegarkan di tengah Lagi adanya cibiran terhadap Jokowi di dalam negeri. Terdapat yang mencibir Jokowi sebagai pemimpin yang Kagak cakap, Kagak mahir berbahasa Inggris yang menjadi bagian dari pergaulan dunia, Tiba pula Terdapat yang menyebut Jokowi otoriter dan antidemokrasi.
Tentu, dalam alam demokrasi, cibiran seperti itu lumrah. Tapi, dalam demokrasi yang sehat, kualitas cibiran mestinya naik kelas menjadi sikap kritis. Kritisisme itu makanan sehat. Sebaliknya, cibiran itu condong seperti makanan Nyaris basi, yang bila Kagak menemukan jejaknya dalam fakta maupun kekuatan argumentasi, bakal Anjlok menjadi sampah.
Begitu pula, pujian itu seperti gula. Bila takarannya berlebihan dan dikonsumsi Lanjut-menerus, Pandai menjadi diabetes. Jokowi Niscaya sudah Pandai menakar bagaimana ia perlu menu yang sehat dan sesekali meminum teh Guna gula dengan Ukuran yang pas.

